Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Saturday 21 December 2013

Solusi Pengangguran Terdidik




Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat di Koran Barometer, 14 Desember 2013
Jumlah pengangguran kaum terdidik semakin memprihatinkan. Padahal, kaum intelektual “haram” dan “dilarang” menjadi pengangguran. Jika insan terdidik tidak bekerja, bagaimana nasib masyarakat yang pendidikannya rendah? Ini sangat ironis dan harus segera dicari solusinya.
Pengangguran terdidik adalah mereka yang mempunyai kualifikasi lulusan perguruan tinggi, baik sekolah tinggi, akademi, institut, sampai universitas tetapi belum memiliki pekerjaan layak. Secara keilmuan, mereka mapan, tetapi jika belum bekerja, maka sama saja hal itu “omong kosong”.
Mengapa? Karena diakui atau tidak, puncak dari mencari ilmu di Indonesia adalah untuk mendapatkan pekerjaan layak dan mapan. Orang kuliah S1, S2, dan S3 tidak lain adalah untuk mencari kemakmuran hidup.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, jumlah pengangguran sarjana hingga Februari 2013 mencapai 360 ribu orang atau 5,04 persen dari total pengangguran yang 7,17 juta orang (Koran Jakarta, 14/11/2013).
Data ini belum mencakup jumlah sarjana di pedesaan yang tidak terdata oleh pemerintah. Pasalnya, saat ini banyak sarjana memilih pulang kampung karena di kota tidak mendapatkan pekerjaan layak.
Akhirnya, mereka memperburuk citra almameternya, karena itu lahirlah anggapan bahwa “kuliah itu tidak penting, karena ujung-ujungnya jadi pengangguran”. Paradigma ini sangat logis, karena terbukti banyak pengangguran terdidik yang dicetak kampus-kampus ternama seperti Universitas Indonesia (UI), Univeristas Gajah Mada (UGM), dan sebagainya.

Berharap PNS
Sebenarnya, langkah pemerintah mengurangi pengangguran sudah maksimal. Seperti contoh dengan adanya penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang digelar tak lama ini. Akan tetapi, seharusnya pemuda harus berdikari dan tidak mengutamakan menjadi PNS. Terbukti, menjadi PNS sangat sulit, penuh kecurangan, dan tidak bisa mengurangi jumlah pengangguran intelektual di Indonesia.
Secara serentak di seluruh Indonesia, pada Minggu (3/11) lalu, sebanyak 1.612.854 peserta mengikuti Tes Kompetensi Dasar (TKD) CPNS dari semua formasi. Sebanyak 648.982 peserta di antaranya merupakan tenaga honorer kategori II (Kompas, 4/11/2013).
Ini membuktikan bahwa banyak pemuda “menggantungkan” nasibnya pada CPNS, padahal menjadi PNS bukanlah udara segar menjamin kemakmuran hidup. Karena kenyataanya, banyak PNS miskin dan belum mampu memenuhi kehidupan layak bagi keluarga mereka.
Di republik berkembang seperti ini, pemuda seharusnya berpikir luas dan kreatif untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Mengapa demikian? Karena mental kaum intelektual saat ini masih bermental “pelamar”, bukan “pencipta”. Padahal, intelektual harus kreatif, pencipta, revolusioner, pengabdi, dan mewujudkan Indonesia makmur adalah tugas utama mereka.
Apa guna jumlah sarjana menjamur jika hanya menjadi beban negara. Selain menjadi masalah sosial, hal itu juga memperburuk citra perguruan tinggi. Karena semakin banyaknya jumlah pengangguran berijazah sarjana, semakin kental pandangan masyarakat bahwa kampus adalah pencetak pengangguran terdidik. Maka, perlu dicari solusi jitu untuk menjawab problem pelik tersebut.

Solusi
Selama ini, banyak gagasan pendidikan entreprenuer didentumkan di kampus dan sekolah. Selain itu, peningkatan dan pengembangan keterampilan lunak (soft skill) melalui mata pelajaran juga terlaksana di berbagai lembaga pendidikan.
Akan tetapi, kenyataanya hal itu belum mampu mengurangi jumlah pengangguran terpelajar. Bahkan, tak heran jika banyak sekolah menangah atas (SMA) dilebur menjadi sekolah menangah kejuruan (SMK). Hal itu terjadi karena efek globalisasi yang mengharuskan sekolah mencetak lulusan siap kerja.
Jika berbicara solusi, maka kita dihadapkan dengan solusi jangka pendek dan panjang. Untuk jangka pendek, pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan di berbagai bidang, tidak sekadar membuka pendaftaran CPNS.
Melihat data pengangguran terdidik yang memprihatinkan, urgensi pembukaan lapangan pekerjaan oleh pemerintah adalah 100 %. Selain itu, semua pengangguran terdidik harus menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Artinya, selama ini banyak potensi pemuda tidak digali dan dikembangkan sehingga pemikirannya stagnan.
Untuk jangka panjang, ada beberapa hal yang bisa mengurangi jumlah pengangguran terdidik. Pertama, pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan dan perguruan tinggi harus merevolusi kurikulum.
Artinya, semua kurikulum dan materi pendidikan harus sesuai kondisi zaman. Karena, selama ini banyak sekali materi kurikulum tidak sesuai kebutuhan. Kampus juga harus membuat konsep pendidikan kerja agar kompetensi lulusan sesuai kebutuhan lapangan kerja dan siap bekerja.
Kedua, kampus harus tegas dan mampu menutup fakultas/jurusan yang tidak sesuai konteks global. Artinya, selama ini banyak kampus membuka fakultas yang lulusannya tidak laku kerja seperti jurusan sastra Inggris, Arab, dan sebagainya, serta fakultas yang lulusannya terlalu banyak seperti jurusan kependidikan, hukum, bahasa dan jurusan lain yang sudah banyak alumninya. Maka, kampus harus membuka fakultas (jurusan) yang sesuai lapangan kerja saja.
Ketiga, perguruan tinggi harus peduli terhadap lulusannya. Artinya, selama ini kampus terkesan “lepas tangan” dan tidak peduli terhadap alumnusnya. Padahal, lulusan membawa nama almameter kampus di masyarakat.
Peran kampus sebenarnya tidak sekadar mendidik dan meluluskan mahasiswa, tetapi juga bertugas mengusahakan, mencarikan, dan menyalurkan lulusannya untuk mendapat pekerjaan layak. Karena itu, kampus harus giat bekerja sama dengan perusahaan, lembaga usaha, baik di dalam maupun luar negeri.
Keempat, peningkatan pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja dengan dibekali karakter dan etos juang dan etos kerja secara mapan. Mengapa saat ini banyak SMA berkonversi menjadi SMK? Karena lapangan kerja membutuhkan ilmuan teknis, cekatan, fokus di bidangnya, serta berketrampilan dan siap pakai.
Kelima, kampus harus mewajibkan semua mahasiswanya berwirausaha. Tidak peduli fakultasnya apa, yang penting ada aturan tegas dari kampus mewajibkan mahasiswanya bekerja dan memiliki penghasilan sendiri tanpa mengandalkan uang dari keluarga. Jadi, paradigma “ilmuan pekerja” harus ditanamkan ketika mahasiswa, karena hakikatnya bekerja tidak perlu menunggu lulus kuliah atau mendapat ijazah. (*)

Hamidulloh Ibda,
Direktur Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang (Unnes) 

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Solusi Pengangguran Terdidik Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda