Oleh Hamidulloh
Ibda
Dimuat di KoranBarometer, 19 Desember 2013
Dalam kamus
pendidikan, metode dianggap lebih utama dari materi. Namun, apakah selamanya
seperti itu? Tentu tidak. Karena, tidak semua metode mampu menjawab dan
mentransformasikan materi pelajaran. Maka dari itu, tak heran jika semua
pendidik di negeri ini diwajibkan untuk berinovasi, berijtihad dan melakukan
pembaharuan yang revolusioner dalam pendidikan. Itulah salah satu alasan bahwa
dalam penyampaian materi bahasa Indonesia perlu blue print (cetak biru)
dalam pembelajarannya, baik di sekolah, kampus, maupun di lembaga pendidikan
informal dan non formal.
Setiap materi
dalam pendidikan memiliki style dan ruang lingkup pembelajarannya
sendiri. Artinya, semua materi perlu ditransformasikan dengan strategi, metode,
model, dan pendekatan tersendiri menyesuaikan materinya. Karena tidak semua
materi disampaikan dengan metode sama. Hal ini juga harus menyesuaikan
kurikulum, kondisi peserta didik, serta ruang lingkup materi dengan berbagai
pertimbangan dan tujuan pembelajaran, karena selama ini banyak guru dan dosen
bahasa Indonesia tidak mau memahami kondisi peserta didik dan dangkal
intelektual ketika menyampaikan materi.
Sebagai bahasa
nasional, bahasa Indonesia harus dilestarikan, dibumikan, dijaga, bahkan
diinternasionalkan. Sudah saatnya, kaum akademis, politisi, pemeritah, dan
khususnya ahli bahasa “menduniakan” bahasa Indonesia sebagai bahasa
internasional. Inilah impian Saya selama ini yang belum terwujud. Karena
sesungguhnya, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa di Indonesia lebih kaya
dari bahasa lain, khususnya bahasa Inggris.
Seperti contoh,
makan bahasa Inggrisnya hanya eat, bahasa Indonesia/Jawa beragama, mulai
dari makan, maem, mbadok, nyekek, nglontor, nguntal, njeglak,
nitil, notol, nyosor, dhahar,
dan sebagainya. Inilah kekayaan bahasa yang dimiliki Indonesia. Dengan kekayaan
seperti ini, jangan sampai bangsa ini “menyembah” dan tunduk patuh kepada
Amerika dan negara lain. Sesungguhnya, kita lebih kaya daripada bangsa lain,
karena setiap benda, pekerjaan, di Indonesia memiliki terminologi sendiri.
Dengan kekayaan
yang tidak ternilai itu, seharusnya masyarakat bangga dan melestarikan bahasa
Indonesia.
Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok perilaku atau
sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu adalah (1)language
loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan terhadap bahasa,
(2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan
(3) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa.
Jika
wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa
itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif
terhadap keberadaan bahasanya. Kecenderungan itu dapat
dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi.
“Konslet” Bahasa
Seharusnya,
kesalahan bahasa ada hukumannya. Karena mau tidak mau, pelanggaran berbahasa
adalah penghinaan terhadap bangsa ini. Jika kita menggunakan lambang negara
Indonesia untuk keperluan jahat, maka ada sanksinya. Jika kita menghina bendara
merah putih juga ada hukumannya. Namun, mengapa ketika masyarakat menggunakan
bahasa Indonesia dengan salah tidak dihukum? Inilah konslet bahasa yang selama
ini terjadi.
Dalam kajian
sosiolinguistik, dikenal istilah “interferensi” atau kekeliruan bahasa. Nababan
(1984) menjelaskan interferensi sebagai kekeliruan yang terjadi sebagai akibat
terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa
atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan
Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa
penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih. Menurut pendapat Chaer
(1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut
adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan
bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang
bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan
suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain.
Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu
kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi.
Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam Chair (1998:160) interferensi
terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau
dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Lebih jauh, interferensi adalah gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain.
Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem)
bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan
terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima (Jendra; 1995).
Bisa ditarik kesimpulan bahwa interferensi merupakan kekeliruan bahasa. Intinya
di situ. Dengan kata lain, konslet bahasa yang terjadi di masyarakat sangat
beragam dan menjalar di semua unsur kehidupan. Maka dari itu, dalam hal ini
perlu adanya pembenahan di semua lini dengan pendekatan pendidikan bahasa dalam
lembaga pendidikan.
Cetak
Biru
Urgensi cetak
biru dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat penting. Karena sesungguhnya,
bahasa Indonesia sangat sulit daripada bahasa lainnya. Namun, selama ini insan
akademis menganggap sepele bahasa Indonesia karena mereka tidak tahu dan tidak
mau tahu pentingnya belajar dan mendalami bahasa nasional ini.
Setidaknya, ada
beberapa hal yang perlu didekonstruksi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Pertama, pemerintah perlu membuat kebijakan revolusioner tentang pengangkatan
bahasa Indonesia menjadi “bahasa dunia” dan “go internasional.” Semua
akademisi, mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri harus rajin
berkampanye bahwa bahasa Indonesia mampu dan bisa menjadi bahasa internasional.
Kedua, dalam
ranah internal, semua dosen, guru, dan pengajar bahasa Indonesia harus linier
dan sesuai bidangnya. Karena selama ini banyak pengajar bahasa Indonesia tidak
paham sama sekali apa yang dimaksud bahasa Indonesia. Ironisnya, mereka adalah
guru abal-abal dan tidak memenuhi kualifikasi akademik. Ketiga, agar siap
bercanda dengan gelombang bahasa, semua pendidik harus selalu meningkatkan
kualitas akademik mereka. Hal ini bertujuan tidak sekadar mendapatkan
sertifikasi, namun pendidik harus mengutamakan kemajuan pendidikan daripada
sekadar “recehan” belaka. Karena hakikatnya, mendidik adalah beribadah, dan
barang siapa ikhlas, maka jaminannya surga.
Keempat,
pendidik bahasa Indonesia harus mendidik pelajar dengan menggunakan metode
kontekstualisasi bahasa. Karena bahasa sesungguhnya tidak hanya belajar huruf,
kata, kalimat, frasa, pragmatik, dan sebagainya. Namun, belajar bahasa
sesungguhnya adalah belajar kehidupan, belajar ikhlas, belajar mengritik
penguasa, dan belajar memahami dunia. Karena orang yang pandai berbahasa,
mereka mudah untuk menguasai dunia.
Kelima, belajar
bahasa pada hakikatnya belajar semua ilmu. Karena bahasa adalah instrumen
tulisan, dan tulisan adalah tali untuk mengikat ilmu. Maka dari itu, pendidik
bahasa Indonesia harus mampu menyuntikkan ruh motivasi untuk belajar semua ilmu
lewat ilmu bahasa. Karena hanya dengan bahasa, manusia bisa berpikir lurus dan
komprehensif. Tanpa bahasa, manusia akan buta dan tidak bisa berkomunikasi,
bercanda, dan bisa membaca kehidupan.
Keenam, belajar
bahasa adalah belajar semua ilmu, maka jika ingin menguasai semua disiplin
ilmu, semua bisa berawal dari belajar bahasa. Maka dari itu, sudah saatnya
pengajar bahasa Indonesia memahami semua aspek ilmu dan mampu menjelaskan pada
pelajar bahwa belajar bahasa adalah belajar kehidupan, baik kehidupan akademik
maupun kehidupan sebenarnya.
Yang terpenting,
belajar bahasa Indonesia tak harus pada lembaga pendidikan formal dan informal.
Namun, justru pada pendidikan non formal, banyak ilmu bahasa yang bisa dikaji
dan dikembangkan. Lalu, kapan Anda belajar bahasa Indonesia dengan baik dan benar?
-Penulis adalah Direktur
Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jateng, Peneliti Bahasa Indonesia
Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
0 komentar:
Post a Comment