Oleh Hamidulloh Ibda
Direktur Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah, Akademisi
Pascasarjana Unnes
Dimuat di Koran Pagi Wawasan, Rabu 24 September 2014
Judul aslinya Tuhan Membusuk
Tuhan Membusuk; Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan.
Demikian tulisan spanduk ketika acara Orientasi Akademik dan Cinta Almamater
(OSCAAR) oleh Senat Mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
(UINSA) yang tak lama ini menimbulkan kontroversi, hujatan, terutama di media
sosial. Bagi kaum intelektual di lingkungan kampus IAIN, UIN maupun STAIN, tema
seperti itu sudah biasa, bahkan menjadi makanan sehari-hari. Namun bagi
masyarakat awam tentu sangat ekstrem. Tema seperti itu sangat kontroversial dan
berpotensi menimbulkan pertikaian, karena dianggap “menistakan” Tuhan.
Sebagian kaum intelektual menyatakan perbuatan senat itu merupakan
contoh liberalisme yang tidak bermutu. Pilihan katanya buruk, mentah, tidak
radikal dan tidak memiliki rujukan akademis dan tidak bisa dipertanggung
jawabkan. Ini kaum liberal “gadungan” alias “abal-abal”.
Setidaknya, tragedi tersebut membuat pemeluk agama di negeri ini sadar
akan tingkat keberagamaannya dan belajar tentang makna, filosofi dan belajar
spiritualisme dalam beragama dan bertuhan. Ahmad Fauzi (2013) dalam bukunya
Agama Skizofrenia menyatakan banyak orang beragama dan beriman pada Tuhan, tapi
sebenarnya mereka tidak “beragama”. Mengapa? Sejatinya, agama bukan sekadar
masalah ketuhanan, sebuah konsep abstrak, rumit dan berbelit-belit, tapi
tentang kemanusiaan, ajaran yang seharusnya mendarah-daging dalam sejarah.
Dekonstruksi
Di beberapa media massa, tema itu menjadi kontroversi karena rata-rata
hanya mengutip di awal saja, yaitu “Tuhan Membusuk”. Sedangkan lanjutannya,
yaitu “Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan” tidak
diikutsertakan dalam pemberitaan. Itulah penyebab kontroversi.
Selama ini banyak orang salah dan setengah hati dalam memahami agama.
Pemeluk agama di Indonesia mengalami “kejumudan” spiritual dalam bertuhan.
Akibat keterbatasan manusia memahami Tuhan yang sebenarnya, lebih tepat
didefinisikan sebagai “tiada daripada ada”. Pengetahuan manusia mengalami
keterbatasan dalam mendefinisikan konsep Tuhan yang transenden, sehingga
pengertian Tuhan selama ini dalam agama Abrahamik/Samawi lebih bisa disebut
berhala daripada Tuhan yang sebenarnya.
Inilah yang harus didekonstruksi. Banyak orang “menuhankan” sesuatu
yang bukan Tuhan. Sehingga, tuhan-tuhan kecil tersebut justru menjadi “tuhan”
daripada Tuhan yang sebenarnya. Nurcholis Madjid (2011) menyatakan kensepsi
“ketuhanan” sangat rumit dan selalu menimbulkan perdebatan dalam sepanjang
kehidupan manusia. Oleh karena itu, pemeluk agama tak boleh terjebak dalam
perangkat yang jika salah bisa menyesatkan.
Istilah “ketuhanan” merupakan
istilah yang sangat
abstrak; bukan “Tuhan”, melainkan
“ketuhanan”, suatu prinsip
mengenai Tuhan, tetapi bukan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, ia pun
sangat sulit diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Dalam bahasa Inggris
barangkali dapat diterjemahkan dengan istilah divinity, bukan “deity” atau “God”, dan dalam bahasa Jerman Gottheit
atau Gottlichkeit. Ia pun bukan Gott.
Hanya teologi yang dapat menjelaskan dengan memberikan definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan ketuhanan
itu secara nyata (Aritonang, 2004: 256).
Tuhan Membusuk dalam konteks ini bukan berarti Tuhan sudah busuk,
melainkan nilai-nilai dan ajaran tentang agama dan ketuhanan sudah membusuk.
Tuhan membusuk bukan berarti membusuk secara fisik, namun lebih pada substansi
ajaran Tuhan yang kini mengalami pergeseran.
Hal itu muncul sebagai antiklimaks suatu negara yang beragama, namun
mereka seperti orang yang tak memiliki nilai religius. Seperti contoh, banyak
pemuka agama di negeri ini terjerat korupsi, penyelewengan dana haji dan
sebagainya. Padahal mereka adalah pemeluk agama yang taat. Tragedi di UINSA itu
merupakan replika dari patologi dan anomali agama yang makin berkembang.
Walter Kaufmann (1974) menyatakan istilah “Tuhan telah mati” sebenarnya
sudah ada sejak dulu. Tuhan sudah mati (bahasa Jerman: Gott ist tot)
adalah sebuah ungkapan yang banyak dikutip dari Friedrich Nietzsche. Tuhan
sudah mati tidak boleh ditanggapi secara harfiah, seperti dalam “Tuhan kini
secara fisik sudah mati”. Sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan
bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari
semua aturan moral atau teleologi.
Dalam konsep akidah Islam, untuk mencapai Tuhan harus ada dua syarat,
yaitu “peniadaan” dan “pengecualian”. Yaitu la ilaha illallah (tiada
tuhan selain Allah). Artinya, untuk mengadakan Tuhan, kita harus mengecualikan,
membunuh tuhan-tuhan kecil seperti mobil, rumah, jabatan, perempuan dan
sebagainya. Jika Tuhan dikatakan “membusuk”, sebenarnya itu secara substansial
mengritik “membusuknya” ajaran dan nilai-nilai Tuhan.
Gus Dur (2011) menyatakan secara tegas “Tuhan tak perlu dibela”. Dalam
konteks ini, Tuhan adalah proyeksi tertinggi manusia. Kita tak perlu berlebihan
dalam mendiskusikan Tuhan, karena dimensi kita sangat berbeda jauh.
Beragama Substantif
Bertuhan memang tak harus beragama. Pasalnya, di era digital seperti
ini, banyak orang beragama hanya kulitnya saja. Hanya pada tataran ritus,
liturgi dan sakramen saja. Tesis inilah yang menjadikan banyak orang beragama
yang seakan-akan “gila” dan kehilangan kesadaran. Bahkan, pemeluk agama
rata-rata “memonopoli” Tuhan. Mereka menganggap orang yang tak beragama tak
bertuhan.
Karen Armstrong (1993)
menjelaskan ketika sebuah konsepsi tentang Tuhan tidak lagi mempunyai
makna/relevansi, ia akan diam-diam ditinggalkan dan digantikan teologi baru.
Tesis ini harus diruwat. Artinya, jalan terbaik dari masalah ini adalah
beragama dan bertuhan secara substantif dan sampai akar.
Jalaluddin Rakhmat (2006) menjelaskan Tuhan
sejati adalah Tuhan yang disaksikan bukan Tuhan yang didefinisikan.
Albert Ellis (1913-2007) menyebut orang yang sehat secara emosional bersifat
fleksibel, terbuka, toleran dan siap berubah. Sedangkan orang yang sangat taat
beragama cenderung tidak fleksibel, tertutup, tidak toleran dan tidak mau berubah.
Ini memberi pesan pada manusia agar meskipun beragama tak harus “kaku” dan
harus toleran.
Emha Ainun Nadjib (2013) menyatakan sebenarnya kita tak perlu beragama
pun harus toleran dan menciptakan kegembiraan pada semua manusia. Kita
diharuskan menjadi manusia dulu sebelum beragama. Mengapa? Jika sudah menjadi
manusia sebenarnya, pasti kita tidak melukai, menyakiti orang lain.
0 komentar:
Post a Comment