Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Tuesday 17 September 2013

Pemberantasan Korupsi Setengah Hati



Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat Koran Barometer, 14 September 2013

Pemberantasan korupsi di negeri memang “setengah hati’, bahkan penegak hukum, KPK, dan pemerintah terkesan “impoten” dan tak berdaya dalam menuntaskan korupsi. Terbukti dengan beberapa skandal kasus besar tenggelam tidak jelas kelanjutannya, seperti kasus Hambalang dan Century. Mati satu, tapi tumbuh seribu. Demikian ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi supremasi hukum di Indonesia. Satu kasus belum tuntas, tapi sudah disusul kasus-kasus lain. Dan hilangnya satu kasus bukan karena tuntas dibasmi, tapi karena tergeser kasus baru. Inilah wajah negara kita yang setengah hati memberantas korupsi.
Lalu, jika penegakan hukum dari pemerintah impoten, bagaimana dengan kondisi ekonomi Indonesia? Bagaimana dengan kemuakan rakyat terhadap koruptor? Nampaknya pemerintah kita membuat rakyat “pesimis” untuk keluar dari lingkaran korupsi. Saat negara lain sudah bebas dari korupsi, Indonesia tetap menjadi negara terkorup. Saat negara lain berani menghukum mati dan merampas harta koruptor, republik ini hanya berretorika dalam menumpas korupsi.
Tak Sekadar Merampas
Diakui atau tidak, hukuman untuk koruptor di negeri ini memang “remeh-temeh” dan tebang pilih. Bahkan, pemerintah secara jelas “membela koruptor dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkannya. Inilah yang membuat rakyat muak dan kecewa atas lemahnya hukum untuk menindak tegas koruptor. Seakan-akan pemerintah berpihak pada koruptor dan tak pernah membuat hati rakyat puas dengan tindakan tegas kepada koruptor.
Lalu, sampai kapan Indonesia akan seperti ini? Jika pemerintah tak tegas, maka sama saja mereka mendukung korupsi dan melindung tikus-tikus berdasi. Bukankah hanya hukuman tegas yang mampu menghentikan korupsi? Karena jika hanya merampas harta, para koruptor masih belum jera untuk mengulangi perbuatan mereka.
Di sisi lain, kita juga sangat heran dengan putusan para hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di berbagai tempat selama ini. Mereka secara terang-terangan melindung koruptor, terkait terdakwa kasus korupsi yang oleh para hakim Tipikor itu sendiri dinyatakan terbukti bersalah, tetapi kenapa di dalam putusannya tak menyertakan putusan menyita kekayaan dari terdakwa yang diperoleh dari hasil korupsi? Kalau menyita harta saja tak berani, bagaimana bisa merealisasikan hukuman mati?
Jika seseorang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, maka harta kekayaan yang diperoleh dari hasil korupsi itu seharusnya disita dan dikembalikan ke negara. Tapi, sangat aneh dengan putusan para hakim Tipikor yang selama ini memutuskan terdakwa bersalah dan menghukum yang bersalah dengan hukuman penjara yang sangat ringan dan tanpa menyita harta kekayaan terdakwa yang diperoleh dari hasil korupsi. Tanpa menyita harta kekayaan hasil korupsi dari para koruptor, menurut penulis, hal itu menunjukan bahwa para hakim Tipikor tidak yakin bahwa kasus yang ditanganinya adalah kasus korupsi. Karena, para hakim ini diduga berpikir tidak ada kerugian negara di sini.
Dengan model-model penegakan hukum semacam ini, maka tidak akan ada lagi orang yang takut untuk melakukan tindakan korupsi karena hukumannya sangat ringan dan hasil korupsi tak disita buat negara. Jadi, para koruptor masih bisa memanfaatkan uang hasil korupsinya untuk biaya mencari segala bantuan dalam upaya membebaskan dirinya dari jerat hukuman penjara, atau untuk mendapatkan hukuman yang ringan jika nanti oleh hakim terbukti dinyatakan bersalah.
Dengan hukuman penjara yang ringan (ini pun jika hakim menyatakan terbukti bersalah), para koruptor tetap bisa hidup enak. Setelah bebas dari penjara, koruptor masih tetap kaya-raya dan bisa hura-hura dengan menggunakan uang hasil korupsinya. Masyarakat di negeri tentu berharap semua aparat penegak hukum yang menangani kasus korupsi adalah para aparat penegak hokum pilihan yang kebal suap. Jangan berdalih bahwa aparat penegak hukum juga manusia.  Kalimat “aparat juga manusia” inilah  yang menyesatkan masyarakat. Apakah dari ratusan juta penduduk negeri ini, tidak ada yang kebal suap? Tentu ada.
Hukuman Tegas
Banyak aktivis hukum mewacanakan “hukuman mati” untuk koruptor. Namun, hal itu juga hanya sebatas retorika dan tak pernah ditindaklanjuti pemerintah secara serius, terutama pihak KPK. Dengan kondisi seperti ini, pemerintah seharusnya tetap optimis dan serius menghukum tegas koruptor. Karena itu, perlu dilakukan beberapa hal yang bisa menghentikan korupsi di negeri ini.
Pertama, pemerintah dan KPK segera membuat regulasi hukuman mati untuk koruptor. Meskipun menjadi perdebatan dan dinilai melanggar HAM, sesungguhnya hal itu sudah tertera dalam UUD 1945 dan UU HAM bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup”. Identik dengan Pasal 6 (1) ICCPR yang menyatakan, “Every human being has the right to life”. Namun, dalam Pasal 6 (1) ICCPR,  pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat tegas, bahwa “No one shall be arbitrarily deprived of his life”.
Jadi. walaupun Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan bahwa “Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup”, tetapi tak berarti hak hidupnya itu tak dapat dirampas. Yang tak boleh adalah “Perampasan hak hidupnya secara sewenang-wenang”. Bahkan, dalam Pasal 6 (2) dinyatakan, pidana mati tetap dimungkinkan untuk “The most serious crimes”. Pernyataan itu dapat dilihat sebagai pandangan yang menerangkan bahwa pidana mati bukan merupakan hal melanggar hak hidup manusia, sepanjang memang diberlakukan untuk hal-hal yang pantas diberikan pidana mati serta dipayungi aturan hukum jelas. Hal ini dapat dijadikan penjelasan bahwasan di Indonesia pidana mati seharusnya bukan melanggar nilai-nilai kemausiaan, karena Indonesia juga memandang beberapa tindak pidana sebagai serious crime, seperti terorisme, korupsi, dan juga narkotika.
Kedua, selain dihukum mati, harta koruptor juga harus dirampas dan menjadi aset negara. Mengapa? Karena jika dibiarkan, korupsi pasti akan tetap merajalela dan membudaya di negeri ini. Ketiga, semua pihak harus melakukan sinergi untuk menumpas korupsi. Pasalnya, tindak korupsi selama ini banyak dilakukan dengan berjamaah, maka pemberantasannya pun juga harus berjamaah.
Langkah di atas hanya menjadi wacana jika pemerintah tak serius menegakkan hukum setegak-tegaknya. Fiat justitia ruat caelum harus direalisasikan, karena hal itu sudah menjadi dasar penegakan hukum di semua negara. Lalu, apakah pemerintah akan tetap menegakkan hukum setengah hati kepada koruptor? Kita tunggu saja keberanian pemerintah. Yang jelas, Tuhan tak pernah tidur. Dan Tuhan selalu menyertai penegak hukum yang berani dan tegas.
-Hamidulloh Ibda, Penulis Buku “Demokrasi Setengah Hati” (Kalam Nusantara; 2013), Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Pemberantasan Korupsi Setengah Hati Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda