Oleh Hamidulloh Ibda
Pemerhati Bahasa Indonesia
pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang,
Penulis Buku “Stop Pacaran,
Ayo Nikah!”
Kimcil dan cabe-cabean. Inilah
dua idiom baru di Indonesia, terutama di Jawa. Terminologi ini muncul sejak
tahun 2013 dan memasuki 2014 berkembang lagi dengan istilah “cabe-cabean”.
Lalu, apa sebenarnya makna dan substansi “kimcil” dan “cabe-cabean”? Karena
selama ini banyak pemuda mengatakan dua idiom tersebut, namun ketika ditanya
mereka tak bisa menjawab secara ilmiah dan logis. Hanya asal ngomong tanpa tahu
filologinya.
Bahasa di Indonesia memang unik.
Ia berkembang laiknya tumbuhan, berputar laiknya roda dan dinamis mengikuti
perkembangan zaman. Namun banyak orang berbahasa dengan gaya “sok intelek” dan
“sok gaul” agar kelihatan keren, padahal banyak di antara remaja bahkan orang
tua tidak tahu dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri, salah
satunya kimcil dan cabe-cabean. Maka tidak heran jika fenomena “Vicky” sempat
menjadi sorotan tajam di masyarakat. Karena selama ini masyarakat mengalami
“kejumudan bahasa” dan tidak pernah ada pelurusan dan edukasi bahasa Indonesia
kepada masyarakat awam.
Pada 2013, Saya pernah menulis
tentang “Menyikapi Bahasa Vikcy” yang dimuat di Koran Pagi Wawasan yang intinya
menjelaskan bahwa fenomana Vicky harus menjadi kesadaran bagi masyarakat untuk
belajar lebih dalam tentang bahasa Indonesia sesuai dengan alat ukur
benar-salah, baik-buruk dan indah-tidak indah. Tiga ukuran ini harus diterapkan
pada bahasa Indonesia.
Di zaman edan seperti ini, kita
kadang sering terjebak dengan kata-kata. Dengan kata saja kita sudah bingung.
Apalagi dengan kalimat, paragraf, artikel, gagasan, buku. Maka jangan sampai
Anda meniru-niru tapi tidak tahu filologinya, epistemologinya, antologi dan
aksiologinya. Jika demikian, Anda tak ada bedanya seperti buih yang mudah
terombang-ambing oleh ombak ketika ditiup angin. Padahal, kita harus terbiasa
bercanda dengan gelombang agar tidak mudah hanya dengan “kekonyolan zaman”.
Memang benar apa yang pernah
dinyatakan Prof. Dr. Fathur Rokhman, MHum (2013) dalam bukunya Sosiolinguistik.
Beliau menyatakan secara tegas bahwa berbahasa itu harus sesuai konteks,
memahami mitra tutur, kondisi, tempat dan waktu. Pemilihan ragam bahasa harus
pas dengan lawan bicara. Maka jangan sampai berbicara intelek di hadapan
masyarakat desa yang tingkat pendidikannya rendah.
Mengenai bahasa yang berkembang
di Indonesia memang sudah salah kaprah. Terminologi kimcil dan cabe-cabean juga
demikian. Banyak pemuda salah paham dalam menggunakan bahasa ini. Ini merupakan
simbol “konslet bahasa” yang terjadi di masyarakat kita. Memang benar apa yang
disampaikan Prof. Dr. Rustono, MHum saat mengajar mata kuliah Linguistik di
kelas Saya, beliau menyatakan bahasa itu sesungguhnya adalah hasil budaya
manusia dan muncul dengan dinamika kehidupan. Zaman dulu masyarakat tidak
mengenal kata “alay, lebay, galau, cumungut, ea, kepo, unyu-unyu” termasuk
“kimcil” dan “cabe-cabean” yang dewasa ini sudah membumi.
Akan tetapi karena zaman selalu
berputar, maka populerlah bahasa-bahasa tersebut. Biasanya pemakai bahasa itu
adalah kalangan remaja dan pemuda yang masih usia puber dan belum mengenal baik
buruknya sesuatu secara radikal.
Makna kimcil dan cabe-cabean
Jika Anda membuka Google dan
kemudian mencari tahu makna kimcil, yang keluar adalah kimcil berasal dari
bahasa Jawa yaitu “kimpetan cilik” atau “kimplikan cilik” yang
artinya alat kelamin perempuan yang masih kecil. Lebih parahnya, jika Anda mencari
di internet tentang “kimcil” yang keluar adalah video dan gambar porno. Lebih
mudahnya, kimcil adalah sebutan bagi remaja perempuan yang nakal, suka seks
bebas.
Ada juga yang mengatakan bahwa
kimcil adalah daun muda kota yang usianya antara 15-23 tahun, biasanya usia SMA
sampai mahasiswa. Lalu, benarkah makna itu? Hemat penulis sah-sah saja. Karena
sampai artikel ini Saya tulis, pusat bahasa Indonesia dan pemerintah belum
mengamini makna tersebut, dan dalam kamus bahasa Indonesia juga belum mengartikan
kimcil sebagai bagian dari bahasa baku sesuai EYD.
Dalam hal ini, setiap orang
memiliki sudut pandang, angle, landasan, point of view berbeda.
Namun menurut penulis, menilai arti kimcil bukanlah dilihat dari ukuran benar
dan salah, namun harus dilihat dari paradigma baik-buruk, indah dan tidak
indah. Karena jika perempuan dikatakan sebagai “kimcil”, konotasi masyarakat
sudah negatif. Artinya, kimcil itu adalah idiom masyarakat untuk memberi gelar
pada perempuan kecil sebagai “perempuan nakal”.
Dalam kajian filologi, kimcil
merupakan idiom baru yang menggambarkan budaya remaja saat ini yang sudah di
luar batas. Artinya, idiom ini lahir dari budaya remaja yang sudah mengenal
seks bebas, kumpul kebo dan karena banyak remaja perempuan nakal bahkan menjual
diri, maka lahirlah idiom ini sebagai sebutan bagi remaja perempuan nakal. Ini
sangat logis. Karena bahasa itu lahir dari kebiasaan dan sesuai yang
disimbolkan. Misalnya, tempat untuk mengubur manusia dinamakan “kuburan”, benda
yang ditata rapi jika miring, maka disebut “piring” dan sebagainya.
Ya, lebih tepatnya bahasa
merupakan “ekspresi budaya” terhadap “kejumudan” perilaku manusia. Maka
lahirlah terminologi “cabe-cabean”, padahal secara bahasa Indonesia cabai
adalah tanaman perdu yang buahnya berbentuk bulat panjang dengan ujung
meruncing, apabila sudah tua berwarna merah kecokelat-cokelatan atau hijau tua,
berisi banyak biji yang pedas rasanya. Dalam bahasa lain cabai adalah lombok
sebagai bahan baku sambal.
Cabe-cabean berari
lombok-lombokan yang pedas atau apa? Inilah kesalahan yang terjadi. Namun para
ahli linguistik, sosiolinguistik dan psikolinguistik tidak mau tahu akan hal
itu. Karena bahasa seperti itu dinamakan bahasa “slang” yang tidak termasuk
bahasa baku dan ilmiah. Slang merupakan ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku
yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu
untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak
mengerti.
Lebih-lebih, bahasa “kimcil” dan
“cabe-cabean” digunakan masyarakat awam dan tidak mempermasalahkan baik-buruk,
benar-salah dan indah-tidak indah. Bagi masyarakat, yang terpenting mitra tutur
paham dan hal itu sudah “membumi”. Maka, populerlah istilah-istilah seperti
kimcil dan cabe-cabean. Jika ada remaja perempuan terlihat nakal, maka
masyarakat menyebutnya “kimcil”. Padahal kimcil atau tidak kimcil tidak semua
orang tahu, dan hanya perempuan tersebut yang tahu.
Selain itu, cabe-cabean itu
merupakan “kamuflase” dari kimcil. Artinya, cabe-cabean adalah bahasa Indonesia
dari “kimcil” karena untuk mempermudah masyarakat non-Jawa mengetahui makna
kimcil. Intinya, kimcil dan cabe-cabean adalah idiom baru dalam bahasa remaja
yang artinya sama diambil dari plesetan alat vital perempuan yang digabungkan
dengan kata “cilik” atau dalam bahasa Indonesia berarti kecil.
Karena terlalu “populernya”,
tidak heran jika tahun 2013 band Serempet Gudal membuat lagu berjudul “kimcil”
yang menceritakan anak SMA yang sudah melakukan seks bebas dengan teman, guru
dan pemuda amoral. Band asal Semarang ini membawakan lagu kimcil dengan
mendeskripsikan kondisi pemuda SMA yang sudah mengenal seks bebas. Menurut
Serempet Gudal, gadis “kecil, imut, unyu-unyu mungil” yang berani melakukan
seks bebas disebut “kimcil”. Lalu, apakah kita tetap menggunakan bahasa ini
atau tidak?
Digunakan atau Tidak?
Sebenarnya, pemakaian bahasa
kimcil atau cabe-cabean tidak ada masalah dalam paradigma bahasa Indonesia.
Jika sudah memenuhi syarat dan sesuai konteks (diglosia), maka berbahasa apa saja
boleh. Artinya, berbahasa yang dimaksud di sini sesuai situasi kebahasaan
dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam
masyarakat (misal ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kantor dan ragam
atau bahasa B untuk suasana intim di rumah).
Namun ukuran berbahasa tidak
hanya benar-salah, baik-buruk, tetapi juga harus memperhatikan segi indah dan
tidak indah, pas dan tidak pas. Apalagi kimcil/cabe-cabean sudah dimaknai dan
dikonotasikan “cewek negatif” yang suka melakukan seks bebas. Inilah yang harus
dipahami, karena tidak semua cewek perempuan seusia SMA mau disebut kimcil.
Sebagai masyarakat awam, sangat
tidak bijaksana jika menggunakan bahasa kimcil sembarangan. Hal itu sama saja
melakukan “pengkhianatan” terhadap bahasa Indonesia. Karena bahasa merupakan
penyimbolan terhadap sesuatu, kejadian, tempat dan seorang. Jika orang
dikatakan bodoh, maka dia bisa berarti bodoh sungguhan, pura-pura bodoh, atau
bisa jadi dia difitnah bodoh. Maka kita harus hati-hati dalam berbahasa.
Memakai bahasa kimcil atau tidak
itu hak pribadi. Jika Anda beriman pada EYD dan bahasa Indonesia yang baik dan
benar pasti mampu menempatkan bahasa sesuai konteksnya tidak asal ngomong
kimcil dan cabe-cabean.
Menggunakan bahasa kimcil atau
tidak? Anda punya pilihan! Namun semua ada risikonya.
-Tulisan ini dimuat di Koran Barometer, 30 Januari 2014
0 komentar:
Post a Comment