Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Monday 6 June 2016

Konsep Ideal Parlemen Modern

Oleh Hamidulloh Ibda
Penulis adalah Tenaga Ahli Fraksi DPRD Kota Semarang
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, edisi 8 April 2016.


Parlemen modern yang kini digadang-gadang oleh kalangan dewan di Indonesia tidak boleh sekadar modern dalam hal teknologi. Sebab, modern hakikatnya tidak hanya secara teknis, namun yang substansial justru lebih pada pembangunan SDM, perbaikan sistem legislasi, advokasi masyarakat dan keterbukaan lewat prosedur penyampaian aspirasi. Jika parlemen modern masih biasa-biasa saja dan hanya formalistik simbolis, maka sama saja kaum legislatif di Indonesia menerapkan “parlemen primitif”.

Hadirnya idiom parlemen modern, memang dilatarbelakangi dengan spirit keterbukaan. Akan tetapi, keterbukaan tidak hanya dengan membuat portal-portal atau website belaka. Jika parlemen modern hanya dimaknai dengan “berbasis digital”, maka hal itu mendestruksi makna modern itu sendiri. Jangan sampai muncul “parlemen modern rasa primitif” di kalangan legislatif kita.

Mengapa? Sebab, modern dengan tafsir modern jelas berbeda. Pembuatan website sebagai alat keterbukaan, bukanlah bukti parlemen modern. Hal itu dikarenakan saat itu keterbukaan melalui media sudah sangat terbuka dan dipastikan DPR RI, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota memiliki website resmi dan media center. Bahkan, banyak di antara komisi dan fraksi serta personal anggota dewan memiliki website. Lalu, di mana letak modern dan apa hakikat parlemen modern?

Konsep Ideal Parlemen Modern
Cook (2001) menjelaskan bahwa fokus parlemen modern pada tiga aspek, meliputi peningkakan partisipasi publik dan keterbukaan informasi, memanfaatkan teknologi informasi digital, dan optimalisasi performa fungsi representasi. Konsep ini tidak boleh direduksi dengan sekadar digitalisasi dengan proyek membuat website saja. Sebab, parlemen modern datang tidak sebagai konsep padat, namun ia seperti cairan yang justru cakupannya luas, baik dalam konteks politik maupun non-politik.

Latar belakang dibuatnya website dan pengaktifan media sosial sebagai wujud digitalisasi dari parlemen modern sebenarnya belum signifikan terhadap partisipasi publik dan keterbukaan informasi. Sebab, pengelola website kebanyakan tidak objektif dan hanya memberitakan, menginformasikan yang baik-baik saja. Jika demikian, kontrol masyarakat akan lemah dan pisau analisis kebijakan makin dipersempit. Dalam keterbukaan informasi, sebenarnya sudah menjadi tugas para media massa dan dikawal Komisi Informasi Publik.

Pengaktifan website sangat penting, namun lebih penting lagi peningkatan SDM masing-masing anggota dewan dan perbaikan sistem aspirasi serta keterbukaan. Jika pengaktifan website parlemen dianggap jitu dan parameter parlemen modern, hal itu sangat tidak substansial dan hanya urusan teknis saja. Meskipun efek website dan media sosial diyakini menjadi jembatan rakyat dengan parlemen, namun fakta di lapangan sebenarnya hal itu tidak berdampak pada pengambilan keputusan di legislatif. Bahkan, pengguna media sosial lebih pada “hiburan” semata. Maka dari itu, sangat keliru jika parlemen modern direduksi dengan digitalisasi saja, karena sebenarnya hal itu sudah menjadi tugas humas.

Konsep ideal parlemen modern, sebenarnya merujuk pada tesis Cook di atas sudah sangat jelas. Sebab, tanpa konsep parlemen modern pun, sudah menjadi kewajiban semua parlemen berjalan sesuai dengan visi, misi, fungsi dan peran DPR RI yang disusun secara kronologis, sistematis dan kontekstual. Tanpa itu, parlemen hanya menjadi “rumah primitif” yang berkedok wakil rakyat.

Apa yang Harus Dilakukan?
Tidak mudah menerapkan parlemen modern yang benar-benar modern. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama; mengkaji ulang makna dan konsep parlemen modern dari berbagai sudut pandang dan kerangka ilmiah yang kontekstual. Sebab, masih banyak anggota DPR yang tidak tahu hakikat parlemen modern. Apalagi, tiap disiplin ilmu dan riwayat pendidikan anggota dewan berbeda, namun mereka ditempatkan dan mendapatkan jatah komisi tidak sesuai latar belakangnya. Hal inilah yang membuat kebijakan di tiap komisi atau fraksi kadang pincang karena tidak diserahkan pada ahlinya.

Kedua; jika parlemen modern diterapkan dengan konsep digitalisasi maupun blusukan langsung ke masyarakat, maka prinsip utamanya adalah mampu menyerap aspirasi secara menyeluruh. Wahid Abdurrahman (2016) menyatakan parlemen modern yang dibutuhkan di era milenium lebih pada penyerapan aspirasi masyarakat yang menyeluruh. Sebab, selama ini penyerapan aspirasi melalui reses tidak bisa mengcover kepentingan rakyat, baik itu berupa aspirasi fisik maupun non fisik.

Oleh karena itu, jika parlemen mondern diterapkan, maka anggota dewan perlu menyerap aspirasi di semua wilayah dan tidak hanya “berputar-berputar” di daerah pemilihan (Dapil) saja. Jika terlaksana, maka substansi modern itu bisa terimplementasi dan ia akan memiliki investasi politik ketika mau mencalonkan diri kembali. Sebab, masyarakat saat ini tidak bodoh, dan tahu mana anggota dewan yang pandai, bodoh, penipu, serta yang benar-benar menjalankan tugas, fungsi dan wewenengan DPR.

Ketiga; dibutuhkan jiwa revolusioner yang melekat pada tiap anggota dewan. Sebab, tidak sedikit anggota dewan yang masih bermental proyek dan hanya mengutamakan keuntungan politik, baik personal maupun untuk partainya. Parlemen modern tidak berdampak pada kemakmuran masyarakat selama parlemen masih menjadi “lahan perampokan”. Saat ini yang dibutuhkan Indonesia adalah “parlemen revolusioner” yang derajat politiknya di atas modern. Oleh karena itu, jika DPR di Indonesia kini mau menerapkan parlemen modern, perlu dikaji ulang dan didukung, namun tidak sekadar “membuat website” dengan menghabiskan anggaran saja.

Mengapa? Dengan konsep parlemen modern, setengah modern atau parlemen primitif sekalipun, jika para anggotanya bermental “primitif” dan “penipu”, maka parlemen modern tersebut hanya kamuflase yang tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat.

Keempat; perlu adanya revolusi parlemen, peningkatakan pendidikan politik dan rekonstitusi legislatif. Sebab, saat ini banyak anggota dewan yang hanya bertopang pada tenaga maupun staff ahli. Maka dari itu, pendidikan politik secara kontinu sangat penting, baik diperuntukkan anggota dewan maupun tenaga ahli.

Pada prinsipnya, setiap parlemen pasti modern. Jika tidak modern, apa pantas disebut parlemen?

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Konsep Ideal Parlemen Modern Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda