Semarang, Hamidullohibda.com — Ruang Oval lantai dua Dinas Pendidikan Kota Semarang, Selasa (11/11/2025) terasa berbeda. Suasana akademik berpadu dengan semangat kebudayaan lokal ketika puluhan guru, pejabat dinas, akademisi, dan perwakilan Tanoto Foundation berkumpul dalam Kegiatan Focus Group Discussion Pembuatan Buku Numerasi Berbasis EVI MAP (Ethnoscience Village Map). Kegiatan ini menjadi puncak refleksi dari rangkaian pelatihan dan pendampingan pada 30 guru dalam mengembangkan buku pembelajaran yang memadukan numerasi dan kearifan lokal.
Program EVI MAP berangkat dari kesadaran
bahwa pembelajaran matematika tidak boleh berhenti pada angka dan rumus, tetapi
harus berakar pada realitas sosial dan budaya masyarakat. Filosofi ethnoscience,
sains yang lahir dari pengetahuan dan praktik hidup masyarakat lokal menjadi
landasan utama gagasan ini. Dalam konteks pendidikan dasar, pendekatan tersebut
diterjemahkan menjadi upaya menghadirkan matematika yang hidup, kontekstual,
dan dekat dengan keseharian siswa. Melalui Ethnoscience Village Map, guru
diajak untuk melihat lingkungan sekitar sebagai laboratorium pembelajaran, di
mana pasar, masjid, kampung, atau tempat bersejarah dapat menjadi ruang konkret
bagi anak-anak untuk memahami konsep pengukuran, perbandingan, dan geometri.
Kegiatan diawali dengan sambutan
pengarahan dari Kabid. GTK Dinas Pendidikan Kota Semarang Dr. Miftahudin,
S.Pd., M.Si., yang mengapresiasi tim Fasper Berkelas yaitu Tri Sugiyono, S.Pd.,
M.Pd., Dian Marta Wijayanti, M.Pd., Martini, S.Pd., M.Pd., Dan Eko Prasetyo Nur
Utomo, S.Pd., yang mendapat pendanaan dari Tanoto Foundation untuk mendampingi 30
guru dalam menulis karya buku buku numerasi berbasis EVI MAP (Ethnoscience
Village Map). “Saya harap Tanoto Foundation terus mendukung Dinas Pendidikan
dalam memajukan literasi dan numerasi di Kota Semarang. Ampun kapok,” katanya.
Sekretaris Dinas Pendidikan Kota
Semarang Drs. Ali Sofyan, M.M., juga memberikan apresiasi, karena 30 guru mampu
menulis buku melalui serangkaian kegiatan tersebut. Pihaknya juga terus
mendorong agar peningkatan literasi dan numerasi di Kota Semarang terus
meningkat.
Pada sesi pemaparan program pembuatan
buku EVI MAP berbasis numerasi, Tri Sugiyono, S.Pd., M.Pd., mengatkan bahwa program
yang digawangi oleh Tim Fasper Berkelas ini dijalankan dalam rentang waktu Juli
hingga Oktober 2025. Selama empat bulan, tiga puluh guru sasaran mendapat
pelatihan intensif mengenai filosofi dan penerapan EVI MAP. Setelahnya, para
guru menyusun buku numerasi berbasis etnosains dan langsung
mengimplementasikannya dalam proses pembelajaran di sekolah masing-masing.
Harapannya, penerapan ini dapat meningkatkan kompetensi numerasi siswa khususnya
pada domain pengukuran hingga dua puluh persen. Tujuan yang terukur dan
kontekstual ini mencerminkan keseriusan proyek dalam membangun model pendidikan
yang berpijak pada realitas lokal sekaligus menumbuhkan kemampuan berpikir
kritis.
Dalam paparannya, Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd.,
akademisi dan Wakil Rektor INISNU Temanggung yang menjadi reviewer utama
sekaligus narasumber, menegaskan bahwa pendekatan EVI MAP bukan sekadar proyek
penulisan buku, melainkan upaya memulihkan hubungan antara ilmu dan budaya. Ibda
menilai bahwa numerasi berbasis EVI MAP mengajarkan anak untuk tidak hanya
menghitung, tetapi juga memahami bagaimana masyarakatnya berpikir, mengukur,
berdagang, dan mengelola lingkungan. Dengan begitu, matematika menjadi sarana
untuk menanamkan kesadaran budaya, karakter, dan logika ilmiah dalam satu
kesatuan.
Dalam sesi review, sebanyak tiga puluh
buku karya guru dipresentasikan dan dikaji bersama. Tema-tema yang diangkat
sangat beragam namun berakar kuat pada lingkungan masyarakat Semarang. Ada yang
mengulas tradisi Apitan di Sampangan, sejarah Ereveld Candi di Gajahmungkur,
cerita air bersih di PDAM Tirta Moedal, hingga kisah rumah kolonial di Sompok
dan sentra perajin tahu-tempe di Kampung Gumregah. Semua tema dijahit dalam
konteks numerasi sehingga anak-anak tidak hanya membaca cerita lokal, tetapi
juga belajar menghitung luas halaman, mengukur volume wadah, atau memperkirakan
biaya produksi.
Dr. Ibda menilai bahwa secara umum,
buku-buku tersebut sudah menarik dan memiliki distingsi karena menampilkan
kekayaan lokal Semarang dengan cara yang ilmiah dan kreatif. Setiap buku telah
menyajikan struktur pembelajaran lengkap mulai dari bacaan naratif, lembar
kerja siswa, asesmen formatif, hingga refleksi. Bahasa yang digunakan relatif
komunikatif dan mudah dipahami oleh siswa sekolah dasar. Integrasi literasi dan
numerasi juga tampak kuat, di mana teks budaya menjadi pijakan untuk memahami
konsep matematis.
Namun demikian, masih ditemukan beberapa
kelemahan yang bersifat konseptual dan teknis. Ibda menyebut, konten buku masih
sekadar local wisdom (kearifan lokal), belum menyasar pada local knowledge (pengetahuan
lokal), dan local genius (kecerdasan lokal) khas Kota Semarang.
Unsur ethnoscience dalam sebagian besar
buku belum tergali secara eksplisit. Banyak naskah yang kuat pada aspek etnolokalitas
seperti kisah pasar, arsitektur, dan tradisi namun belum menyingkap dimensi
sains tradisional di baliknya, misalnya sistem pengukuran lama, teknologi
lokal, atau prinsip fisika sederhana dalam kehidupan masyarakat. Selain itu,
soal-soal numerasi masih cenderung bersifat prosedural dan belum banyak
menantang penalaran tingkat tinggi. Beberapa buku juga belum menambahkan
pengantar teoretis yang menjelaskan hubungan antara ethnoscience, numerasi, dan
konteks lokal sebagai kerangka berpikir ilmiah.
Meskipun demikian, menurut Ibda,
kekuatan proyek ini justru terletak pada semangat kolaboratif dan kesadaran
budaya yang dihidupkan melalui pendidikan. Buku-buku EVI MAP bukan hanya produk
ajar, melainkan cermin keterlibatan guru sebagai peneliti lokal yang merekam
pengetahuan masyarakatnya. Setiap halaman menjadi dokumentasi kearifan dan
pengalaman sosial yang diubah menjadi materi numerasi yang konkret dan
menyenangkan bagi siswa.
“EVI MAP merupakan wujud nyata dari
pendidikan yang berpihak pada budaya, berpijak pada lokalitas, dan menembus
batas ruang kelas. Melalui pendekatan ini, pendidikan dasar tidak hanya
menumbuhkan kemampuan kognitif, tetapi juga karakter, kebanggaan, dan kesadaran
terhadap akar budaya sendiri,” kata Ibda. Pihaknya menyampaikan rasa bangga
terhadap kerja sama lintas lembaga yang berhasil menelurkan inovasi pendidikan
kontekstual.
Dalam sesi diskusi terbuka, para peserta
FGD juga memberikan sejumlah rekomendasi penting. Para reviewer menyarankan
agar buku-buku EVI MAP diberikan pengantar teoretis yang menjelaskan konsep
ethnoscience secara sederhana, dilengkapi dengan peta visual interaktif dan
soal berbasis penalaran atau proyek mini. Rubrik asesmen yang menilai proses berpikir
siswa juga dianggap penting agar numerasi tidak hanya diukur dari hasil
hitungan, tetapi dari kemampuan menjelaskan strategi dan alasan di balik
jawaban. Selain itu, bagian refleksi guru disarankan agar dimasukkan sebagai
instrumen pembelajaran reflektif, di mana guru dapat menilai efektivitas metode
EVI MAP di kelas.
Acara diakhiri dengan peluncuran resmi
buku-buku EVI MAP berbasis numerasi serta pemberian apresiasi kepada para guru
kreator. Kabid. Pembinaan SD Dinas Pendidikan Kota Semarang Aji Nur Setiawan,
S.STP., M.Si., berkesempatan melaunching 30 buku tersebut. “Ini di luar ekspektasi
saya,” katanya dalam FGD yang dimoderatori Dian Marta Wijayanti itu.
Dari keseluruhan hasil review, proyek
EVI MAP dinilai memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih luas. Para ahli
merekomendasikan agar buku-buku tersebut diberi ISBN dan diterbitkan secara
nasional sebagai model pembelajaran numerasi berbasis kearifan lokal. Selain
menjadi inovasi pendidikan di tingkat daerah, EVI MAP dapat menjadi contoh
konkret penerapan Contextual Teaching and Learning yang selaras dengan semangat
Kurikulum Merdeka.
FGD EVI MAP akhirnya menandai babak baru
dalam peta pendidikan Semarang. Ia bukan sekadar forum akademik, melainkan
gerakan kebudayaan yang memandang belajar sebagai cara untuk memahami
kehidupan. Di tengah tantangan rendahnya literasi dan numerasi nasional, para
guru di Kota Semarang telah menunjukkan jalan alternatif: menghadirkan sains
dari kampung sendiri, membangun konsep dari tradisi, dan menjadikan budaya
sebagai jantung pembelajaran. Melalui EVI MAP, anak-anak tidak hanya belajar
menghitung, tetapi juga belajar memahami bagaimana pengetahuan leluhur menjadi
bagian dari sains modern. Dari ruang kelas di Semarang, lahirlah harapan bahwa
pendidikan yang berakar pada budaya akan melahirkan generasi yang cerdas
sekaligus berkarakter.
Dalam kesempatan itu, turut hadir Pendamping
Proyek Literasi Numerasi Normalia Eka Pratiwi, S.Pd.SD, M.Pd., Eni Kurniawati
dari Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang, perwakilan Dinas Komunikasi,
Informatika, Statistik, dan Persandian Kota Semarang, dan perwakilan koordinator
tim penulis buku. (*)

0 komentar:
Post a Comment