Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Tuesday, 25 March 2014

Membaca Sisi Lain Pencapresan Jokowi



HI.dok.2014
Oleh Hamidulloh Ibda 
Tenaga Ahli di KPU Jawa Tengah, Pegiat Pendidikan Politik pada Pascasarjana Universitas Negeri Semarang


Tidak hanya politisi busuk, namun orang yang diagungkan selama ini terbukti “serakah”. Ya, serakah memang sifat dasar manusia yang tentunya juga dimiliki Jokowi. Secara tertutup, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo telah resmi menjadi calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Banyak masyarakat menyambut dengan ekspresi gembira, namun tak sedikit juga mencibir dan menilai Jokowi “serakah” dalam berpolitik.
Mengapa demikian? Dalam eskalasi kepemimpinan Jokowi terlihat seperti “kutu loncat”. Betapa tidak, ketika masalah Solo belum selesai dan maksimal, Jokowi meninggalkannya demi Jakarta. Kemudian, ketika menjabat menjadi Gubernur, Jokowi juga ternyata “meninggalkannya” lagi. Padahal, terbukti komplikasi di DKI Jakarta sangat kompleks dan butuh solusi radikal. Meskipun Jokowi rajin blusukan, namun ternyata hal itu belum menyentuh akar masalah.
Ini sangat logis ketika Jokowi dikatakan serakah. Pasalnya, Jokowi disukai bukan karena “kinerja”, melainkan karena “popularitas” di media massa. Akhirnya, karena Jokowi “bernafsu tinggi” menjadi capres, maka dalam kesempatan inilah Jokowi memanfaatnya popularitasnya. Padahal banjir, macet, monorel dan puluhan problem di Jakarta belum tersentuh sampai akar. Pertanyaannya, apakah Jokowi pemimpin serakah?
Keserahakan Politik
Serakah merupakan “penyakit lama” dalam atmosfir kehidupan politik. Serakah berarti selalu berkehendak memiliki lebih dari yang dimiliki, serakah itu loba, tamak dan rakus. Inilah sindrom yang saat ini mendera pada Jokowi. Padahal “kesatria sejati” tidak akan memilih jabatan tinggi sebelum tanggung jawabnya diselesaikan tuntas dan bermartabat.
Banyak gejolak politik bermunculan karena sifat serakah, keputusan Jokowi dan daulat Megawati mengangkat Jokowi sebagai capres. Meskipun hal itu hal wajar dalam dunia politik, namun harus dikaji dengan kearifan budaya dan keobjektivan. Karena jika dibiarkan, eskalasi politik Jokowi akan mengganggu stigma berpikir masyarakat dan paradigma politik nasional, serta merugikan rakyat Jakarta.
Bahkan, setelah Jokowi ditetapkan menjadi capres yang diusung PDIP, pendukung Megawati Soekarnoputri (Promeg) Jawa Timur, mengancam akan menjadi golongan putih (golput). Hal tersebut ditegaskan Koordinator Promeg Jawa Timur, Bido Swasono, Jumat (14/3/2014). Bido menilai, Jokowi bukan tipe pemimpin yang bisa membawa Indonesia lebih baik, mandiri dan terbebas dari kepentingan kapitalis (Kompas, 15/3/2014). Ini merupakan ekspresi politik yang muncul karena kader PDIP belum percaya penuh pada Jokowi.
Promeg Jatim siap golput jika PDIP positif mengusung Jokowi. Pasalnya, Jokowi tak lebih dari pelaksana administrasi saja, bukan sosok pemimpin. Menurut Bido Swasono, Jokowi merupakan tidak sosok pemimpin visioner. Jika Jokowi terpilih, maka akan berbahaya karena “sama dengan sosok SBY” yang banyak ditunggangi kelompok kepentingan tertentu.
Jika kita berpikir rasional dan objektif, sebenarnya Jokowi merupakan sosok pemimpin yang “diproduk” media massa. Meskipun dengan style sederhana, namun Jokowi merupakan produk pemimpin yang dihasilkan oleh polling di sejumlah lembaga survei di Indonesia. Jiwa kepemimpinnya tidak ditempa dengan pengabdian, melainkan hanya “polesan” media massa. Terbukti dia baru memimpin Jakarta kemudian meninggalkannya.
Itulah bukti keserakahan Jokowi. Selain itu, Jokowi juga belum memiliki kapasitas sebagai Presiden RI. Jokowi belum memiliki figur kepemimpinan yang kuat, menonjol dan layak jadi presiden. Sebagain kader PDIP di berbagai wilayah juga masih menganggap sosok Megawati sebagai kader PDIP yang layak dan pantas dicalonkan presiden 2014. Alasannya, karena Mega memiliki pendirian dan ideologi yang kuat, bukan seperti Jokowi yang dihasilkan dari “pencitraan media massa”.
Memang benar, banyak yang berpendapat Jokowi bukanlah “anak biologis” Soekarno. Karena Jokowi “anak ideologis” Soekarno. Maka tidak heran jika Jokowi sangat cepat dicapreskan oleh internal PDIP untuk menjawab “krisis kepemimpinan” di Indonesia.
Konsisten pada Jakarta
Jika Jokowi merupakan “figur kesatria sejati”, ia pasti setia pada Jakarta. Namun teryata tidak, ia meninggalkan Jakarta karena resmi menjadi capres. Padahal, banyak yang menyesalkan pencapresan Jokowi. Jika Jokowi berhasil menduduki posisi sebagai Presiden, ia harus tetap memberi perhatian kepada Ibu Kota. Ada beberapa hal yang harus dilakukan Jokowi agar dia tidak dikutuk masyarakat sebagai pemimpin serakah.
Pertama, Jokowi harus tetap konsisten terhadap janji-janjinya di Jakarta. Pasalnya, Jokowi sebenarnya sudah beruntung karena memiliki visi dan pengalaman di Ibu Kota negara. Ke depan, Jokowi harus tetap konsisten untuk membantu menyelesaikan permasalahan Jakarta. Ketika Jokowi mampu meraih posisi yang lebih tinggi, seharusnya, ada akselerasi program pusat dengan Pemprov DKI.
Kedua, hal yang paling dasar adalah menata Jakarta secara struktural dan kultural. Artinya, jika Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjadi Gubernur DKI, ia harus dapat meneruskan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Untuk masalah kultural seperti pembangunan, program monorel, subway, giant sea wall, kemudian jembatan Selat Sunda, modernisasi pelabuhan, doubletrack kereta api bandara dan penataan Kota Tua harus segera diselesaikan.
Ketiga, kehadiran Jokowi dalam persaingan Pilpres 2014 akan memberi warna baru bagi politik Indonesia. Maka ke depan Jokowi harus bisa dan tetap menjadi sosok yang dicintai rakyatnya, mewujudkan kesejahteraan masyarakat, membangun Indonesia baru dan mampu menjadikan Indonesia negara dan bangsa yang terhormat di kancah pergaulan internasional.
Keempat, apabila Jokowi sukses menjadi Presiden, maka tradisi “blusukan” dapat melakukan percepatan penataan Ibu Kota yang terintegrasi dengan kota dan daerah penyangga lainnya. Pasalnya, Jokowi telah memiliki modal memahami permasalahan Jakarta yang menjadi “miniatur Indonesia”.
Kelima, hal paling mendasar adalah apa tujuan dan misi Jokowi menjadi capres? Padahal, komplikasi sosial di Jakarta saja belum tuntas, mengapa Jokowi berani meninggalkan Jakarta dan mencapreskan diri? Lebih dulu, selesaikanlah pekerjaan kecil yang itu menjadi penting untuk modal menyelesaikan pekerjaan lebih besar. Karena kesatria sejati tidak serakah dan tidak berani meninggalkan tanggung jawabnya yang belum selesai.

-Tulisan ini dimuat di Harian Bhirawa, Rabu 26 Maret 2014
Bisa dibaca di E-paper
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Membaca Sisi Lain Pencapresan Jokowi Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda