Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Tuesday 31 January 2017

Membumikan Ejaan Bahasa Indonesia

Oleh Hamidulloh Ibda, M.Pd
Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Senin 30 Januari 2017


Selama ini, Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) yang sudah disahkan Kemendikbud tahun 2015 lalu, ternyata masih belum dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia. Padahal, EBI menjadi pijakan utama dalam berbahasa, baik lisan maupun tulisan. Tidak hanya masyarakat biasa, namun wartawan, penulis, dosen, guru dan peneliti Bahasa Indonesia juga masih sedikit yang tahu. Kebanyakan, mereka masih mengira bahwa pijakan berbahasa masih menggunakan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD).

Meskipun secara substansi hampir sama, namun EBI menjadi “kitab suci” dalam berbahasa. Maka rumusnya, Bahasa Indonesia menjadi penting. Sebab, selain menjadi wujud nasionalisme dan cinta kepada Nusantara, berbahasa Indonesia dengan benar dan baik adalah ruh dalam menjalankan kehidupan berbangsa. Apalagi mereka yang menjadi anutan berbahasa.

Rustono (2013) menyebut ada beberapa orang yang patut menjadi anutan berbahasa Indonesia yang benar dan baik, yaitu Presiden dan Wakil Presiden, menteri, pemimpin lembaga tinggi, pemimpin ABRI, guru dan dosen, wartawan, sekretaris dan pengonsep pidato, pemuka agama dan tokoh masyarakat. Jika mereka masih salah dalam berbahasa dan “tidak kenal” dengan EBI, lalu bagaimana wujud nasionalismenya?

Kerusakan Bahasa
Bahasa selama ini dianggap hal sepele bahkan tidak penting. Hadirnya dunia digital dan media sosial juga menjadi pemicu rusaknya keindahan Bahasa Indonesia. Meskipun jumlah bahasa daerah di Indonesia mencapai 742 (Pusat Bahasa, 2016), namun hal itu bisa disatukan melalui Bahasa Indonesia. Akan tetapi, mengapa mental kolonial dan “inlander” masih menyelimuti jiwa masyarakat Indonesia? Tentu banyak faktor penyebabnya.

Kerusakan berbahasa, bisa dilihat dari beberapa hal. Bisa salah dalam penggunaan Bahasa Indonesia  belum benar dan baik, tata tulis lemah, penalaran kurang dan aturan ejaan belum benar. Padahal, dalam Bahasa Indonesia, pokok-pokok yang benar mengacu pada pembentukan kata, pemilihan kalimat, penyusunan kalimat, pembentukan paragraf, penataan penalaran dan penerapan pedoman EBI.

Hadirnya media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan layanan pesan seperti WhatsApp, Blackberry Messenger, Line dan lainnya juga menjadi pemicu rusaknya Bahasa Indonesia. Semakin “pintar” para netizen menggunakan bahasa “alay”, maka mereka merasa gaul dan bahkan lupa bahwa mereka adalah masyarakat Indonesia.

Masalah lain, bisa kita lihat dari rasa percaya diri para akademisi dan tokoh bahasa di negeri ini. Lihat saja, dalam seminar internasional yang digelar di perguruan tinggi, masih menggunakan Bahasa Inggris. Padahal, tempat dan peserta seminar didominasi masyarakat Indonesia. Penulis sepakat dengan Ida Zulaeha (2014) yang mewacanakan seminar internasional maupun acara internasional di Indonesia harus menggunakan Bahasa Indonesia. Sebab, sudah saatnya masyarakat “menginternasionalkan” Bahasa Indonesia. Bukan menunjukkan mental inlandernya.

Rasa percaya diri dan “menjadi” bangsa Indonesia seutuhnya harus digelorakan. Ironisnya lagi, untuk menyatakan cinta kepada Indonesia saja harus memakai bahasa orang lain. Contohkan saja I Love Indonesia, We Love Indonesia, dan lainnya. Bukankah ini bukti masyarakat sudah tidak mau menjadi Indonesia seutuhnya? Di mana letak nasionalismenya?

Beriman dan Bertakwa pada EBI
Masalah bahasa, sebenarnya menjadi masalah dunia. Bahasa menjadi perekat, alat komunikasi, bahkan menjadi alat pemersatu semua orang dalam suatu negara. Tanpa berbahasa benar dan baik, maka Indonesia akan semakin rapuh. Padahal, Bahasa Indonesia menjadi alat mewujudkan peradaban di hadapan dunia.

Beriman kepada EBI, dalam hal ini harus digelorakan. Sudah seharusnya masyarakat percaya, yakin, beriman pada bahasanya sendiri beserta aturannya. Sementara konteks takwa di sini, menjauhi semua bahasa yang merusak pundi-pundi keaslian Bahasa Indonesia. Sebab, yang merusak bahasa itu pelakunya, ditambah dengan gempuran globalisasi tanpa kontrol. Boleh dan harus menguasai bahasa asing, namun harus ditempatkan pada porsinya.

Mengapa? Karena kita punya bahasa sendiri yang sudah diatur sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Dalam hal ini, EBI merupakan ejaan resmi Bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (Kemendikbud, 2016). Ejaan ini menggantikan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD).

Pemerintah, terutama Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, harus menyosialisasikan Bahasa Indonesia dan EBI kepada semua elemen. Melalui Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), diharapkan bisa menumbuhkan nasionalisme masyarakat. Dalam naskah PEUBI, ada perbedaan mendasar antara EYD lama dan EBI. Pertama, penambahan huruf vokal diftong. Pada EYD, huruf diftong hanya tiga yaitu ai, au, oi, sedangkan pada EBI, huruf diftong ditambah satu yaitu ei. (misalnya pada kata survei, seprei).

Kedua, penggunaan huruf kapital. Pada EYD tidak diatur bahwa huruf kapital digunakan untuk menulis unsur julukan. Sedangkan dalam EBI, unsur julukan tidak diatur ditulis dengan awal huruf kapital. (Misal raja dangdut, bunga desa, kota batik).  Ketiga, penggunaan huruf tebal. Dalam EYD, fungsi huruf tebal ada tiga (menuliskan judul buku, bab, dan semacamnya, mengkhususkan huruf, serta menulis lema atau sublema dalam kamus). Sementara dalam EBI, fungsi ketiga dihapus.

Berbahasa dengan benar dan baik dan beriman pada EBI adalah keniscayaan. Tanpa itu, kita tidak akan menjadi bangsa besar karena tidak cinta pada bahasanya sendiri. Kerusakan bahasa ini kadang dianggap sepele dan dipandang sebelah mata. Padahal, bangsa yang besar adalah yang menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bisa ditarik simpulan sederhana, salah satu faktor hancurnya Indonesia di bisang ekonomi, sosial, politik, hukum, agama, salah satunya karena masyarakat dan pemerintah masih setengah hati beriman dan bertakwa pada EBI.


Jika ini dibiarkan, maka kita hidup di Indonesia namun menggunakan bahasa orang lain dan hidup di atas peradaban asing. Padahal Bahasa Indonesia itu unik, menarik dan menjadi jimat pemersatu bangsa ini. Jika masih suka bahasa asing dan buta dengan bahasanya sendiri, apakah kita ini memang lupa dan tidak mau menjadi Indonesia? Apakah kita ini asing, aseng atau bangsa Indonesia atau siapa?

Foto Tulisan:







  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Membumikan Ejaan Bahasa Indonesia Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda