Oleh Hamidulloh Ibda, M.Pd
Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah
Tulisan ini dimuat di Harian Umum Galamedia, Selasa 17
Januari 2017.
Selama ini, guru masih mengajar dan belum “membelajarkan”.
Kebanyakan, guru dan dosen di negeri ini, pasti masih terpatri dengan pemaknaan
“mengajar” dalam pendidikan, baik itu di sekolah maupun kampus. Artinya, tugas
guru adalah mengajar atau sekadar mentransfer ilmu (transfer of knowledge). Dikarenakan tidak paham, mengajar pun sudah
dilegitimasi menjadi undang-undang. Akhirnya, mau tidak mau, paham tidak paham,
idiom “mengajar” menjadi kegiatan utama di sekolah yang berorientasi hanya
transfer dan mencari ilmu.
Dalam pendidikan, setiap idiom mengandung gagasan dan
setting epistemologi tersendiri. Mendidik, membelajarkan dan mengajar jelas
berbeda gagasan dan konsepnya. Teori jadul, “Didaktik Metodik” yang sekarang
berubah menjadi “Metodologi Pembelajaran” menjelaskan pengertian yang berbeda
antara mendidik, membelajarkan dan mengajar. Namun, istilah mengajar menjadi
lebih familiar karena guru besar, dosen maupun guru “gagal paham” memaknai
teori dan praktik mengajar dan membelajarkan.
Guru Kok Mengajar!
Dandan Supratman (2014) menjelaskan ada perbedaan mendasar dari
kegiatan mendidik, membelajarkan dan mengajar. Sebab, ketiganya memiliki teori,
konsep dan output yang berbeda pada siswa. Mendidik, lebih pada aspek moral
yang didasarkan pada “pedagogi” dan “andragogi”, sedangkan mengajar secara
metodologi pembelajaran lebih pada satu arah, yaitu gurunya saja yang aktif
atau teacher centre learning.
Sementara membelajarkan, adalah membuat anak didik belajar, dengan model,
pendekatan, metode dan kiat apa saja dalam pembelajaran.
Dalam konteks di sekolah, guru seharusnya “membelajarkan”
bukan mengajar. Jika hanya mengajar, banyak dampak dari proses tersebut yang
tidak memenuhi standar kompetensi lulusan. Sebab, guru tidak hanya dituntut
memenuhi capaian ranah kognitif (pengetahuan) saja, namun juga afektif (sikap,
nilai) dan psikomotorik (mental). Namun, fakta di lapangan masih banyak guru
belum paham perbedaan mendasar dari aktivitas mendasar ketiga hal itu. Padahal
jika konsep “membelajarkan” dilaksanakan guru dengan serius, maka gagasan
Revolusi Mental bisa dimulai dari pendidikan.
Jika ada idiom “guru dilarang mengajar”, jawaban mereka
pasti “guru harus mendidik”. Padahal, mengajar bukanlah mendidik dan mendidik
bukanlah mengajar. Ouput, konsep dan dan setting filsafatnya berbeda, serta
capaian tiap kegiatan juga berbeda. Dalam konteks ini, guru memang “dilarang
mengajar” jika beriman pada “metodologi pembelajaran” dan ingin ada interaksi
dua arah, yaitu guru-siswa maupun siswa-guru.
Paradigma Didik dan Paradigma Ajar
Sebelum beraktivitas di sekolah, guru harus punya bekal
kemampuan “paratekenis” atau paradigma siap. Artinya mereka siap menjadi guru
dan mengetahui tugas, fungsi dan perannya. Setelah itu, harus tahu paradigma
didik dan paradigma ajar. Guru diwajibkan memahami seputar ilmu pendidikan,
filsafat pendidikan, manajemen pendidikan, psikologi pendidikan, statistik
pendidikan dan lainnya. Sedangkan paradigma ajar berkaitan dengan metodologi
pembelajaran yang di dalamnya memuat pendekatan, model, strategi, metode,
teknik, kiat dalam pembelajaran.
Secara konseptual, mendidik dari kata “didik”, kegiatannya
berupa “mendidik”, pelakunya “pendidik” dan secara lebih luas disebut
“pendidikan” yang pembagiannya lebih kompleks. Sebab, mendidik adalah aktivitas
penanaman kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Mengajar, adalah
aktivitas transfer of knowledge yang
hanya satu arah saja, yaitu yang aktif hanya gurunya. Mengajar berasal dari
kata “ajar” dan kegiatannya disebut “mengajar” dan “pengajaran”, pelakunya disebut
“pengajar” atau lazim disebut guru.
Sementara membelajarkan, berasal dari kata “belajar”,
kegiatannya namanya “membelajarkan” atau “pembelajaran”, sedangkan pelakunya
namanya “pembelajar”, baik itu guru dan siswa. Dalam proses belajar di sekolah
yang lebih tepat adalah “membelajarkan”. Sebab, guru dan siswa posisinya sama,
sejajar, dan memiliki kebebasan sama untuk mengeluarkan pendapat. Akan tetapi,
selama ini kegiatan membelajarkan hanya terjadi di bangku perkuliahan,
sedangkan jenjang SD-SMA hanya mengajar, karena yang aktif hanya guru.
Jika guru membelajarkan,
maka proses pembelajaran berlangsung dua arah, guru-siswa, siswa-guru dan
sebagainya. Guru juga membuat
siswa belajar dan membuat siswa aktif belajar. Oleh karena itu, guru dituntut
memahami “paradigma didik” dan “paradigma ajar”. Agar terarah, guru juga harus menguasi
perbedaan pendekatan, model, strategi, metode, teknik dan kiat.
Pendekatan
pembelajaran itu lebih filosofis, aksiomatis dan konseptual. Sementara model
pembelajaran harus ada sintaksmatis atau tahapan-tahapan dalam pembelajaran.
Sedangkan strategi, metode, teknik dan kiat pembelajaran itu lebih aplikatif
dan kondisional. Jika tidak tahu perbedaannya, maka guru pasti “rabun” dalam
membelajarkan di kelas. Kalau guru sudah buta, lalu bagaimana dengan nasib
siswanya?
Dilarang Mengajar!
Untuk menciptakan guru pembelajar, memang butuh waktu
panjang dan perubahan secara menyeluruh, mulai dari perubahan undang-undang,
kurikulum, silabus sampai RPP. Namun, yang lebih penting sebenarnya adalah
perubahan cara berpikir dan budaya pelaku pendidikan, baik itu dosen maupun
guru. Sebab, selama mereka tidak memahami perbedaan mendidik, mengajar dan
membelajarkan, maka sampai kiamat pun, guru-guru pasti masih tetap mengajar.
Paulo Freire (1970) pernah mengritik kegiatan pendidikan
yang masih membelenggu siswa. Paulo Freire menilai pendidikan masih menggunakan
“gaya bank” yang jelas itu membelenggu siswa bahkan menindas siswa dari
kebebasan. Hal itu tentu dari akibat pola pendidikan yang salah dan pelaksanaan
pembelajaran yang melenceng dari hakikatnya.
Dari pola yang salah tersebut, ouput pendidikan melahirkan
generasi cerdas intelektual, namun miskin spiritual dan moral. Mereka cerdas
tapi tidak memiliki “kesalehan intelektual”. Padahal, Tan Malaka (1897-1949)
menyebut tujuan pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh
kemauan serta memperhalus perasaan.
Problem tersebut, tentu dimulai dari pola pembelajaran dalam
kelas. Jika hanya mengajar saja tanpa membelajarkan bahkan mendidik, maka
ouputnya hanya generasi cerdas tapi miskin moral. Padahal, hakikat belajar
bukan meraup ilmu sebanyaknya dan menumpuk gelar setingginya, namun menata cara
berpikir dan mengubah perilaku.
Jika itu terlaksana, maka pendidikan akan melahirkan
generasi yang memanusiakan manusia. Pertanyanya, sampai kapan guru di negeri
ini akan terus mengajar?
Foto Tulisan:
0 komentar:
Post a Comment