Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Wednesday 31 July 2013

Pendidikan Berbasis Gender



Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat di Koran Barometer, Selasa, 30 Juli 2013


Selama ini, perempuan selalu diposisikan di belakang, atau lebih mudahnya perempuan hanya identik dengan urusan belakang, dapur, kasur, dan sumur. Kontruksi ini lahir karena sejak dulu sampai sekarang belum ada pemahaman yang menempatkan posisi perempuan di depan. Apalagi, budaya “patriarki” masih berlaku di Negara ini, padahal hal itu sangat menindas perempuan.

Di sisi lain, di dunia pendidikan kita juga salah kaprah dalam mengajarkan posisi perempuan di dalam kehidupan. Seperti contoh dalam pelajaran di tingkat SD sering kita mendengar pelajaran Bahasa Indonesia yang menempatkan perempuan di belakang. Misalnya, “Bapak pergi kantor, ke sawah, dan ibu menyapu di rumah, mencuci, memasak nasi di dapur”. Nah, seolah-olah juga ayah mencuci pakaian menjadi “tabu”, padahal sah-sah saja ayah mencuci pakaian. Selain itu, terkesan perempuan selalu di tempatkan di belakang. Ini merupakan diskriminasi perempuan yang diajarkan di sekolah. Maka dari itu, dalam konteks ini, “pendidikan gender” menjadi jawaban atas diskriminasi yang terjadi di masyarakat.
Konsep Pendidikan Gender
Gender merupakan kontruksi sosial yang menempatkan laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat yang sifatnya tidak kodrati (Yudhi Haryono, 2009). Gender sendiri merupakan pelabelan atas laki-laki dan perempuan. Kontruksi sebenarnya tidak membedakan laki-laki dan perempuan atas perbedaan seks yang dimiliki. Dasar sosialisasi ini secara kuat telah membentuk ideologi gender, melalui kontruksi sosial yang melembaga. Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, jantan.
Perempuan dikontruksikan sebagai makhluk yang perlu dilindungi, kurang mandiri, tidak rasional, hanya mengandalkan perasaan, dan lain-lain. Konsekuensinya, muncul batasan-batasan yang menempatkan perempuan pada ruang penuh dengan aturan baku yang perlu dijalankan. Padahal, banyak sisi positif dari perempuan yang membedakannya dengan laki-laki dan jarang diekspos. Yaitu watak dan karakter perempuan yang terbuka, tekun, penyabar dan jujur
Perempuan dan laki-laki dibedakan atas dasar kepantasannya. Kemudian dibuatkan label yang ditempelkan pada masing-masing jenis untuk membedakan dan menciptakan pandangan stereotif bagi laki-laki dan perempuan. Pandangan stereotip ini kemudian mengaburkan pandangan terhadap manusia secara pribadi, karena memasukkan setiap jenis manusia dalam kotak stereotip.
Oleh karena itu, seorang pribadi baik perempuan dan laki-laki dianggap tidak pantas apabila “keluar dari kotak tersebut”. Ia akan merasa bersalah, apabila tidak memenuhi kehendak sosial dan label yang diciptakan. Pandangan ini terus dibakukan melalui tradisi berabad-abad, sehingga dianggap kodrat yang tidak dapat diubah. Seolah-olah ciri perempuan dan laki-laki sudah terkunci mati.
Pada dasarnya, selama pandangan ini tidak mengarah pada hubungan yang tidak adil, tidak menjadi masalah. Namun ternyata, perbedaan ini menciptakan diskriminasi yang timpang dengan pihak perempuan pada posisi yang dirugikan. Dalam buku Analisis Sosial dan Tranformasi Sosial (2006, 13) disebutkan bahwa ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi dalam keputusan politik, pembentukan stereotip dalam pelabelan negatif, kekerasan, pembebanan kerja yang lebih panjang serta sosialisasi nilai peran gender.
Diskriminasi ini apabila tidak dipersoalkan akan menjadi keras dan keji, akhirnya sampai pada tindakan yang tidak manusiawi (dehumanisasi) bagi perempuan dan bahkan bagi laki-laki. Marginalisasi perempuan, telah menempatkan atau menggeser perempuan ke pinggiran. Akibatnya, perempuan selalu dinomorduakan apabila ada kesempatan untuk memimpin. Perempuan selalu menjadi second class yang dinomorduakan ketika bersanding dan berkompetisi dengan laki-laki, hingga muncul kejenuhan-kejenuhan dari perempuan untuk memperjuangkan kepentingannya.
Akhirnya, tak banyak yang bertahan di garda depan menyuarakan nasib perempuan. Sementara yang lain menyerah dengan berkompromi atau lebih buruk menerima konstruksi sebagai kodrat yang terberi. Media pun dalam hal ini turut memperkuat konstruksi perempuan yang demikian, baik melalui tayangan maupun iklan yang dibuat. Misalnya, bagaimana perempuan dikonstruksi harus menjadi cantik melalui iklan-iklan kosmetik dan bagaimana perempuan harus menjadi ibu rumah tangga yang baik melalui iklan-iklan barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Di sisi lain, tidak banyak pihak yang sadar akan hegemoni gender yang telah menyetir kehidupan perempuan. Dari sini, perlu diupayakan pendidikan yang berbias gender, yaitu dengan tidak melakukan pembedaan atas perempuan dan laki-laki serta berupaya membongkar strereotip yang timpang. Sebenarnya pendidikan berbasis gender jangan diterjemahkan sebagai upaya perempuan melawan laki-laki. Bukan demikian. Namun, bagaimana perempuan dapat mendapatkan kesetaraan nonkodrati. Yang dalam jangka panjang dapat meningkatkan  perlindungan, pelayanan dan kesejahteraan kaum perempuan.
Senada dengan empat agenda yang menjadi fokus pemerintah dalam mengupayakan persamaan gender. Pertama, perlindungan terhadap kaum perempuan dari kekerasan, kejahatan dan tindakan yang ekstrim. Kedua, peningkatan kualitas hidup perempuan sesuai dengan indeks pembangunan manusia. Ketiga, memajukan dan mengembangkan kaum perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi maupun sosial. Keempat memastikan bahwa tatanan kehidupan UU dan peraturan lainnya harus adil, tidak bias gender, dan tidak diskriminatif.
Jika perempuan tidak diberikan kesempatan berprestasi dan berkontribusi kepada bangsa dan negara, sebagaimana juga kaum lelaki, program pemerintah tersebut tidak akan mungkin tercapai. Pendidikan gender sendiri merupakan salah satu upaya dalam mendekonstruksi ideologi, yaitu mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib perempuan di mana saja, pada tingkat dan bentuk apa saja, berbasis pendidikan kritis (critical education). Pendidikan ini dapat membantu perempuan memahami pengalaman dan menolak ideologi serta norma yang dipaksakan pada mereka (Weiler, 1988 dalam Fakih, 2006 : 152). Di mana tujuan akhirnya adalah untuk melahirkan gagasan dan nilai baru yang menjadi dasar bagi transformasi gender. 
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Pendidikan Berbasis Gender Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda