Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Friday 22 August 2014

Revolusi Mental PNS

Penulis : Hamidulloh Ibda
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Dimuat di Koran Muria, Senin 18 Agustus 2014
Mental kolonial masih melekat pada jiwa manusia Indonesia. Karakter kolonial tersebut meliputi malas, mendendam, melupa, inlander, miopik (rabun) dan instan. Tampaknya, karakter itu mendarahdaging dan membudaya di Indonesia, terutama para pemimpin, pejabat dan abdi negara.


Salah bukti nyata adalah banyak pegawai negeri sipil (PNS) bermalas-malasan menjalankan tugasnya. Bahkan, kinerja mereka terkesan “formalistik simbolis” saja tanpa spirit mengabdi pada bangsa. Padahal mereka adalah orang pilihan yang diberi mandat menjalankan tugas negara.


Seperti kita ketahui, pemerintah menetapkan cuti bersama Idul Fitri selama tiga hari setelah hari raya, yaitu tanggal 30-31 Juli dan 1 Agustus 2014. Penetapan itu berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama No 05 Tahun 2013, Menakertrans No 335 Tahun 2013, dan Menpan RB No 05/SKB/Menpan-RB/08/2013 tanggal 21 Agustus 2013 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2014 (Koran Jakarta, 4/8/2014).

Meskipun sudah diatur undang-undang, namun para PNS tak mengindahkan hal itu. Secara terang-terangan mereka khianat pada hakikat nilai dan kenyataan. Karakter itu jelas bukan asli dari Indonesia. Mental tersebut adalah “warisan kolonial” yang sampai detik ini masih melekat dalam jiwa bangsa Indonesia.

Budaya malas dan interdisipliner bukanlah mental dan bukan budaya asli Indonesia. Pasalnya, budaya Indonesia terkenal disiplin, kuat, berkarakter tanggung jawab, optimistis, penuh semangat dan konsisten. Sebagai abdi negara dengan gaji dan jaminan hidup memadai, seharusnya PNS dari golongan apa pun harus memperindah kinerja dan memacu pelayanan publik.

Ironis, jika abdi negara memberi contoh buruk kepada masyarakat. Mental buruk PNS harus direvolusi. Secara teoretis, mental menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) diartikan sebagai sesuatu yang bersangkutan dengan batin dan watak manusia. Jika mental buruk, maka semua tindakan dan ucapan manusia dipastikan buruk, begitu pula dengan guru atau PNS.

Budaya kita memang dipengaruhi oleh warisan kolonial Belanda. Robertus Robert (2009) menjelaskan bahwa orientalisme diwariskan lewat sistem pendidikan buatan Belanda yang sampai saat ini masih melekat di jiwa manusia Indonesia. Denys  Lombard (2008) juga menyatakan bahwa sejak abad ke 19, manusia Indonesia sudah terjangkiti virus kolonialisme Belanda berupa karakter malas, bar-bar, bodoh dan tak beradab.

Lebih lanjut, Mestika Zeid (1991) menjelaskan apa saja yang diterima manusia pribumi dari Belanda kala itu dipenuhi dengan kata celaan seperti wild (liar), lui (pelamas), bijgelovig (takhayul), ruw (kasar), wreed (kejam), barbaar (biadad), dom (bodoh), bloeddorstig (haus darah) dan sebagainya. Akibat terbiasa dicela dan didoktrin Belanda dengan sebutan tersebut, maka sampai saat ini karakter itu melekat pada jiwa manusia Indonesia.

Karakter dan mental di atas harus dibuang jauh. M Yudhie Haryono (2014) menjelaskan kejahatan kolonial Belanda bukan pada seberapa besar kekayaan Indonesia yang dicuri, melainkan pada warisan kolonial seperti malas, melupa, mendendam inlander, instan dan miopik (rabun) yang diwariskan kepada bangsa ini. Maka, sebagai abdi negara, seharusnya PNS melawan karakter warisan Belanda, terutama malas. Pasalnya, secara hakikat, Indonesia belum merdeka jika pribumi masih menyuburkan “mental kolonial” pascakemerdekaan.

Jika PNS bermental baik, meskipun tidak ada aturan dan sidak pun, mereka harusnya melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Apalagi, PNS menjadi contoh bagi masyarakat. Mental-mental buruk di atas harus direvolusi agar ke depan PNS menjadi baik dan tidak khianat pada negara.

Revolusi mental yang dicanangkan Jokowi harus dimulai dari diri sendiri dan sekarang juga. Tanpa kesadaran dari pribadi masing-masing, hal itu hanya menjadi “slogan” belaka. Mentalitas malas harus dibuang jauh-jauh jika kita ingin menjadi bangsa yang maju.

Ada beberapa formula yang bisa dilakukan. Pertama; menurut akal linier mental bangsa Indonesia, menjadi merdeka dan merevolusi mental tak perlu memecat PNS. Namun, yang paling penting adalah memutus karakter manusia kolonial (inlander, malas, mendendam, melupa, miopik, instan).

Kedua; PNS dan semua manusia Indonesia harus melakukan perubahan substansial dari segi jiwa dan badan. Artinya, spirit “bangunlah jiwanya bangunlah badannya” harus dilakukan. PNS harus menjadi pendekar negara yang berjiwa pengabdi dan menyerahkan kesetiaannya pada masyarakat dan bangsa.

Ketiga; kesadaran disipilin harus ditegakkan sejak dini. Pasalnya, mental kolonial masih mendera pada semua lapisan masyarakat juga belum teratasi. Kesadaran akan tugas, wewenang dan tanggung jawab harus melekat pada jiwa PNS.

Keempat; semua abdi negara perlu menyadari sejarah dan memangkas warisan kolonial. Jared Diamond (2014) menyatakan kita sering gagal karena kita lupa sejarah. Maka, kita harus kembali dan mengamalkan warisan pendiri republik. Warisan itu berupa ketangguhan, kejujuran, disiplin, berjiwa besar, konsisten dan tangungg jawab.

Kelima; untuk merevolusi mental membutuhkan “keberanian”. Artinya, semua elemen terutama abdi negara harus berani merevolusi diri sendiri sebelum merevolusi sistem dan birokrasi. Sun Tzu (Philip Martin Mc Caulay; 2009) menjelaskan untuk menaklukkan suatu bangsa, tak perlu mengirim ratusan ribu pasukan. Cukup menghapus kebesaran leluhur bangsa dari ingatan generasi mudanya.

Jadi, sudah jelas, kehancuran negara ini rupanya dibarengi pudarnya kesadaran dan spirit sejarah bangsa Indonesia. Lalu, apakah abdi negara mengikuti mental kolonial atau mental pendiri republik Indonesia? Ataukah kita tidak mau menjadi bangsa Indonesia?
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

1 komentar:

Item Reviewed: Revolusi Mental PNS Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda