Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat di Koran Barometer,
Selasa, 30 Juli 2013
Selama ini,
perempuan selalu diposisikan di belakang, atau lebih mudahnya perempuan hanya
identik dengan urusan belakang, dapur, kasur, dan sumur. Kontruksi ini lahir
karena sejak dulu sampai sekarang belum ada pemahaman yang menempatkan posisi
perempuan di depan. Apalagi, budaya “patriarki” masih berlaku di Negara ini,
padahal hal itu sangat menindas perempuan.
Di sisi lain,
di dunia pendidikan kita juga salah kaprah dalam mengajarkan posisi perempuan
di dalam kehidupan. Seperti contoh dalam pelajaran di tingkat SD sering kita
mendengar pelajaran Bahasa Indonesia yang menempatkan perempuan di belakang.
Misalnya, “Bapak pergi kantor, ke sawah, dan ibu menyapu di rumah, mencuci,
memasak nasi di dapur”. Nah, seolah-olah juga ayah mencuci pakaian menjadi “tabu”,
padahal sah-sah saja ayah mencuci pakaian. Selain itu, terkesan perempuan
selalu di tempatkan di belakang. Ini merupakan diskriminasi perempuan yang
diajarkan di sekolah. Maka dari itu, dalam konteks ini, “pendidikan gender”
menjadi jawaban atas diskriminasi yang terjadi di masyarakat.
Konsep Pendidikan Gender
Gender
merupakan kontruksi sosial yang menempatkan laki-laki dan perempuan di dalam
masyarakat yang sifatnya tidak kodrati (Yudhi Haryono, 2009). Gender sendiri merupakan pelabelan atas laki-laki dan perempuan.
Kontruksi sebenarnya tidak membedakan laki-laki dan perempuan atas perbedaan
seks yang dimiliki. Dasar sosialisasi ini secara kuat telah membentuk ideologi
gender, melalui kontruksi sosial yang melembaga. Misalnya, perempuan dikenal
lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, perkasa, jantan.
Perempuan dikontruksikan sebagai makhluk yang perlu dilindungi,
kurang mandiri, tidak rasional, hanya mengandalkan perasaan, dan lain-lain.
Konsekuensinya, muncul batasan-batasan yang menempatkan perempuan pada ruang
penuh dengan aturan baku yang perlu dijalankan. Padahal, banyak sisi positif
dari perempuan yang membedakannya dengan laki-laki dan jarang diekspos. Yaitu
watak dan karakter perempuan yang terbuka, tekun, penyabar dan jujur
Perempuan dan laki-laki dibedakan atas dasar kepantasannya. Kemudian
dibuatkan label yang ditempelkan pada masing-masing jenis untuk membedakan dan
menciptakan pandangan stereotif bagi laki-laki dan perempuan. Pandangan
stereotip ini kemudian mengaburkan pandangan terhadap manusia secara pribadi,
karena memasukkan setiap jenis manusia dalam kotak stereotip.
Oleh karena itu, seorang pribadi baik perempuan dan laki-laki
dianggap tidak pantas apabila “keluar dari kotak tersebut”. Ia akan merasa
bersalah, apabila tidak memenuhi kehendak sosial dan label yang diciptakan.
Pandangan ini terus dibakukan melalui tradisi berabad-abad, sehingga dianggap
kodrat yang tidak dapat diubah. Seolah-olah ciri perempuan dan laki-laki sudah
terkunci mati.
Pada dasarnya, selama pandangan ini tidak mengarah pada hubungan
yang tidak adil, tidak menjadi masalah. Namun ternyata, perbedaan ini
menciptakan diskriminasi yang timpang dengan pihak perempuan pada posisi yang
dirugikan. Dalam buku Analisis Sosial dan Tranformasi Sosial (2006, 13)
disebutkan bahwa ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk
ketidakadilan, yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi
dalam keputusan politik, pembentukan stereotip dalam pelabelan negatif,
kekerasan, pembebanan kerja yang lebih panjang serta sosialisasi nilai peran
gender.
Diskriminasi ini apabila tidak dipersoalkan akan
menjadi keras dan keji, akhirnya sampai pada tindakan yang tidak manusiawi
(dehumanisasi) bagi perempuan dan bahkan bagi laki-laki. Marginalisasi perempuan, telah
menempatkan atau menggeser perempuan ke pinggiran. Akibatnya, perempuan selalu
dinomorduakan apabila ada kesempatan untuk memimpin. Perempuan selalu menjadi
second class yang dinomorduakan ketika bersanding dan berkompetisi dengan
laki-laki, hingga muncul kejenuhan-kejenuhan dari perempuan untuk
memperjuangkan kepentingannya.
Akhirnya, tak banyak yang bertahan di garda depan menyuarakan nasib
perempuan. Sementara yang lain menyerah dengan berkompromi atau lebih buruk
menerima konstruksi sebagai kodrat yang terberi. Media pun dalam hal ini turut memperkuat konstruksi perempuan yang
demikian, baik melalui tayangan maupun iklan yang dibuat. Misalnya, bagaimana
perempuan dikonstruksi harus menjadi cantik melalui iklan-iklan kosmetik dan
bagaimana perempuan harus menjadi ibu rumah tangga yang baik melalui
iklan-iklan barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Di sisi lain, tidak banyak pihak yang sadar akan hegemoni gender
yang telah menyetir kehidupan perempuan. Dari sini, perlu diupayakan pendidikan
yang berbias gender, yaitu dengan tidak melakukan pembedaan atas perempuan dan
laki-laki serta berupaya membongkar strereotip yang timpang. Sebenarnya pendidikan berbasis gender jangan diterjemahkan sebagai
upaya perempuan melawan laki-laki. Bukan demikian. Namun, bagaimana perempuan
dapat mendapatkan kesetaraan nonkodrati. Yang dalam jangka panjang dapat
meningkatkan perlindungan, pelayanan dan kesejahteraan kaum perempuan.
Senada dengan empat agenda yang menjadi fokus pemerintah dalam
mengupayakan persamaan gender. Pertama, perlindungan terhadap kaum perempuan
dari kekerasan, kejahatan dan tindakan yang ekstrim. Kedua, peningkatan
kualitas hidup perempuan sesuai dengan indeks pembangunan manusia. Ketiga,
memajukan dan mengembangkan kaum perempuan di segala bidang baik politik,
ekonomi maupun sosial. Keempat memastikan bahwa tatanan kehidupan UU dan
peraturan lainnya harus adil, tidak bias gender, dan tidak diskriminatif.
Jika perempuan tidak diberikan kesempatan berprestasi dan
berkontribusi kepada bangsa dan negara, sebagaimana juga kaum lelaki, program
pemerintah tersebut tidak akan mungkin tercapai. Pendidikan gender sendiri merupakan salah satu upaya dalam
mendekonstruksi ideologi, yaitu mempertanyakan kembali segala sesuatu yang
menyangkut nasib perempuan di mana saja, pada tingkat dan bentuk apa saja,
berbasis pendidikan kritis (critical education). Pendidikan ini dapat membantu
perempuan memahami pengalaman dan menolak ideologi serta norma yang dipaksakan
pada mereka (Weiler, 1988 dalam Fakih, 2006 : 152). Di mana tujuan akhirnya
adalah untuk melahirkan gagasan dan nilai baru yang menjadi dasar bagi
transformasi gender.
0 komentar:
Post a Comment