Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Friday 12 May 2017

Toko Buku Vs Toko Obat Kuat

Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Koran Wawasan, Jumat 12 Mei 2017

Salah satu indikator negara berperadaban dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan adalah banyak toko buku berdiri. Semakin banyak toko buku di tempat, mereka secara otomatis berkiblat pada nalar. Berbeda dengan toko obat kuat, keberadaannya mengindikasikan bahwa masyarakat berkiblat pada “lendir” dan syahwat.

Teori ini menjadi tesis bahwa banyaknya toko obat kuat di suatu tempat, maka penduduknya terinfeksi “lemah syahwat”, lemah nalar dan menuhankan lendir. Jika dianalisa, hampir di tiap kabupaten/kota di negeri ini memiliki “wisata seks” atau tempat pelacuran yang dijadikan mangkal pada Pekerja Seks Komersial (PSK) dan tempat melampiaskan nafsu lelaki hidung belang. Ironisnya, lokalisasi-lokalisasi itu “legal” dan dilindungi pemerintah karena membayar retribusi.

Alasan dilindungi adalah agar para PSK tidak berkeliaran di jalanan dan bisa berkumpul di salah satu tempat atau “dilokalkan”. Maka pemerintah membuat tempat maksiat tersebut dan melindunginya dengan label “lokalisasi”. Namun apakah itu solusi? Tentu tidak. Meskipun masalah prostitusi sangat kompleks, mulai dari kesenjangan ekonomi, himpitan pekerjaan, faktor psikis, korban pelecehan seksual, akan tetapi melegalkan prostitusi bukanlah jalan terbaik.

Tidak hanya lokalisasi, namun karaoke, hotel, wisma, penginapan, losmen, homestay, atau apapun namanya juga sama dengan lokalisasi karena digunakan untuk kaum hedonisme. Asal punya izin dan rajin setor retribusi, maka untuk berzina aman-aman saja dari razia. Pelacuran memang hal sensitif untuk dibicarakan, namun inilah realitas sosial yang harus dicari solusinya.

Wisata Birahi
Masalah prostitusi tidak bisa dipandang dengan kacamata kuda. Akan tetapi, harus menyeluruh. Sebab, lapangan kerja yang semakin susah dicari dan diciptakan, persaingan kerja yang harus menggunakan lobi dan relasi, menjadikan jumlah PSK menjamur di tiap kota. Mengapa menjamur? Tidak hanya di lingkungan lokalisasi resmi, namun belakangan ini prostitusi online juga semakin memprihatinkan dan jumlahnya justru melebihi yang nyata di lapangan.

Endang Sriani (2015) menyatakan semua pekerja seks di lokalisasi hampir 90 persen bebas HIV/AIDS. Sebab, mereka tiap minggu diperiksa dan dikontrol oleh petugas resosialisasi (resos). Para PSK discreaning dua minggu sekali, sementara untuk Voluntary Conseling Testing (VCT) dilakukan tiga bulan sekali dan hal itu wajib. Maka mereka 90 persen dipastikan bebas HIV/AIDS selama resosnya berjalan baik.

Usai memakai PSK, para pemakai tidak perlu ragu karena potensi tertular HIV/AIDS sangat minim, apalagi ditambah pengguaan alat kontrasepsi. Inilah salah satu penyebab bisnis haram ini awet dan laris manis tanpa adanya kontrol. Namun faktanya, sampai Juni 2016, kasus HIV/AIDS di Jateng bertambah menjadi 1.860 kasus. Jika dirata-rata, tiap hari ada 10 orang penderita AIDS baru di Jateng (Tribun Jateng, 29/8/2016).

Di sisi lain, adanya penyuluhan, bimbingan kerja, bimbingan mental dan rohani belum mempan membuat PSK tobat ke jalan benar. Pola pikir mereka instan, karena hanya modal tubuh bisa mendapat uang jutaan, jadi tidak perlu repot-repot bekerja berat.

Mereka berpikir, skill yang diberikan saat penyuluhan seperti menjahit, bordir, membuat baki lamaran, membuat kerajinan tangan/souvenir sangat berat dan susah mendapat uang melimpah. Logika ngawur dan instan inilah yang membuat aktivis sosial mengalami “efek kecewa” bahkan “rasa putus asa” dalam memberikan edukasi, motivasi dan pemberikan skill kerja.

Belum lagi dunia kupu-kupu malam yang sangat mewah membuat mereka malas bekerja nyata yang halal tanpa melacurkan diri. Di sinilah yang menjadi penyebab penyuluhan di resos di tiap lokalisasi menjadi percuma. Selain sudah pragmatis dan hedonis, mereka menganggap kegiatan mereka menjadi “profesi abadi” tanpa ada usaha tobat dan bekerja yang benar.

Mereka tidak salah sepenuhnya, karena sistem juga melancarkan bisnis haram tersebut. Di sini yang menjadi permasalahan sebenarnya posisi pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Jika ditutup, maka harus ditutup 100 persen dan tidak sekadar tutup “papan namanya” saja tapi masih beroperasi di lorong-lorong gelap. Jika ditutup, pemerintah harus siap membuka lapangan kerja untuk mereka.

Berjubelnya toko obat kuat di pinggir-pinggir jalan, baik berupa pil, kapsul, jamu seduh, sampai sirup dan aneka macam alat kontrasepsi juga mendukung bisnis haram tersebut. Seolah-olah, negara ini memang “menghalalkan prostitusi” dengan berbagai fakta nyata di lapangan. Belum lagi adanya bar, club dan cafe dugem yang semakin menjamur di dilegalkan.

Toko Buku
Selama ini yang identik dengan buku adalah kaum akademik baik itu guru, pelajar, dosen, mahasiswa dan lainnya. Entah mereka sekadar “punya buku” atau jadi “kutu buku” itu urusan lain. Sementara masyarakat biasa menganggap buku itu tidak penting, menjadi beban ketika mereka melakukan sekolah dan kuliah.

Bangsa besar adalah bangsa yang minat baca dan menulisnya tinggi. Indeks baca di Indonesia yang makin lemah, membuktikan negara ini belum menganggap penting ilmu pengetahuan. Memiliki buku dan rajin baca buku sangat penting sebagai bukti berkiblat pada ilmu pengetahuan.

Aneh dan unik. Negeri ini menjunjung tinggi “pantat” dengan banyak lokalisasi berdiri dan tontonan dangdut syahwat di mana-mana, namun buku, nalar dan kepala direndahkan. Buku, jika tidak tebal dan best seller pasti harganya murah sekitar Rp 20.000 sampai Rp 300.000. Apalagi saat pameran, harga buku hanya sekitar Rp 5000 dan Rp 2000 karena harganya diobral kiloan. Sedangkan “harga jajan” di lokalisasi sangat mahal, plus ongkos membeli minuman, karaoke dan juga rokok serta makanan lainnya. Tanpa kita sadari, bahwa kita ini sebenarnya bangsa yang lucu dan tidak bermutu.

Ilmu pengetahuan direndahakan, sementara “peradaban lendir” dijunjung tinggi dan ongkosnya mahal. Padahal, buku tidak harus cetak karena ada e-book atau buku elektronik yang mudah dibawa. Namun, mengapa keberadaan toko buku, perpustakaan, masih minim dan tidak disadari masyarakat dan pemerintah sebagai hal dasar?

Berkiblat pada Nalar
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai ilmu pengetahuan. Maka pemerintah harus “mengentaskan” para pekerja seks agar tidak selamanya hidup di dunia hitam. Sebab, pola pikir mereka “tidak mau susah” dan ketika diberi pelatihan skill, belum tentu mendapat pendampingan sampai berdiri usaha. Pola pikir mereka masih takut jika rugi dan juga susah memasarkan meskipun di era global seperti ini semakin mudah.

Selanjutnya, penyuluhan di lokalisasi/resos seharusnya tidak hanya soal fisik. Penyuluhan, bimbingan dilakukan Dinas Sosial maupun ormas/LSM harus maksimal. Jika lokalisasi musnah, secara otomatis toko obat kuat tidak laku dan tidak ada lelaki yang “jajan” di gudang lendir tersebut.

Paling utama adalah mengubah cara berpikir bahwa toko buku sangat penting. Selain toko buku, pemerintah harus mendukung gerakan baca lewat berbagai cara. Mulai dari pendirian taman baca, perpustakaan keliling, bahkan jika perlu harus ada perpustakaan di tiap desa dan di sudut-sudut kota. Selama ini yang ada perpusnya hanya kampus dan sekolah. Sekolah pun hanya formalitas dan tidak maksimal karena budaya baca di usia SD-SMA masih rendah.

Pelajar, mahasiswa, guru dan dosen membaca hanya saat ada “kepentingan”. Membaca tidak menjadi “kebutuhan” dasar untuk memenuhi makanan intelektual bagi otak. Sebab, yang diberi makan hanya kebutuhan syahwat, baik itu perut dan lainnya. Wajar saja di bangsa ini banyak korupsi, kolusi, nepotisme, terorisme, kasus narkoba, pedofilia, karena memang masih berkiblat pada syahwat dan lendir.

Mengapa Tuhan memerintahkan Nabi Muhammad pertama kali adalah membaca? Bukan bekerja, salat, kuliah, apalagi menyembah lendir. Sebab, kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, korupsi, narkoba harus diobati dengan ilmu dan kecerdasan nalar, bukan lendir. Jika Engkau hanya marah karena sukumu, agamamu, rasmu, kepentinganmu, berarti Engkau belum tahu pentingnya membaca dan masih berkiblat pada syahwat.


Jika berkiblat pada nalar, untunya ada dua. Bisa cerdas dan berilmu serta kuat dan bisa mengendalikan syahwat. Namun jika berkiblat pada lendir, maka hanya akan mendapat kelemahan dan akhirnya membutuhkan obat kuat. Jadi, pilih kuat syahwat atau kuat ilmu?

Foto:


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Toko Buku Vs Toko Obat Kuat Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda