Jakarta, Hamidullohibda.com - Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarkan Sharing Session Filantropi Ahmadiyah dan Syiah pada Selasa (11/6/2024) melalui Zoom Meeting dengan moderator periset PRAK – BRIN Wakhid Sugiyarto. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian riset “Islamic Creative Philanthropy: Studi Terhadap Praktik Filantropi Islam Pada Komunitas Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Ahmadiyah, Dan Syiah (Munas) Di Indonesia” yang dilakukan periset BRIN yaitu Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, Aji Sofanudin, Hamidulloh Ibda (INISNU Temanggung), dan Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi (UGM).
Narasumber utama Sekjen Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Achmad Supardi mengatakan bahwa konsep filantropi Ahmadiyah bertitik fokus pada konsep pengorbanan. “Praktik pengorbanan harta sudah dilakukan sejak awal permulaan agama Islam di masa Makkah, jauh sebelum perintah zakat diturunkan. Contoh pengorbanan harta di masa awal Islam dilakukan oleh para Sabiqun Awwalun atau golongan yang pertama-tama masuk Islam, seperti Siti Khadijah RA, Abu Bakar, Usman bin Affan dan para sahabat lain,” kata Achmad Supardi.
Pihaknya juga menegaskan bahwa praktik pengorbanan dijalankan di organisasi dan sudah tercantum dalam janji baiat. “Setiap individu anggota JAI harus siap berkorban harta benda,” lanjutnya.
Dalam kesempatan itu, pihaknya mengatakan di JAI menerapkan sistem Chandah. “Chandah berasal dari Bahasa Urdu artinya iuran, sumbangan, atau donasi. Chandah bukan zakat, bukan pula pengganti zakat. Zakat dibayarkan dengan ketentuan nisab, namun chandah dibayarkan anggota JAI sebagai bentuk iuran, sumbangan atau donasi,” papar dia.
Ketua Umum Yayasan Dana Mustadafin Muhammad Husein Shahab mengatakan bahwa Yayasan Dana Mustadafin bukan bagian dari Ormas Ahlul Bait Indonesia, karena didirikan lebih awal dari Ormas Ahlul Bait Indonesia. “Syiah adalah sebuah mazhab yang usianya sama dengan mazhab Ahlussunah Waljamaah, bahkan kita bisa klaim lebih tua dari Ahlussunah Waljamaah. Maka kami tidak bisa mengatasnamakan Syiah secara umum di Indonesia,” papar dia.
Pihaknya juga membeberkan bahwa Yayasan Dana Mustadafin didirikan para relawan untuk membantu pemerintah menyejahterakan masyarakat Indonesia, meningkatkan ekonomi masyarakat. “Yayasan Dana Mustadafin bergerak tidak hanya untuk kepentingan orang-orang Syiah,” lanjut dia.
Dikatakan Husein, bahwa mazhab Syiah yang merujuk kepada Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw, dan imam-imam suci yang merujuk kepada Nabi Muhammad. Sehingga semua ajaran yang dijalankan pengikut Syiah merujuk pada fatwa-fatwa, riwayat yang keluar dari imam-imam Ahlul Bait dari sisi teologi, fikih, bahkan dalam politik. Alasannya karena karena Ahlul Bait adalah orang paling berkualitas setelah Nabi Muhammad Saw.
Di dalam mazhab Syiah, pada kegiatan filantropinya menerapkan sistem khumus atau khums. “Khumus adalah suatu kewajiban yang diperintahkan Allah SWT kepada setiap muslim sebagaimana kewajiban-kewajiban lainnya, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya,” papar dia.
Pihaknya juga mengatakan bahwa jumlah khumus yang harus dikeluarkan adalah seperlima (20%) dari jumlah sisa keuntungan atau pendapatan. “Sisa keuntungan adalah pendapatan setelah dikurangi biaya hidup dalam satu tahun dan bisa dibayarkan perbulan,” lanjutnya.
Narasumber lain, yaitu periset PMB – BRIN Muhammad Nur Prabowo Setyabudi yang juga Ketua Tim Riset mengatakan bahwa paparan JAI dan Yayasan Dana Mustadafin penuh kebaruan yang harus ditulis. “Kajian filantropi berkembang di kalangan muslim Indonesia. Meski istilah filantropi tidak begitu familiar, tapi praktiknya sudah lama dijalankan di tengah umat Islam. Filantropi tidak sebatas charity (amal), short-term impact, tapi filantropi memprioritaskan manfaat untuk jangka panjang,” katanya.
Pasca reformasi hingga saat ini, lanjut dia, meminjam istilah Amelia Fauzia, sedang terjadi kontestasi pada lembaga filantropi Islam seperti Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah, dan Syiah (DM). “Saya melihat bahwa filantropi mendorong visi universal yang sangat mulia dalam agama-agama, senada dengan pemikiran Gus Dur dalam menerjemahkan Islam tidak hanya "Islamku”, “Islam Anda”, tapi Islam rahmatan lil alamin yang hadir di ruang public sebagai “Islam Kita Semua," tegas Prabowo.
Periset PRAK – BRIN Siti Atieqoh juga berbagi temuan risetnya tentang filantropi pada komunitas Syiah. “Yayasan Dana Mustadhafin (DM) adalah lembaga filantropi nirlaba yang menerima, mengelola dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah ataupun dana-dana lainnya yang bersifat halal dan tidak mengikat. Sumber dana tersebut bisa berasal dari perseorangan, lembaga, komunitas maupun perusahaan swasta/BUMN atau corporate social responsibility,” katanya.
Sementara periset PRAK – BRIN Fatimah Zuhra, menyajikan temuan riset Aksi Filantropi Tanggap Bencana Komunitas Syiah terhadap Kelompok Rentan di Indonesia. “Komunitas Syiah melakukan filantropi dari doktrin agama dengan konsep imamah,” katanya.
Pihaknya bercerita tentang temuan yang dilakukan oleh beberapa lembaga filantropi di bawah Syiah yang dilakukan di pulau Jawa dan luar Jawa.
Kepala PRAK – BRIN Aji Sofanudin memerkuatkan diskusi dengan menegaskan bahwa riset filantropi Islam pada komunitas Munas (Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah, dan Syiah) hakikatnya telah mempraktikan creative philanthropy. “Filantropi menjadi titik temu,” katanya.
Filantropi yang dimaksud dalam riset ini, menurut Aji, selain ZISWAF, terdapat pula chandah dan khumus yang dipraktikkan oleh JAI dan komunitas Syiah. (*)
0 komentar:
Post a Comment