Direktur
Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah,
Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek)
harus edukatif, berkarakter, religius dan humanis. Jika kegiatan ini berbasis
anarkisme, perpeloncoan, kematian bahkan pencabulan, maka sama hal itu “mengkhianati”
esensi ospek dan pendidikan. Karena dalam pendidikan, tidak ada yang puitis
kecuali mendentumkan kegiatan edukatif dan berkarakter. Inilah yang harus
dipahami semua kaum akademis. Jangan sampai ritus tahunan ini hanya “ajang
gengsi” dan “balas dendam” kepada mahasiswa baru.
Banyak insan akademis mengutuk keras tragedi ospek
di ITN Malang yang mengakibatkan tewasnya Fikri Dolasmantya Surya.
Mahasiswa baru Fakultas Teknik Jurusan Planologi angkatan 2013-2014 ini tewas
saat mengikuti ospek berupa Kemah Bakti Desa di Pantai Goa China Sumbermanjing
Wetan, Kabupaten Malang. Kematian tersebut dianggap tak wajar, sebab terdapat
beberapa bukti penganiayaan dilakukan Fendem panitia ospek ITN Malang.
Ini sangat ironis dan
memalukan. Yang terkena getah tentu tak hanya ITN Malang, namun semua perguruan
tinggi pasti terkena getah negatif atas tragedi itu, karena hampir semua kampus
di negeri ini menggelar ospek tiap penerimaan mahasiswa baru. Lalu, apakah ospek
harus dihapus? Tentu masih menjadi polemik dan harus dicari solusi jitu,
formula cerdas dan konsep revolusioner.
Hitam Putih Ospek
Tujuan awal ospek
sangat baik, karena menggembleng mahasiswa baru untuk mengenal dunia kampus,
orientasi mental akademik, pengenalan kawah candradimuka kaum intelektual dan
sebagainya. Namun, seiring berputarnya roda globalisasi, kegiatan ini
kehilangan arah dan sering ternoda hal negatif. Inilah hitam putih ospek di
tengah gempuran badai modernisasi.
Banyak pro kontra
bermunculan atas tragedi ospek di ITN Malang. Banyak kutukan, kritik dan
pendapat untuk menghapus ospek. Sebagian kalangan tetap mempertahankan, karena ospek
hanya wahana akademik bagi mahasiswa baru untuk menemukan jati diri. Tak heran
juga jika pemerintah akan melakukan moratorium ospek bagi mahasiswa baru. Logikanya
jelas, karena ospek menjadi ajang kekerasan dan balas dendam mahasiswa senior kepada
junior.
Ada sebagian kalangan seperti Forum Rektor
Indonesia (FRI) tetap mempertahankan ospek. Pasalnya, ospek dinilai tak sama
dengan kekerasan, karena banyak hal positif dan edukatif. Menurut Laode M
Kamaludin, rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unisulla) menyatakan jika ada
moratorium, berarti semua anggapan buruk tentang ospek disamaratakan. Padahal,
banyak manfaat yang bisa diambil dari ospek (Kompas, 17/12).
Wacana moratorium dan penghapusan ospek muncul karena
kegiatan ini dinilai banyak sisi negatifnya. Sisi kelam ospek lebih kentara
daripada sisi positifnya. Buktinya, setiap tahun banyak “berita hitam” berupa
kekerasan, perpeloncoan dan pencabulan bahkan kematian. Jika demikian, ospek memang harus dihentikan.
Peristiwa kematian mahasiswa selama ospek seharusnya menjadi pelajaran bagi
semua perguruan tinggi.
Ospek sering dikemas menarik dan baik, tetapi hal
itu hanya kamuflase dan banyak “noda hitam” terjadi. Ospek di ITN Malang dikemas
kemah bakti, tetapi fakta di lapangan pelaksanaannya justru banyak menjurus ke
arah negatif. Bahkan,
data dan fakta yang dirillis Polres Malang sangat memprihatinkan. Pertama, terdapat
dugaan tindak kekerasan, perlakuan tak manusiawi, serta asusila dilakukan
panitia ospek terhadap 114 mahasiswa baru. Contoh tindakan tak manusiawi
dilakukan panitia ospek hanya memberi jatah 1 botol air mineral ukuran 1,5
liter untuk peserta ospek sebanyak ratusan orang (Kompas, 17/12).
Sedangkan tindak
kekerasan dilakukan Fendem adalah menyuruh peserta push up lalu
menginjak punggung mereka. Kemudian memukul peserta dengan sandal, juga
menginjak tangan peserta. Menurut keterangan beberapa saksi, Fikri dipanggil Fendem
karena membela teman-temannya. Setelah itu Fikri tak lagi terlihat bersama
mereka. Menurut keterangan keluarga korban, Fikri, saat dilakukan proses visum
pada jasad Fikri terdapat sisa darah di daerah mata korban. Posisi lidah korban
juga berada di luar kewajaran, sebab dalam keadaan tergigit. Dari keterangan
ini jelas dan kita patut bertanya apakah ini yang disebut ospek?
Ospek Edukatif dan
Humanis
Ini sangat ironis dan harus dicari solusinya.
Jika dihapus, tentu banyak penolakan dan polemik. Pasalnya, kejadian buruk saat
ospek dilakukan sebagian oknum saja dan tidak semua ospek di kampus terjadi hal
negatif. Ada beberapa formula cerdas atas polemik ospek. Pertama, pemerintah
harus membuat “regulasi baru” tentang ospek. Pasalnya, aturan selama ini tidak
jelas, karena secara legal formal, ospek sudah dihapuskan. Awalnya
bernama Mapram atau Mapras, dengan SK Menteri P dan K No. 043 / 1971 akhirnya
menjadi pekan orientasi studi (POS), berevolusi menjadi orientasi studi (OS)
dan terakhir menjadi ospek.
Karena ospek
sering terjadi tindak kriminal, pada 17 Juni 1999 terbit surat edaran Dirjen
Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 1539/D/I/1999. Surat ini dengan
tegas melarang perploncoan dan kemudian keluarlah SK Dirjen Dikti No.38/Dikti/2000
yang menghapus ospek dan menyerahkan prosesi pengenalan kehidupan kampus pada perguruan
tinggi masing-masing.
Payung hukum di
atas harus dikaji ulang. Artinya, jika sering terjadi tindak kriminal dalam
ospek, pemerintah harus meregulasi ulang dengan formula baru cerdas dan
edukatif. Apa artinya ospek jika
menindas mahasiswa baru? Karena di mimbar akademik, tiada yang puitis kecuali
“memanusiakan manusia”.
Kedua, kampus harus mendesain ospek edukatif
dan humanis. Artinya, untuk menjadikan mahasiswa berkarakter, maka amanat Tri
Dharma Perguruan Tinggi harus dijalankan. Jangan sampai ospek dijadikan ajang
balas dendam dan perpeloncoan. Lebih cerdas lagi jika ospek dikelola birokasi
kampus, bukan mahasiswa yang rentan dengan kekerasan.
Kedua, ospek harus diganti seminar motivasi
yang mengarahkan mahasiswa menghadapi kuliah di kampus. Mahasiswa harus
dimotivasi belajar giat, berkarya, menjadi intelektual dan cepat lulus. Selain
itu, mahasiswa baru harus diberi kesempatan melihat pameran berbagai organisasi
mahasiwa seperti organisasi UKM, paduan suara, seni musik, pramuka, jurnalistik
dan sebagainya. Ini sangat bermanfaat dan edukatif daripada sekadar disuruh
membawa topi kertas, tas plastik dan perlengkapan tak mendidik. Ketiga, jika ospek masih berjalan dan terjadi
hal negatif, maka apa pun ceritanya, ospek
harus dihapuskan. Sebab, sisi negatifnya lebih banyak daripada unsur mendidik.
Ospek harus berkesan, mendidik, berkarakter
dan religius. Karena momen ini menjadi “gerbang” mahasiswa baru memasuki dunia
kampus. Jika buruk, anarkis dan holigan, pasti mahasiswa baru terdidik anarkis.
Yang jelas, ospek harus edukatif dan humanis. Karena hakikatnya, ospek bukan
segalanya, namun segalanya dalam dunia akademik berawal dari sana.
-Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, 19
Desember 2013
0 komentar:
Post a Comment