Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Saturday 21 December 2013

Kesesatan Demo Dokter





Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, 2 Desember 2013


Demontrasi yang dilakukan ribuan dokter di beberapa tempat di Indonesia tak lama ini sangat sesat, merugikan, dan menunjukkan kedangkalan berpikir mereka. Mengapa demikian? Karena aksi demonstrasi menunjukkan “kekerdilan berpikir” dan “kesempitan nalar” para dokter. Apalagi, mereka adalah orang yang menjadi tumpuan kesehatan bagi masyarakat. Jika mereka berperilaku seperti preman, maka sama saja mereka preman. Padahal, semua dokter adalah orang yang terdidik, terhormat, bermartabat, dan menjadi anutan masyarakat.
Demonstrasi yang digawangi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini didasarkan solidaritas atas “gelombang hukum” yang mendera beberapa dokter yang dijatuhi vonis oleh Mahkamah Agung (MA). Memang tak bisa dibendung, bahwa demonstrasi saat ini rawan akan kepentingan politik dan misi tersembunyi sebagian kalangan. Karena itu, dokter di Indonesia seharusnya berpikir sehat dan luas, karena tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan demonstrasi.
Salah satu kewajiban dokter adalah menciptakan “kesehatan berpikir” dan berlogika arif, karena mereka adalah acuan masyarakat dalam hal kesehatan dan kemanusiaan. Jika logika berpikir mereka sesat, maka sama saja seperti “sakit jiwa”. Ironisnya, banyak demonstran hanya ikut-ikutan dan tidak tahu misi demonstrasi, apakah untuk “supremasi hukum” atau “supremasi keadilan” ataukan asal-asalan dan menunjukkan “eksistensi dokter”.
Demo ini memang sesat. Mengapa? Banyak dokter tidak tahu tujuan dan signifikansinya. Apalagi, pemandangan “aneh” terlihat di beberapa tempat aksi, banyak dokter melakukan foto-foto dan bergaya layaknya artis.  Hal ini dilakukan sesama dokter ataupun para asistennya. Peralatan mengambil gambar juga beragam, mulai dari kamera poket, kamera digital, hingga gadget mahal (Koran Tempo, 27/11). Bahkan, Sekjend Center of Information and Communication Studies (CICS) Hidayat Nahwi Rasul menilai demo dokter mencederai sumpah dokter untuk mengabdi pada kemanusiaan. Lebih jauh, aksi ini mencederai sisi kemanusiaan. Inilah yang seharusnya dipikir dan dipertimbangkan para dokter di Indonesia.
Mengurai Masalah
Banyak keluhan, cibiran, dan keresahan masyarakat akibat demo dokter. Di berbagai tempat, aksi mogok pada dokter sangat menghambat pelayanan kepada pasien. Aksi itu dipicu vonis MA yang menghukum dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani beserta dua koleganya. Mereka divonis 10 bulan penjara dalam sidang kasasi di MA. Kasus dokter Ayu dan kawan-kawan berawal dari meninggalnya pasien yang mereka tangani di Rumah Sakit RD Kandou Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, pada 10 April 2010 (Kompas, 29/11).
Beberapa dokter menilai vonis itu adalah bentuk “kriminalisasi” terhadap profesi dokter, dan karena itu muncullah aksi mogok dan demo akbar di berbagai tempat. Isu kriminalisasi dilontarkan seolah-olah sebagai pembenaran atas aksi mogok yang dilakukan ribuan dokter. Istilah “kriminalisasi” itu menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat, apakah dokter adalah profesi yang tak boleh tersentuh hukum? Ini sangat tidak logis, mencederai profesi dokter, kemanusiaan dan menghina “akal sehat.”
Banyak pro kontra terhadap aksi tidak sehat para dokter. Namun, seharusnya masalah ini disikapi bijaksana dan dewasa, karena dokter bukanlah preman yang bisanya hanya marah-marah dan demonstrasi. Sebagai masyarakat hukum, para dokter seharunya “menghormati” vonis MA yang sudah dipertimbangkan dan tidak asal-asalan, karena setiap keputusan yang dikeluarkan MA tidak “ngawur”, asal keluar dan “abal-abal”.
Insan dokter seharusnya juga berbenah dengan akal sehat mereka. Artinya, dalam penanganan pasien, mereka harus berupaya sebaik mungkin dan tak membunuh pasien. Meskipun mereka bukan Tuhan, bukan dewa dan malaikat, tetapi harus melakukan upaya maksimal dan sebaik mungkin sesuai standar profesi dokter dan jangan sampai melakukan demonstrasi apalagi tindak pidana. Karena, sudah menjadi kewajiban dokter untuk menolong pasien dan menyelamatkan nyawa manusia.
Dalam membela profesi, tindakan dokter tak perlu membabi buta. Haram hukumnya jika dokter melakukan tindakan kriminal, karena hal itu sangat melanggar hukum dan kode etik profesi dokter. Keprihatinan dokter tak harus diekspresikan dengan demontrasi keterlaluan dan merugikan rakyat, terutama para pasien dan orang sakit. Pada prinsipnya, yang dilakukan dokter harus pro rakyat dan demi kesehatan, kemanusiaan, demi kepentingan pasien dan tidak ada kepentingan lain. Bukankah diplomasi, audiensi, dan bersikap arif itu lebih profesional dan tidak mencederai akal sehat?
Diplomasi
Ada banyak hal untuk menyelesaikan polemik vonis yang ditelurkan MA. Pertama, dokter perlu melakukan tindakan arif, hal itu bisa dilakukan dengan diplomasi, diskusi, audiensi, karena dokter adalah profesi mulia. Apalagi ada sinyal terang bahwa vonis MA bisa ditinjau kembali. Jangan sampai profesi ini tercoreng karena “tindakan konslet” yang mereka lakukan. Yang terpenting, putusan MA atas dokter Ayu harus dihormati. Aksi mogok dokter juga terkesan berlebihan karena ribuan pasien dikesampingkan hak-haknya untuk memperoleh pelayanan lantaran dokter tidak bertugas. Pasien yang dirugikan bisa saja melancarkan gugatan balik atas aksi mogok itu.
Kedua, dokter harus memahami prinsip equality before the law atau semua pihak sama di hadapan hukum. Artinya, semua pihak dari masyarakat, dosen, dokter, advokat hingga presiden kedudukan sama di hadapan hukum dan bisa menghadapi proses pidana. Jika semua dokter memahami ini, maka tidak mungkin ada aksi akbar yang sangat merugikan.
Apalagi, persoalan hukum dugaan malapraktek yang dilakukan dr Ayu merupakan masalah instrumental. Dengan adanya demo, justru dikorbankan adalah yang substansial, yaitu pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat.
Ketiga, para dokter harus kembali memahami dan menaati SK PB IDI no 221/PB/A.4/04/2002 tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia. Di Pasal 8 dijelaskan bahwa “Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar benarnya. Jika semua dokter paham ini, tidak mungkin lahir demonstrasi sesat.
Keempat, pemerintah, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran maupun IDI harus menghukum tegas para provokator dan kalangan yang menjadi “otak” demonstrasi. Karena profesi dokter sanagt mulia dan dihormati masyarakat. Jika mereka melakukan demo, hal itu merendahkan profesi elegan tersebut. Demonstrasi justru membuktikan pendeknya berpikir dan emosi sesaat.
Kaum dokter sebaiknya introspeksi pula bahwa masih terjadi ratusan malapraktik sepanjang 2013, dan banyak kasus yang tidak terungkap di media massa sehingga tidak diketahui publik. Solidaritas yang membabi-buta tidak akan membawa kebaikan bagi profesi luhur itu. Masih banyak cara-cara elegan untuk menyelesaikan sengketa. IDI juga bisa meminta bantuan pemerintah/Kementerian Kesehatan, atau meminta dukungan politik kepada parlemen untuk mempertanyakan atau meninjau kembali keputusan MA tersebut. Apalagi, para dokter adalah kelompok yang terdidik sehingga bisa menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara-cara yang lebih elegan dan terhormat. Jika bisa dilakukan dengan cara elegan, mengapa harus demo?
-Penulis adalah Peneliti Politik dan Demokrasi di Nusantara Centre, Mahasiswa Aktif Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Kesesatan Demo Dokter Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda