Oleh Hamidulloh Ibda
Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah
Dimuat di Koran Pagi Wawasan, Senin 6 Oktober 2014
Setiap negara di dunia ini lahir dengan ideologinya
masing-masing. Ideologi itu lahir dari faham dan kondisi warganya. Ideologi
negara tak bisa hidup kecuali kontinu disemai sebagai pegangan hidup
kenegaraan, termasuk dalam politik.
Sebagai usaha menghidupkan dan mentradisikan ideologi
negara, kita berkewajiban “berpancasila sepenuh hati”. Politiknya dan
demokrsinya adalah politik dan demokrasi Pancasila sepenuh hati. Tujuannya
untuk melestarikan ideologi negara agar tak mati dan tergantikan ideologi lain.
Pancasila menjadi tonggak kemajuan Indonesia. Pancasila di
segala zaman dan kondisi apapun tetap relevan diterapkan di Indonesia. Tanpa
Pancasila, Indonesia tak bisa menjadi negera yang unggul dalam segala hal. Di
dalamnya, terkandung nilai luhur, nilai-dasar, nilai instrumental, nilai
praksis dan nilai teknis.
Pancasila menjadi ideologi Indonesia yang lestari tetapi
juga dinamis. Nilai luhur dan dasar bersifat tetap, sementara nilai
instrumental, nilai-praksis dan nilai teknis dapat direformasi sesuai dengan
perkembangan tuntutan zaman. Penafsiran itu tidak bisa diselewengkan seenaknya.
Saat ini nilai-nilai Pancasila terdistorsi dan dikhianati masyarakat Indonesia
sendiri.
Dulu, hakikat (sila-sila
Pancasila) dalam penerapannya pernah disalahtafsirkan di masa Orde Lama
(berupa Trisila kemudian Ekasila). Di masa Orde Baru “disepihaktafsirkan” (P-4,
asas tunggal Pancasila, referendum, massa-mengambang). Juga
“direformasitafsirkan” (masih diproses oleh BP-MPR) karenanya belum final, dan
direncanakan akan dituntaskan pada Sidang Tahunan MPR bulan Agustus 2002 pada
agenda Perubahan-IV UUD 1945) di Era Reformasi.
Tahun ini, Pancasila kembali disalahtafsirkan dengan
memunculkan UU Pilkada. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan disalahtafsirkan. Di dalamnya
terkandung makna bahwa
NKRI menerapkan asas kerakyatan. Asas ini sebagai landasan
penerapan kedaulatan rakyat, kedaulatan
rakyat ini sebagai basis demokrasi dan prinsip-prinsip demokrasi itu
bersifat universal bagi bangsa-bangsa
beradab di dunia.
Pilkada langsung dan tidak langsung bukan sekadar masalah
metode politik, namun harus mengutamakan “nilai demokratis”. Robert Ahlan Dahl
(1915-2014) menjelaskan parameter kehidupan demokrasi adalah pemilu langsung.
Artinya, jika Pilkada dilaksanakan lewat DPR, hal itu belum memenuhi syarat
negara demokrasi.
Sadek J. Sulayman (1993) menjelaskan standar baku demokrasi
harus melaksanakan pemilu dan kebebasan berbicara tiap warga negara. Jadi,
Pilkada tak langsung sangat melukai spirit demokrasi. Secara sederhana,
demokrasi di Indonesia adalah “setengah hati” dan melumpuhkan jiwa Pancasila.
Absennya Ideologi
Dalam kehidupan kenegaraan kita, nilai-nilai Pancasila harus
tertradisikan di semua zaman, tempat dan kesempatan. Sayangnya, kita justru
melihat banyaknya nilai-nilai itu makin luntur. Muncul dan menguatnya
fundamentalisme menggusur nilai spiritualisme (sila pertama). Berkembangbiaknya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menggusur nilai humanitas (sila kedua).
Bercokolnya neoliberalisme menggusur nilai nasionalitas
(sila ketiga). Menangnya kartel dan oligarki menggusur nilai sovereinitas (sila
keempat). Mentradisinya individualisme dan “gotong-nyolong” menggusur
nilai sosialitas (sila kelima). Lunturnya nilai-nilai Pancasila dan menguatnya
nilai-nilai yang melawannya mengakibatkan gagasan staatsidee dan rechtsidee
yang menempatkan Pancasila sebagai konstitutif dan regulatif perlahan dan pasti
memudar, luntur dan ditinggalkan.
Perkembangan politik saat ini sangat paradok dengan
Pancasila, rasanya kita dituntut tetap harus mengembangkan sikap rasional dan
berpikir jalan lurus. Tujuannya agar perkembangan tidak kontradiksi. Kita harus
berhati-hati dalam memutuskan sebuah “undang-undang” yang tidak memakai
rasionalitas Pancasila.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia harus menerapkan prinsip pembagian kekuasaan
antarlembaga negara, Pemilu yang bebas jurdil, multiparpol, pemerintahan
mayoritas, perlindungan minoritas, pers yang bebas demokratis, kontrol
publik/sosial, negara untuk kesejahteraan rakyat dan pelayanan publik.
Sayangnya, nilai luhur itu sudah “kritis” bahkan rakyat diajarkan “kebodohan”
lewat peraturan-peraturan yang tidak memihak hati nurani rakyat.
Politik Pancasila
Pancasila mengamanatkan politik yang demokratis dan tidak
menyembelih hak-hak rakyat. Emha Ainun Najib (2013) menjelaskan politik
Pancasila adalah politik yang sangat revelan dengan kejiwaan bangsa. Politik
Pancasila selalu mengutamakan kebersamaan dan harmoni daripada kepentingan
pribadi dan golongan. Sebab, politik golongan saat ini tak bisa dipercaya dan
mampu menyalurkan aspirasi rakyat.
Munculnya Undang-undang Pilkada menjadi bukti pengkhianatan
nilai-nilai Pancasila. Hak demokratis rakyat disembelih oleh mereka yang tidak
bertanggung jawab atas amanah yang diberikan oleh rakyat. Frans Magnis Suseno
(1997) mejelaskan parameter negara demokrasi adalah menjamin rakyat mendapatkan
hak-hak demokratis. UU Pilkada secara jelas “menyembelih” hak-hak demokratis
rakyat.
Berpolitik Pancasila harus menggunakan metode dialogis dan
konsensual dengan menjadikan ideologi sebagai bukan saja weltanschauung yang
bersifat pandangan dunia, tapi juga sebagai way of life bangsa dalam
hidupnya sehari-hari. Jika hal itu berjalan, politik di Indonesia pasti
bermartabat dan sangat dicintai rakyat dan Tuhan.
Mohammad Hatta (1966) menulis risalah tentang “Pancasila
Djalan Lurus”. Maksudnya adalah, kita harus memulai sistem politik berbasis
ideologi Pancasila yang tidak ke kiri maupun ke kanan. Kita harus lurus dalam
menjalankan dasar pemikiran filosofis ini untuk memaknai kehidupan lainnya.
Kita harus membentuk sistem politik Pancasila yang kuat dan
adaptif dalam semua bidang. Jika kita gagal menciptakan dan mentradisikan
sistem Pancasila menjadi sebuah kesatuan Trisakti Bung Karno, maka masa depan
kita “kelam”. Ingat, tanpa kesatuan gerakan Pancasila, kita sama saja
menelantarkan rakyat dalam bidang politik. Itu artinya, kita mengkhianati cara
berpikir maupun sikap batin bangsa Indonesia.
Rekonsiliasi
Agar Pancasila tetap mendarahdaging di jiwa manusia
Indonesia, harus ada penanggungjawab legal standing bagi seluruh produk
undang-undang. Pemerintah harus didesak dengan fakta-fakta yang non-Pancasilais
agar ikut mengembangkan dirinya tidak diperintah atau diayomi kekuatan-kekuatan
yang non-epistemologis dan non-Pancasilais. Contoh begitu banyak yang
menyangkut kepentingan publik yang tidak ada keberpihakannya secara mendasar
seperti UU Pilkada yang saat ini menjadi polemik.
Memastikan kedudukan dan keberadaan Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau weltanschauung (pandangan
hidup) bagi bangsa Indonesia. Selanjutnya, memastikan disemainya
nilai-nilai inti yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
kebijaksanaan serta keadilan. Pancasila juga harus dipastikan sebagai identitas
atau jati diri kebangsaan Indonesia.
Di jiwa manusia Indonesia, Pancasila harus merasuk dalam
kepribadian, karakter bangsa dan corak peradaban bangsa Indonesia. Pemerintah
juga harus memastikan terlaksananya kultur dan tradisi Pancasila di semua
lembaga pendidikan formal, informal dan non-formal.
Dengan revolusi mental diharapkan pemerdekaan ini dimulai
dari individu masing-masing tapi ini tidak cukup karena akan menjadi
individualis. Revolusi mental yang diharapkan bisa mengikat dan berjaringan
antara manusia satu dengan manusia lainnya, sehingga diartikan manusia satu
dengan manusia lainnya saling menguatkan bukan saling melemahkan.
Mahatma
Gandhi (1869-1948) di India mengajarkan sistem filosofi yang bermuara pada
tujuh dosa sosial (seven social sin) yang menjadi rujukan Perserikatan
Bangsa Bangsa. Jika kita mampu menjadikan Pancasila bisa berlaku seperti hal
itu maka warga negara Indonesia pasti bangga terhadap ideologinya. Satu perasaan yang sudah
lama hilang akibat gerusan globalisasi yang meminggirkan ideologi Pancasila.
Tak kalah penting, yang harus dibentuk
bukan hanya vanguard of the constitution. Namun juga vanguard of the Pancasila dengan cara konsientisasi program
kursus Pancasila di semua kalangan, terutama di jaringan politik,
parpol, intelektual, sekolah,
kurikulum dan tradisi untuk membangun karakter yang Pancasilais.
0 komentar:
Post a Comment