Oleh
Hamidulloh Ibda
Direktur Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa
Tengah,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri
Semarang
Dimuat di Harian Padang Ekspres, 30 Agustus 2013
Pergi
haji merupakan kewajiban bagi orang Islam yang mampu dan memenuhi syarat. Haji
merupakan ritual yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi religius dan dimensi
sosial. Namun, saat ini banyak orang haji hanya ingin mendapat gelar atau
panggilan “Pak Haji” atau “Bu Haji” belaka. Ini merupakan pergeseran niat yang
salah. Apalagi, sekarang muncul pameo; “Jangan pergi haji jika uangnya hasil
korupsi”. Lalu, timbullah pertanyaan, bagaimana hukumnya haji jika uangnya
korupsi? Tentu masih menjadi kontroversi.
Apa Hukumnya?
Dalam kacamata Islam, ada beberapa pendapat
tentang haji dengan uang hasil korupsi. Pertama,
hajinya
sah dan menggugurkan kewajiban haji, namun orang berhaji berdosa dan tak
mendapat pahala. Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu pendapat ulama Hanafiyah
dan Syafi’iyah, juga satu versi pendapat dalam mazhab Maliki dan Hambali. Dalilnya,
karena sahnya haji bergantung pada rukun dan syarat haji, bukan pada halal
haramnya harta digunakan. Imam Ibnu Abidin menyatakan berhaji dengan harta
haram sama dengan orang sholat di tanah rampasan (maghshubah), yakni sholatnya sah selama memenuhi rukun dan
syaratnya, tapi dia berdosa dan tak mendapat pahala (Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd Al Muhtar,
3/453).
Kedua, hajinya tidak
sah, berdosa, dan tidak mengugurkan kewajiban haji. Inilah versi pendapat lain
mazhab Maliki dan Hambali. Dalilnya sesuai sabda Rasulullah SAW (artinya),”Sesungguhnya
Allah adalah Dzat Yang Mahabaik (thayyib) dan tidak menerima kecuali yang baik,”
(HR Muslim, no 1015).
Ketiga, niat semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah SWT,
bukan untuk “bertamasya atau rekreasi.” Para jemaah haji seharusnya memurnikan
dan meluruskan niat berangkat ke Tanah Suci untuk beribadah meraih ridha Allah.
Kemudian, tak mencampuradukkan dengan perbuatan riya, sombong, dendam, atau
ingin meningkatkan status sosial.
Keempat, sarana yang digunakan. Artinya, agar haji yang dikerjakan
mabrur, jemaah harus menggunakan harta halal. Jadi, bukan dana subhat, hasil
korupsi, atau hasil merampok. Mereka yang berangkat menggunakan biaya haram,
praktis hajinya “tak akan diterima” (mardud) oleh Allah.
Haji Korupsi?
Kita
perlu pahami bahwa korupsi merupakan bahaya laten bagi bangsa dan negara.
Sebab, korupsi bisa menghancurkan realisasi program-program pemerintah, serta
mengganggu dan menghambat upaya menyejahterakan dan memakmurkan rakyat. Korupsi juga mengancam keamanan dan ketertiban
sosial, merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi, meluluhlantakkan
kaidah-kaidah moral dan keadilan, membahayakan pembangunan yang berkelanjutan
dan rule of law, bahkan bisa
mengancam stabilitas politik nasional.
Karena
itu, haji menjadi “tidak sah” jika uang yang dipakai untuk bekal bersumber dari
korupsi. Allah akan menolak seruan jemaah yang mengumandangkan talbiah “labbaik Allahumma labbaik” (aku datang
memenuhi panggilan-Mu, ya Allah). Sebab, mereka dianggap berbohong. Jika faktor
itu tak terpenuhi, seseorang belum mendapatkan basyirah atau keterbukaan hati yang paling dalam dan bersih. Karena
itu, niat dan penggunaan sarana yang salah akan melahirkan bekal dan manasik
hingga operasionalisasi haji yang salah pula.
Ini
harus menjadi perhatian para calon haji (calhaj) dan seluruh kaum muslim.
Jangan hanya membahas masalah-masalah fisik, namun aspek ibadah dan batiniah
justru sangat urgen. Sebab, haji bukan “pariwisata atau jalan-jalan” ke Arab
Saudi. Namun, para jemaah sedang menghadapkan segenap jiwa dan raga ke hadirat
Ilahi, dan berjanji untuk menjadi insan yang penuh kebaikan (mabrur).
Haji Mabrur
Menjadi
haji mabrur merupakan dambaan seluruh umat Islam yang terpanggil berangkat ke
Tanah Suci. Allah telah berjanji, imbalan bagi yang berhasil mencapainya adalah
surga. Kita berharap agar sekitar 211.000 haji Indonesia setiap tahun bisa
pulang ke Tanah Air menjadi haji mabrur. Ini akan berdampak hebat, apalagi jika
jumlah total mereka dikalikan rata-rata lima anggota keluarganya. Maka, NKRI
akan makin kukuh dan terbebas dari korupsi. Dan haji pun menjadi sarana
pembentukan hati dan pikiran yang baik, sebagai landasan pembentukan karakter
bangsa yang maju, beradab, religius, dan sejahtera.
Maka
dari itu, umat Islam di Indonesia harus berbenah diri. Pasalnya, dewasa ini
banyak sekali orang melakukan kebaikan, namun cara yang ditempuh kurang tepat
dan “menghalalkan segala cara”. Banyak koruptor di negeri ini melakukan
kebaikan, namun uang yang dipakai adalah “uang haram” karena hasil dari
menggarong uang rakyat. Tak jarang mereka menyumbang masjid, berkurban, dan
berhaji dengan uang hasil korupsi. Padahal, sudah jelas ibadah tersebut akan
sia-sia. Karena itu, jika ingin berhaji, umat Islam perlu melakukan perubahan.
Jika koruptor ingin naik haji, mereka harus “memakai uang halal” dan
membersihkan diri serta hati nurani.
Siapa
saja di dunia ini yang melakukan haji dengan uang korupsi, pasti ibadah hajinya
ditolak dan sia-sia. Jika ingin menjadi haji mabrur, cara yang dilakukan juga
harus mabrur pula. Pasalnya, haji mabrur bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh
dengan cara instan dan dengan jalan salah. Maka dari itu, sudah saatnya umat
Islam berhaji dengan cara benar dan menggunakan uang halal jika ingin menjadi
haji mabrur. Lalu, bagi koruptor, lebih baik uang tersebut dikembalikan kepada
asal mula uang itu dicuri. Karena itu, jika sudah jelas bahwa haji uang hasil
korupsi tak sah, apakah anda akan tetap berhaji dengan uang haram?
0 komentar:
Post a Comment