Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Saturday 21 December 2013

Ospek Edukatif dan Humanis


Oleh Hamidulloh Ibda
Direktur Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah,
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

Orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek) harus edukatif, berkarakter, religius dan humanis. Jika kegiatan ini berbasis anarkisme, perpeloncoan, kematian bahkan pencabulan, maka sama hal itu “mengkhianati” esensi ospek dan pendidikan. Karena dalam pendidikan, tidak ada yang puitis kecuali mendentumkan kegiatan edukatif dan berkarakter. Inilah yang harus dipahami semua kaum akademis. Jangan sampai ritus tahunan ini hanya “ajang gengsi” dan “balas dendam” kepada mahasiswa baru.
Banyak insan akademis mengutuk keras tragedi ospek di ITN Malang yang mengakibatkan tewasnya Fikri Dolasmantya Surya. Mahasiswa baru Fakultas Teknik Jurusan Planologi angkatan 2013-2014 ini tewas saat mengikuti ospek berupa Kemah Bakti Desa di Pantai Goa China Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Kematian tersebut dianggap tak wajar, sebab terdapat beberapa bukti penganiayaan dilakukan Fendem panitia ospek ITN Malang.
Ini sangat ironis dan memalukan. Yang terkena getah tentu tak hanya ITN Malang, namun semua perguruan tinggi pasti terkena getah negatif atas tragedi itu, karena hampir semua kampus di negeri ini menggelar ospek tiap penerimaan mahasiswa baru. Lalu, apakah ospek harus dihapus? Tentu masih menjadi polemik dan harus dicari solusi jitu, formula cerdas dan konsep revolusioner.
Hitam Putih Ospek
Tujuan awal ospek sangat baik, karena menggembleng mahasiswa baru untuk mengenal dunia kampus, orientasi mental akademik, pengenalan kawah candradimuka kaum intelektual dan sebagainya. Namun, seiring berputarnya roda globalisasi, kegiatan ini kehilangan arah dan sering ternoda hal negatif. Inilah hitam putih ospek di tengah gempuran badai modernisasi.
Banyak pro kontra bermunculan atas tragedi ospek di ITN Malang. Banyak kutukan, kritik dan pendapat untuk menghapus ospek. Sebagian kalangan tetap mempertahankan, karena ospek hanya wahana akademik bagi mahasiswa baru untuk menemukan jati diri. Tak heran juga jika pemerintah akan melakukan moratorium ospek bagi mahasiswa baru. Logikanya jelas, karena ospek menjadi ajang kekerasan dan balas dendam mahasiswa senior kepada junior.
Ada sebagian kalangan seperti Forum Rektor Indonesia (FRI) tetap mempertahankan ospek. Pasalnya, ospek dinilai tak sama dengan kekerasan, karena banyak hal positif dan edukatif. Menurut Laode M Kamaludin, rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unisulla) menyatakan jika ada moratorium, berarti semua anggapan buruk tentang ospek disamaratakan. Padahal, banyak manfaat yang bisa diambil dari ospek (Kompas, 17/12).
Wacana moratorium dan penghapusan ospek muncul karena kegiatan ini dinilai banyak sisi negatifnya. Sisi kelam ospek lebih kentara daripada sisi positifnya. Buktinya, setiap tahun banyak “berita hitam” berupa kekerasan, perpeloncoan dan pencabulan bahkan kematian. Jika demikian, ospek memang harus dihentikan. Peristiwa kematian mahasiswa selama ospek seharusnya menjadi pelajaran bagi semua perguruan tinggi.
Ospek sering dikemas menarik dan baik, tetapi hal itu hanya kamuflase dan banyak “noda hitam” terjadi. Ospek di ITN Malang dikemas kemah bakti, tetapi fakta di lapangan pelaksanaannya justru banyak menjurus ke arah negatif.  Bahkan, data dan fakta yang dirillis Polres Malang sangat memprihatinkan. Pertama, terdapat dugaan tindak kekerasan, perlakuan tak manusiawi, serta asusila dilakukan panitia ospek terhadap 114 mahasiswa baru. Contoh tindakan tak manusiawi dilakukan panitia ospek hanya memberi jatah 1 botol air mineral ukuran 1,5 liter untuk peserta ospek sebanyak ratusan orang (Kompas, 17/12).
Sedangkan tindak kekerasan dilakukan Fendem adalah menyuruh peserta push up lalu menginjak punggung mereka. Kemudian memukul peserta dengan sandal, juga menginjak tangan peserta. Menurut keterangan beberapa saksi, Fikri dipanggil Fendem karena membela teman-temannya. Setelah itu Fikri tak lagi terlihat bersama mereka. Menurut keterangan keluarga korban, Fikri, saat dilakukan proses visum pada jasad Fikri terdapat sisa darah di daerah mata korban. Posisi lidah korban juga berada di luar kewajaran, sebab dalam keadaan tergigit. Dari keterangan ini jelas dan kita patut bertanya apakah ini yang disebut ospek?
Ospek Edukatif dan Humanis
Ini sangat ironis dan harus dicari solusinya. Jika dihapus, tentu banyak penolakan dan polemik. Pasalnya, kejadian buruk saat ospek dilakukan sebagian oknum saja dan tidak semua ospek di kampus terjadi hal negatif. Ada beberapa formula cerdas atas polemik ospek. Pertama, pemerintah harus membuat “regulasi baru” tentang ospek. Pasalnya, aturan selama ini tidak jelas, karena secara legal formal, ospek sudah dihapuskan. Awalnya bernama Mapram atau Mapras, dengan SK Menteri P dan K No. 043 / 1971 akhirnya menjadi pekan orientasi studi (POS), berevolusi menjadi orientasi studi (OS) dan terakhir menjadi ospek.
Karena ospek sering terjadi tindak kriminal, pada 17 Juni 1999 terbit surat edaran Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 1539/D/I/1999. Surat ini dengan tegas melarang perploncoan dan kemudian keluarlah SK Dirjen Dikti No.38/Dikti/2000 yang menghapus ospek dan menyerahkan prosesi pengenalan kehidupan kampus pada perguruan tinggi masing-masing.
Payung hukum di atas harus dikaji ulang. Artinya, jika sering terjadi tindak kriminal dalam ospek, pemerintah harus meregulasi ulang dengan formula baru cerdas dan edukatif.  Apa artinya ospek jika menindas mahasiswa baru? Karena di mimbar akademik, tiada yang puitis kecuali “memanusiakan manusia”.
Kedua, kampus harus mendesain ospek edukatif dan humanis. Artinya, untuk menjadikan mahasiswa berkarakter, maka amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi harus dijalankan. Jangan sampai ospek dijadikan ajang balas dendam dan perpeloncoan. Lebih cerdas lagi jika ospek dikelola birokasi kampus, bukan mahasiswa yang rentan dengan kekerasan.
Kedua, ospek harus diganti seminar motivasi yang mengarahkan mahasiswa menghadapi kuliah di kampus. Mahasiswa harus dimotivasi belajar giat, berkarya, menjadi intelektual dan cepat lulus. Selain itu, mahasiswa baru harus diberi kesempatan melihat pameran berbagai organisasi mahasiwa seperti organisasi UKM, paduan suara, seni musik, pramuka, jurnalistik dan sebagainya. Ini sangat bermanfaat dan edukatif daripada sekadar disuruh membawa topi kertas, tas plastik dan perlengkapan tak mendidik.  Ketiga, jika ospek masih berjalan dan terjadi hal negatif, maka  apa pun ceritanya, ospek harus dihapuskan. Sebab, sisi negatifnya lebih banyak daripada unsur mendidik.
Ospek harus berkesan, mendidik, berkarakter dan religius. Karena momen ini menjadi “gerbang” mahasiswa baru memasuki dunia kampus. Jika buruk, anarkis dan holigan, pasti mahasiswa baru terdidik anarkis. Yang jelas, ospek harus edukatif dan humanis. Karena hakikatnya, ospek bukan segalanya, namun segalanya dalam dunia akademik berawal dari sana.
-Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, 19 Desember 2013

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Ospek Edukatif dan Humanis Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda