Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Saturday 21 December 2013

Blue Print Pembelajaran Bahasa Indonesia


Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat di KoranBarometer, 19 Desember 2013

Dalam kamus pendidikan, metode dianggap lebih utama dari materi. Namun, apakah selamanya seperti itu? Tentu tidak. Karena, tidak semua metode mampu menjawab dan mentransformasikan materi pelajaran. Maka dari itu, tak heran jika semua pendidik di negeri ini diwajibkan untuk berinovasi, berijtihad dan melakukan pembaharuan yang revolusioner dalam pendidikan. Itulah salah satu alasan bahwa dalam penyampaian materi bahasa Indonesia perlu blue print (cetak biru) dalam pembelajarannya, baik di sekolah, kampus, maupun di lembaga pendidikan informal dan non formal.
Setiap materi dalam pendidikan memiliki style dan ruang lingkup pembelajarannya sendiri. Artinya, semua materi perlu ditransformasikan dengan strategi, metode, model, dan pendekatan tersendiri menyesuaikan materinya. Karena tidak semua materi disampaikan dengan metode sama. Hal ini juga harus menyesuaikan kurikulum, kondisi peserta didik, serta ruang lingkup materi dengan berbagai pertimbangan dan tujuan pembelajaran, karena selama ini banyak guru dan dosen bahasa Indonesia tidak mau memahami kondisi peserta didik dan dangkal intelektual ketika menyampaikan materi.
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia harus dilestarikan, dibumikan, dijaga, bahkan diinternasionalkan. Sudah saatnya, kaum akademis, politisi, pemeritah, dan khususnya ahli bahasa “menduniakan” bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Inilah impian Saya selama ini yang belum terwujud. Karena sesungguhnya, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa di Indonesia lebih kaya dari bahasa lain, khususnya bahasa Inggris.
Seperti contoh, makan bahasa Inggrisnya hanya eat, bahasa Indonesia/Jawa beragama, mulai dari makan, maem, mbadok, nyekek, nglontor, nguntal, njeglak, nitil, notol, nyosor,  dhahar, dan sebagainya. Inilah kekayaan bahasa yang dimiliki Indonesia. Dengan kekayaan seperti ini, jangan sampai bangsa ini “menyembah” dan tunduk patuh kepada Amerika dan negara lain. Sesungguhnya, kita lebih kaya daripada bangsa lain, karena setiap benda, pekerjaan, di Indonesia memiliki terminologi sendiri.
Dengan kekayaan yang tidak ternilai itu, seharusnya masyarakat bangga dan melestarikan bahasa Indonesia.
Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu adalah (1)language loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan terhadap bahasa, (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan (3) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa. Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap keberadaan bahasanya. Kecenderungan  itu dapat dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi.
“Konslet” Bahasa
Seharusnya, kesalahan bahasa ada hukumannya. Karena mau tidak mau, pelanggaran berbahasa adalah penghinaan terhadap bangsa ini. Jika kita menggunakan lambang negara Indonesia untuk keperluan jahat, maka ada sanksinya. Jika kita menghina bendara merah putih juga ada hukumannya. Namun, mengapa ketika masyarakat menggunakan bahasa Indonesia dengan salah tidak dihukum? Inilah konslet bahasa yang selama ini terjadi.
Dalam kajian sosiolinguistik, dikenal istilah “interferensi” atau kekeliruan bahasa. Nababan (1984) menjelaskan interferensi sebagai kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih. Menurut pendapat Chaer (1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain.
Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam Chair (1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Lebih jauh, interferensi adalah gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima (Jendra; 1995). Bisa ditarik kesimpulan bahwa interferensi merupakan kekeliruan bahasa. Intinya di situ. Dengan kata lain, konslet bahasa yang terjadi di masyarakat sangat beragam dan menjalar di semua unsur kehidupan. Maka dari itu, dalam hal ini perlu adanya pembenahan di semua lini dengan pendekatan pendidikan bahasa dalam lembaga pendidikan.
Cetak Biru
Urgensi cetak biru dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat penting. Karena sesungguhnya, bahasa Indonesia sangat sulit daripada bahasa lainnya. Namun, selama ini insan akademis menganggap sepele bahasa Indonesia karena mereka tidak tahu dan tidak mau tahu pentingnya belajar dan mendalami bahasa nasional ini.
Setidaknya, ada beberapa hal yang perlu didekonstruksi dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pertama, pemerintah perlu membuat kebijakan revolusioner tentang pengangkatan bahasa Indonesia menjadi “bahasa dunia” dan “go internasional.” Semua akademisi, mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri harus rajin berkampanye bahwa bahasa Indonesia mampu dan bisa menjadi bahasa internasional.
Kedua, dalam ranah internal, semua dosen, guru, dan pengajar bahasa Indonesia harus linier dan sesuai bidangnya. Karena selama ini banyak pengajar bahasa Indonesia tidak paham sama sekali apa yang dimaksud bahasa Indonesia. Ironisnya, mereka adalah guru abal-abal dan tidak memenuhi kualifikasi akademik. Ketiga, agar siap bercanda dengan gelombang bahasa, semua pendidik harus selalu meningkatkan kualitas akademik mereka. Hal ini bertujuan tidak sekadar mendapatkan sertifikasi, namun pendidik harus mengutamakan kemajuan pendidikan daripada sekadar “recehan” belaka. Karena hakikatnya, mendidik adalah beribadah, dan barang siapa ikhlas, maka jaminannya surga.
Keempat, pendidik bahasa Indonesia harus mendidik pelajar dengan menggunakan metode kontekstualisasi bahasa. Karena bahasa sesungguhnya tidak hanya belajar huruf, kata, kalimat, frasa, pragmatik, dan sebagainya. Namun, belajar bahasa sesungguhnya adalah belajar kehidupan, belajar ikhlas, belajar mengritik penguasa, dan belajar memahami dunia. Karena orang yang pandai berbahasa, mereka mudah untuk menguasai dunia.
Kelima, belajar bahasa pada hakikatnya belajar semua ilmu. Karena bahasa adalah instrumen tulisan, dan tulisan adalah tali untuk mengikat ilmu. Maka dari itu, pendidik bahasa Indonesia harus mampu menyuntikkan ruh motivasi untuk belajar semua ilmu lewat ilmu bahasa. Karena hanya dengan bahasa, manusia bisa berpikir lurus dan komprehensif. Tanpa bahasa, manusia akan buta dan tidak bisa berkomunikasi, bercanda, dan bisa membaca kehidupan.
Keenam, belajar bahasa adalah belajar semua ilmu, maka jika ingin menguasai semua disiplin ilmu, semua bisa berawal dari belajar bahasa. Maka dari itu, sudah saatnya pengajar bahasa Indonesia memahami semua aspek ilmu dan mampu menjelaskan pada pelajar bahwa belajar bahasa adalah belajar kehidupan, baik kehidupan akademik maupun kehidupan sebenarnya.
Yang terpenting, belajar bahasa Indonesia tak harus pada lembaga pendidikan formal dan informal. Namun, justru pada pendidikan non formal, banyak ilmu bahasa yang bisa dikaji dan dikembangkan. Lalu, kapan Anda belajar bahasa Indonesia dengan baik dan benar?

-Penulis adalah Direktur Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jateng, Peneliti Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Blue Print Pembelajaran Bahasa Indonesia Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda