Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Wednesday 18 January 2017

Guru Dilarang Mengajar!

Oleh Hamidulloh Ibda, M.Pd
Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah
Tulisan ini dimuat di Harian Umum Galamedia, Selasa 17 Januari 2017.


Selama ini, guru masih mengajar dan belum “membelajarkan”. Kebanyakan, guru dan dosen di negeri ini, pasti masih terpatri dengan pemaknaan “mengajar” dalam pendidikan, baik itu di sekolah maupun kampus. Artinya, tugas guru adalah mengajar atau sekadar mentransfer ilmu (transfer of knowledge). Dikarenakan tidak paham, mengajar pun sudah dilegitimasi menjadi undang-undang. Akhirnya, mau tidak mau, paham tidak paham, idiom “mengajar” menjadi kegiatan utama di sekolah yang berorientasi hanya transfer dan mencari ilmu.

Dalam pendidikan, setiap idiom mengandung gagasan dan setting epistemologi tersendiri. Mendidik, membelajarkan dan mengajar jelas berbeda gagasan dan konsepnya. Teori jadul, “Didaktik Metodik” yang sekarang berubah menjadi “Metodologi Pembelajaran” menjelaskan pengertian yang berbeda antara mendidik, membelajarkan dan mengajar. Namun, istilah mengajar menjadi lebih familiar karena guru besar, dosen maupun guru “gagal paham” memaknai teori dan praktik mengajar dan membelajarkan.

Guru Kok Mengajar!
Dandan Supratman (2014) menjelaskan ada perbedaan mendasar dari kegiatan mendidik, membelajarkan dan mengajar. Sebab, ketiganya memiliki teori, konsep dan output yang berbeda pada siswa. Mendidik, lebih pada aspek moral yang didasarkan pada “pedagogi” dan “andragogi”, sedangkan mengajar secara metodologi pembelajaran lebih pada satu arah, yaitu gurunya saja yang aktif atau teacher centre learning. Sementara membelajarkan, adalah membuat anak didik belajar, dengan model, pendekatan, metode dan kiat apa saja dalam pembelajaran.

Dalam konteks di sekolah, guru seharusnya “membelajarkan” bukan mengajar. Jika hanya mengajar, banyak dampak dari proses tersebut yang tidak memenuhi standar kompetensi lulusan. Sebab, guru tidak hanya dituntut memenuhi capaian ranah kognitif (pengetahuan) saja, namun juga afektif (sikap, nilai) dan psikomotorik (mental). Namun, fakta di lapangan masih banyak guru belum paham perbedaan mendasar dari aktivitas mendasar ketiga hal itu. Padahal jika konsep “membelajarkan” dilaksanakan guru dengan serius, maka gagasan Revolusi Mental bisa dimulai dari pendidikan.

Jika ada idiom “guru dilarang mengajar”, jawaban mereka pasti “guru harus mendidik”. Padahal, mengajar bukanlah mendidik dan mendidik bukanlah mengajar. Ouput, konsep dan dan setting filsafatnya berbeda, serta capaian tiap kegiatan juga berbeda. Dalam konteks ini, guru memang “dilarang mengajar” jika beriman pada “metodologi pembelajaran” dan ingin ada interaksi dua arah, yaitu guru-siswa maupun siswa-guru.

Paradigma Didik dan Paradigma Ajar
Sebelum beraktivitas di sekolah, guru harus punya bekal kemampuan “paratekenis” atau paradigma siap. Artinya mereka siap menjadi guru dan mengetahui tugas, fungsi dan perannya. Setelah itu, harus tahu paradigma didik dan paradigma ajar. Guru diwajibkan memahami seputar ilmu pendidikan, filsafat pendidikan, manajemen pendidikan, psikologi pendidikan, statistik pendidikan dan lainnya. Sedangkan paradigma ajar berkaitan dengan metodologi pembelajaran yang di dalamnya memuat pendekatan, model, strategi, metode, teknik, kiat dalam pembelajaran.

Secara konseptual, mendidik dari kata “didik”, kegiatannya berupa “mendidik”, pelakunya “pendidik” dan secara lebih luas disebut “pendidikan” yang pembagiannya lebih kompleks. Sebab, mendidik adalah aktivitas penanaman kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Mengajar, adalah aktivitas transfer of knowledge yang hanya satu arah saja, yaitu yang aktif hanya gurunya. Mengajar berasal dari kata “ajar” dan kegiatannya disebut “mengajar” dan “pengajaran”, pelakunya disebut “pengajar” atau lazim disebut guru.

Sementara membelajarkan, berasal dari kata “belajar”, kegiatannya namanya “membelajarkan” atau “pembelajaran”, sedangkan pelakunya namanya “pembelajar”, baik itu guru dan siswa. Dalam proses belajar di sekolah yang lebih tepat adalah “membelajarkan”. Sebab, guru dan siswa posisinya sama, sejajar, dan memiliki kebebasan sama untuk mengeluarkan pendapat. Akan tetapi, selama ini kegiatan membelajarkan hanya terjadi di bangku perkuliahan, sedangkan jenjang SD-SMA hanya mengajar, karena yang aktif hanya guru.

Jika guru membelajarkan, maka proses pembelajaran berlangsung dua arah, guru-siswa, siswa-guru dan sebagainya. Guru juga membuat siswa belajar dan membuat siswa aktif belajar. Oleh karena itu, guru dituntut memahami “paradigma didik” dan “paradigma ajar”. Agar terarah, guru juga harus menguasi perbedaan pendekatan, model, strategi, metode, teknik dan kiat.

Pendekatan pembelajaran itu lebih filosofis, aksiomatis dan konseptual. Sementara model pembelajaran harus ada sintaksmatis atau tahapan-tahapan dalam pembelajaran. Sedangkan strategi, metode, teknik dan kiat pembelajaran itu lebih aplikatif dan kondisional. Jika tidak tahu perbedaannya, maka guru pasti “rabun” dalam membelajarkan di kelas. Kalau guru sudah buta, lalu bagaimana dengan nasib siswanya?

Dilarang Mengajar!
Untuk menciptakan guru pembelajar, memang butuh waktu panjang dan perubahan secara menyeluruh, mulai dari perubahan undang-undang, kurikulum, silabus sampai RPP. Namun, yang lebih penting sebenarnya adalah perubahan cara berpikir dan budaya pelaku pendidikan, baik itu dosen maupun guru. Sebab, selama mereka tidak memahami perbedaan mendidik, mengajar dan membelajarkan, maka sampai kiamat pun, guru-guru pasti masih tetap mengajar.

Paulo Freire (1970) pernah mengritik kegiatan pendidikan yang masih membelenggu siswa. Paulo Freire menilai pendidikan masih menggunakan “gaya bank” yang jelas itu membelenggu siswa bahkan menindas siswa dari kebebasan. Hal itu tentu dari akibat pola pendidikan yang salah dan pelaksanaan pembelajaran yang melenceng dari hakikatnya.

Dari pola yang salah tersebut, ouput pendidikan melahirkan generasi cerdas intelektual, namun miskin spiritual dan moral. Mereka cerdas tapi tidak memiliki “kesalehan intelektual”. Padahal, Tan Malaka (1897-1949) menyebut tujuan pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.

Problem tersebut, tentu dimulai dari pola pembelajaran dalam kelas. Jika hanya mengajar saja tanpa membelajarkan bahkan mendidik, maka ouputnya hanya generasi cerdas tapi miskin moral. Padahal, hakikat belajar bukan meraup ilmu sebanyaknya dan menumpuk gelar setingginya, namun menata cara berpikir dan mengubah perilaku.


Jika itu terlaksana, maka pendidikan akan melahirkan generasi yang memanusiakan manusia. Pertanyanya, sampai kapan guru di negeri ini akan terus mengajar?

Foto Tulisan:


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Guru Dilarang Mengajar! Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda