Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Tuesday 7 March 2017

Menggugat Tunjangan Profesor

Oleh Hamidulloh Ibda, M.Pd
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Jumat 3 Maret 2017
Peraturan Menristekdikti No 20 tahun 2017 tentang “Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor” ternyata membuat para guru besar galau. Sebab, Permenristekdikti tersebut mengancam tunjangan untuk dosen yang sudah mencapai lektor kepala dan guru besar atau profesor. Lebih mengancam lagi, jika tidak memenuhi syarat sesuai aturan itu, maka tunjangan profesi mereka akan dicabut. Sebagian pakar menilai, regulasi ini akan memicu produktivitas dalam menulis di jurnal nasional dan internasional. Akan tetapi, sebagian menganggap kebijakan ini perlu dikaji ulang karena memberatkan dan waktunya terlalu singkat.



Dosen memang bukan guru dan guru bukan dosen. Artinya, kewajiban dosen tidak seperti guru. Dosen tidak sekadar mengajar, namun juga meneliti dan mengabdi pada masyarakat sebagai wujud Tri Darma Perguruan Tinggi. Maka sangat wajar jika Kemenristekdikti terus mengubah regulasi agar memacu produktivitas dosen dalam menulis di jurnal nasional dan internasional.

Sejumlah dosen merasa peraturan itu sangat memberatkan. Mengapa? Karena pemberlakuan peraturan itu terkesan singkat. Sebab, sesuai rencana, evaluasi pertama atas pemberlakuan peraturan tersebut diterapkan pada November 2017 mendatang. Apalagi, dalam peraturan tersebut disyaratkan dosen guru besar harus memiliki minimal 1 jurnal internasional dan 3 jurnal terakreditasi nasional untuk dosen lektor kepala serta 1 buku/karya cipta dalam kurun 3 tahun.

Tidak hanya itu, profesor juga harus menghasilkan buku atau paten, dan karya seni monumental/desain monumental dalam kurun waktu tiga tahun (November 2015- November 2017). Jika hingga batas waktu yang ditetapkan tidak mencapai target, maka tunjangan kehormatan profesor akan dicabut. Tunjangan kehormatan itu cukup besar, besarannya 2 kali gaji pokok.

Dengan sistem kebut tayang ini, diprediksi banyak guru besar “terseok-seok” untuk memenuhinya. Padahal, konsekuensinya ada pencabutan sementara tunjangan profesi dosen dan tunjangan jabatan fungsional guru besar atau lektor kepala jika tidak bisa memenuhi regulasi tersebut. Apalagi, Kemenristekdikti juga akan melakukan evaluasi pertama pada November 2017 mendatang. Padahal, peraturan baru saja digulirkan yang diusulkan paling tidak evaluasinya 3 tahun ke depan. Pertanyaannya, apakah ini hanya adu argumen antara guru besar, pengelola jurnal, Kopertis dan Kemenristekdi?

Jalan Tengah
Dalam dunia akademik, puncak tertinggi impian dosen adalah segera menjadi doktor dan profesor, mencapai jabatan fungsional lektor, lektor kepala dan guru besar. Sebab, selain tunjangan yang besar, “derajat akademik” mereka juga menjadi capaian karir yang membanggakan dan menjadi bargaining position tersendiri bagi kampus.

Jumlah guru besar di Indonesia berdasarkan data Kemenristekdikti tahun 2015 baru 5.300 orang. Jumlah ini terus dipacu pemerintah agar kualitas pendidikan makin bagus. Semakin banyak dosen bergelar doktor dan profesor, maka semakin “mahal” pula kampus tersebut. Namun, hal itu seharusnya diiringi dengan “produk ilmiah” yang jelas dan nyata manfaatnya.

Langkah Kemenristekdikti mengeluarkan Permenristekdikti No 20/2017 juga menjadi jawaban dan dorongan agar para doktor dan profesor semakin produktif dalam berkarya. Sebab, jika berbicara data, Indonesia masih jauh dibandingkan negara lain. Dalam enam tahun terakhir, Indonesia masih tertinggal jauh dari Malaysia dan Thailand. Hal ini berdasarkan perbandingan publikasi internasional, Indonesia di Web of Science Periode 2010-April 2016. Tercatat jumlah publikasi Indonesia baru mencapai 17.636, hanya lebih baik dari Filipina yang berjumlah 9.445. Sementara Malaysia ada 89.422 dan Thailand 55.292 (SM, 7/2/2017).

Polemik ini memang harus dicari jalan tengah. Sebab, peraturan ini diperuntukkan untuk mereka yang berpendidikan tinggi dan sudah teruji taraf keilmuwannya. Jika Kemenristekdikti “kejar tayang” saja, para guru besar pasti akan menjadi “kelinci percobaan” karena hanya dikejar-kejar waktu tanpa mengutamakan kualitas dan asas manfaat dalam penulisan dan penelitian. Apalagi, tanggungjawab akademik doktor dan profesor tidak hanya meneliti dan menulis, namun juga mengajar dan ditambah jabatan struktural lainnya seperti Rektor, Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, Kaprodi, Direktur Pascarsajana, Ketua LP2M dan lainnya.

Pacu Produktivitas
Profesi dosen memang tidak seindah dan seenak yang dibayangkan. Sebab, selain dituntut menjadi pengajar yang berkualitas, dosen juga selalu dikejar-kejar untuk berkarya menulis buku, jurnal, prosiding seminar, makalah, diktat, juga meneliti, mengabdi dan juga disibukkan dengan dunia administrasi untuk kenaikan pangkat, jabatan fungsional dan juga sertifikasi dosen. Kunci utama sebenarnya adalah produktivitas. Sebab, langkah Kemenristekdikti itu muaranya juga pada produktivitas dan puncaknya pada kualitas peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan karya akademik agar bisa bersaing di kancah internasional.

Pemerintah, kampus dan pengelola jurnal juga harus menambah jurnal nasional terakreditasi agar memudahkan dosen untuk menyalurkan karya ilmiahnya. Faktor sulitnya publikasi karya, selama ini juga disebabkan karena masih sedikit jurnal nasional yang terakreditasi yang terindeks Scopus.

Kemenristekdikti juga harus mengkaji ulang regulasi ini. Apa yang diutarakan sejumlah profesor yang merasa keberatan ada benarnya juga. Sebab, dalam menulis di jurnal nasional dan internasional memang susah dan butuh waktu yang cukup agar benar-benar matang. Kemudian, jika waktu penerapan regulasi tersebut sudah pas, maka Kemenristekdikti juga harus memberi penghargaan setimpal atas karya profesor. Mengapa? Profesor itu aset bagi kampus, mahasiswa dan masyarakat.

Selain dituntut untuk berkarya, maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menjamin kesejahteraan mereka lewat tunjangan yang layak. Sebab, banyak penelitian “jalan di tempat” karena faktor dana. Padahal penelitian itu kerja ilmiah, harus metodologis, sistematis, logis, empiris dan tidak semua orang bisa menjalakannya. Dengan spirit berkarya itulah, seharusnya guru besar sadar dan memenuhi kewajibannya sebelum mendapatkan haknya sesuai dengan UUGD tahun 2005.


Karya ilmiah para guru besar juga harus sesuai dengan kebutuhan zaman, kontemporer dan mampu menjawab problem sosial dan bangsa. Apa gunanya profesor menulis, namun tidak ada ide baru yang bernas dan manfaatnya jelas bagi masyarakat. Oleh karena itu, sangat logis jika Kemenristekdikti mengeluarkan peraturan tersebut. Sebab, guru besar harusnya memang berkarya yang besar dan mengubah dunia. Jika tidak bisa membuat karya besar, apa pantas disebut guru besar?

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Menggugat Tunjangan Profesor Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda