Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Monday 24 February 2014

Mencegah Caleg “Abal-abal”





Oleh Hamidulloh Ibda
Penulis Buku Demokrasi Setengah Hati (Kalam Nusantara: 2013),
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

Politik di era digital seperti ini memang serba bungkus tanpa substansi. Maka tak heran jika muncul banyaknya calon legislatif (caleg) “abal-abal” di setiap parpol. Padahal, caleg menjadi “tolok ukur” dan simbol perkaderan bagi parpol. Jika caleg suatu parpol berkualitas, cerdas dan kompeten, maka hal itu menunjukkan kualitas perkaderan parpol, begitu pula sebaliknya.

Caleg baik akan selalu menyeru pada kebaikan, dan hanya mereka yang mampu menjadi wakil rakyat amanah dan tidak korup. Jika pemilu 2014 nanti dimenangkan para caleg abal-abal, maka rusaklah bangsa ini. Karena posisi politik ibarat pedang yang bisa digunakan untuk kebaikan, namun juga bisa membunuh diri sendiri dan orang lain.

Munculnya politisi dan caleg musiman menjadi simbol buruknya sistem perekrutan, perkaderan parpol dan demokrasi kita. Mereka sudah menjadikan politik dan parpol sebagai bisnis dan tujuan, bukan sebagai alat untuk mengabdi pada bangsa. Padahal, parpol harus diisi orang baik, dan caleg haruslah orang yang memiliki “ruh berjuang”, bukan sekadar pemilik modal yang berorientasi pada recehan dan kekuasaan belaka.

Paradigma teori politik Barat menyatakan bahwa parameter negara demokratis salah satunya diukur dari perkaderan parpolnya. Jika parpolnya diisi orang jahat, calegnya tidak berkualitas, maka negara tersebut belum layak dan memenuhi standardisasi negara demokratis. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sudahkah menjadi negara demokrasi? Ataukah demokrasi yang berjalan masih setengah hati?

Kelemahan Demokrasi

Di alam demokrasi seperti ini, semua masyarakat memiliki hak politik sama. Artinya, tidak ada perbedaan dan sekat yang membatasi manusia untuk berpolitik dan menjadi caleg. Tidak pandang dia orang baik atau jahat, miskin atau kaya, bahkan orang gila juga bisa berpolitik. Inilah salah satu kelemahan demokrasi. Pasalnya, jika demikian yang terjadi, banyak orang jahat berpotensi mengisi posisi dan jabatan strategis di lembaga pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Jika posisi strategis diisi politisi jahat, maka rusaklah negeri ini.

Banyak kritikus demokrasi modern menjelaskan demokrasi bukanlah sistem jitu. Apalagi, parpol-parpol dihuni para penjahat yang kualitasnya rendah, intelektualnya biasa-biasa saja, sehingga produk kebijakan yang dilahirkan juga tidak revolusioner dan mampu mengeluarkan Indonesia dari berbagai macam komplikasi di berbagai hal.

Apalagi Indonesia adalah negara sangat besar dan ironis jika warga negara yang memiliki hak pilih didominasi mereka yang jahat. Pasalnya, sesungguhnya mereka tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai siapa saja yang dinominasikan menjadi calon pejabat oleh partai-partai dalam pemilu. Tidak sedikit juga yang memilih calon-calon tertentu berdasarkan sentimen atau emosi tertentu, baik yang bersifat jangka panjang maupun jangka pendek.

Cacat bawaan demokrasi juga terlihat pada pemimpin-pemimpin yang memiliki penyakit “mual” (mutu amat lemah). Mereka lahir dari parpol yang kurang selektif dalam melakukan perekrutan caleg maupun capres-cawapres. Ini tidak bisa dipungkiri, karena saat ini siapa saja yang memiliki modal banyak, mereka bisa menjadi politisi dan caleg.

Kealfaan Parpol

Hakikatnya, parpol menjadi penentu baik dan buruknya demokrasi, karena parpol menjadi elemen utama dalam melahirkan caleg-caleg berkualitas. Meskipun demokrasi membuka kebebasan untuk berpolitik, namun bukan berarti parpol asal-asalan merekrut caleg tanpa pertimbangan bibit, bebet dan bobot.

Parpol sebenarnya bukan sekadar organisasi politik, namun juga berfungsi sebagai organisasi perkaderan. Parpol sebagai organisasi kader diharapkan mampu menjadi “alat perjuangan” untuk mentransformasikan gagasan dan aksi terhadap rumusan visi misi sesuai ideologi parpol masing-masing.

Parpol harus menjadi platform yang jelas dalam menyusun agenda dengan mendekatkan diri kepada realitas masyarakat dan secara konsisten membangun proses dialetika secara objektif dalam pencapaian tujuaannya. Artinya, jangan sampai prinsip demokrasi disalahartikan dengan merekrut caleg abal-abal tanpa melakukan “reboisasi politik” dan menyiapkan calon pemimpin.

Parpol tidak boleh materialistis dan mengutamakan caleg bermodal, berlatarbelakang artis maupun model. Jangan sampai politisi baik dan berkualitas tidak diberi kesempatan parpol untuk menjadi caleg maupun capres hanya karena kekurangan modal uang. Hal ini menjadi dosa besar parpol, karena menjelang Pemilu 2014, banyak parpol melalukan perekrutan akbar dari kalangan artis, model, pengusaha untuk dijadikan caleg. 

Perbaikan Perekrutan

Caleg abal-abal harus dicegah kemunculannya. Hal itu bisa dilakukan parpol, dengan dibantu KPU dan Bawaslu untuk memutus embrio caleg abal-abal. Salah satu alternatifnya parpol harus melakukan perbaikan perekrutan kader.

Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary, AS Hornby menyatakan “Cadre is a small group of People who are specially chosen and trained for a particular purpose”. Artinya, kader adalah sekelompok orang yang terorganisasi secara terus-menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok lebih besar.

Dalam hal ini parpol harus memilih kader yang akan didesain menjadi caleg. Jauh-jauh hari, bahkan perlu bertahun-tahun parpol mengader politisi untuk menjadi caleg berkualitas dan baik moralnya. Jika hal ini dilakukan, maka tidak mungkin ada “caleg dadakan”. Karena caleg musiman adalah caleg abal-abal dan melukai hakikat demokrasi.

Che Guevara (1962) juga menyatakan bahwa kader adalah seorang yang memiliki disiplin ideologis dan administratif, yang mengetahui dan mempraktikkan sentralisme demokrasi. Kader seperti inilah yang harus dicalegkan, karena menurut Che Guevara, hanya kader sejati yang mampu melakukan revolusi.

Parpol wajib hukumnya merekrut politisi cersdas, baik, bahkan terbaik dan revolusioner. Dengan demikian, caleg yang dipentaskan dalam pemilu adalah caleg pilihan dan bermutu, sehingga ke depan rakyat akan mendapatkan pejabat-pejabat politik yang baik. Akan tetapi, jika blueprint seperti ini tidak dijalankan, bisa saja yang terpilih kemudian adalah caleg buruk di antara yang terburuk, atau bahkan yang terburuk. Maukah kita memiliki wakil rakyat buruk? Tentu tidak.

Politisi yang diperlukan saat ini ialah mereka yang memiliki daya tahan terkuat untuk mengisi struktur-struktur yang korup. Mereka harus menjadi ibarat emas yang berada di dalam comberan yang kotor tetapi tidak turut menjadi kotor. Dalam sistem yang korup sekalipun, politisi baik harus tetap bertahan. Indonesia sangat membutuhkan caleg-caleg baik yang siap menjadi mercusuar perubahan bagi masyarakat.

Selain itu, KPU sebagai penyelenggara pemilu juga berperan strategis mencegah munculnya caleg abal-abal. Pasalnya, undang-undang telah mengatur persyaratan bagi setiap warga negara yang ingin menjadi caleg baik di DPR, DPD, maupun DPRD. Persyaratan itu diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perakilan Rakyat Daerah (DPRD).
KPU harus menambahkan syarat khusus yang mampu menunjukkan integritas caleg, bukan sekadar syarat administratif yang terkesan formalistik simbolis. Dengan demikian, caleg abal-abal akan terputus embrionya.

-Dimuat di Koran Pagi Wawasan, Senin 24 Februari 2014.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Mencegah Caleg “Abal-abal” Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda