Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Monday 10 February 2014

Dekonstruksi Makna Valentine




Oleh Hamidulloh Ibda
Pegiat Filologi pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang,
Penulis Buku “Stop Pacaran, Ayo Nikah!”

Sejak usia SMA sekitar tahun 2005, penulis sering mendengar kata “Valentine” atau Valentine’s Day. Idiom ini unik dan sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia khususnya para pemuda, karena setiap tanggal 14 Februari digelar perayaan Valentine. Pada bulan Februari identik dengan warna pink, boneka, cokelat, pernak-pernik, kado dan sebagainya. Entah apa tujuan dan substansinya, banyak pemuda memeringati budaya ini dengan bahagia.

Kebanyakan para pemuda meluapkan ekspresi kasih sayang dengan kekasihnya pada perayaan Valentine. Menurut mereka, hari Valentine menjadi simbol dan ekspresi tersendiri untuk mengungkapkan kasih kepada orang-orang spesial. Memang benar, saat ini masyarakat sedang didera patologi, anomali dan komplikasi luar biasa di segala hal, salah satunya adalah budaya Velantine. Dalam bahasa Jawa disebut “anut grubyuk ora reti rembuk”. Lalu, bagaimana makna, substansi dan hukum merayakan hari Valentine? Mari kita kaji lebih dalam epistemologinya.

Geneologi Valentine

Dari beberapa buku dan artikel di internet, secara sederhana penulis menyimpulkan  Valentine sebagai “hari kasih sayang” yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari mulai 14 Februari 496 hingga tahun 2014 ini. Sebenarnya budaya ini murni bukan asli Indonesia, namun karena perkembangan zaman, maka di pelosok desa saat ini banyak pemuda sudah ikut merayakan Valentine.

Dalam keterangan lain, Valentine berasal dari kisah seorang anak manusia bernama Valentine. Ia merupakan seorang pemuka Katolik yang dianggap suci (Santo). Ia pernah menentang kebijakan rajanya, Claudius II (268 - 270 M) yang mempunyai kebijakan melarang para prajuritnya untuk menikah. Menurut Raja Claudius II ini, dengan tidak menikah akan membuat prajurit-prajuritnya tetap tangguh dan kuat, memiliki semangat perang yang tinggi, agresif dan berpotensi menang. Mereka dilarang memiliki perasaan cinta karena dikhawatirkan akan membuat mereka lemah tak berdaya, sehingga akan kalah saat berperang.

Namun Santo Valentine menentang keras kebijakan ini. Menurutnya, mengungkung perasaan cinta anak manusia mustahil untuk dilakukan. Dia menyusup dan memengaruhi para pemuda, kemudian menikahkan mereka. Namun aksinya diketahui Raja, kemudian dalam beberapa hari ia dipenjara. Dalam penjara ia berkenalan dengan seorang gadis, mereka saling jatuh cinta. Setelah itu ia pun dibunuh Raja meskipun ia ditulis sebuah surat cinta kepada gadis itu.

Setelah kematian Valentine, pada setiap tahun pengikutnya mengenang kematiannya. Mereka membuat semacam hari bercinta atau hari berkasih sayang. Upacara ini terus dilakukan, pesta-pesta didesain menarik. Bahkan pasangan yang sudah cerai/putus bisa kembali lagi, mereka yang masih awam diajari dan menjadi paham makna hari Valentine, yang diekspresikan sebagai hari cinta itu.  Sampai pergantian Raja, Paus Galasius pada 496 Masehi meresmikan 14 Februari 496 sebagai hari Valentine. Maka hari Valentine ini dirayakan untuk memperingati hari kematian seorang anak manusia yang mabuk wanita, sehinga mengorbankan nyawanya demi cinta dan kasih sayang.

Geneologi berikutnya, bangsa Romawi kuno pada 14 Februari membuat upacara perayaan untuk memperingati Dewi Juno, dalam acara itu dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Nama gadis ditulis di kertas kemudian dimasukkan ke dalam botol. Setelah itu datang laki-laki mengambil kertas yang telah bertuliskan nama itu. Setiap laki-laki akan memperoleh gadis undian itu. Setelah terpilih sebagai pasangan mereka akan dinikahkan.

Kini hari Valentine ini menjadi trend, gaya hidup ala Barat. Mereka berpestapora pada hari itu, sikap hedonisme dan minum-minuman keras serta free sex mewabah seperti virus yang cepat sekali menyebar. Valentine telah menjadi bentuk pesta hura-hura dan simbol modernitas. Barat juga mengampanyekan melalui media-media kecanggihan teknologi kepada seluruh umat manusia di muka bumi.

Mereka menciptakan pembaruan melalui slogan-slogan, film, karya sastra, drama cinta untuk mempengaruhi umat manusia, budaya dan agama. Mereka mendapat keuntungan yang banyak, industri-industri perfilman mereka sangat laku di pasaran, menciptakan kado-kado special hari Valentine. Banyak perusahaan mendapat laba atas hari Valentine itu. Valentine telah tersinkretisasi dalam peradaban Barat.

Hari ini ada jargon, kolot, kuno, primitif, tidak gaul, terhadap orang yang tidak melakukan dan mengucapkan selamat hari Valentine. Yang melakukannya pun merasa bangga, dikenal ikut modernisasi, tidak ketinggalan zaman. Padahal setelah kita kaji sejarahnya hari itu hanya untuk mengenang seorang yang bernasib sial dalam hidupnya.

Dengan demikian, merayakan Valentine atau tidak adalah “keputusan pribadi”. Karena hakikat bercinta itu sepanjang zaman dan tidak terbatas ruang dan waktu. Maka apakah Anda tetap merayakan Valentine?

Dekonstruksi

Sebenarnya ada cacat psikologis dalam geneologi Valentine. Karena hal ini dirayakan untuk mengenang orang yang bunuh diri demi cinta. Banyak orang beriman pada Valentine, tapi sebenarnya mereka tidak punya cinta dan kasih sayang. Mengapa? Sejatinya, Valentine bukan sekadar masalah percintaan, sebuah konsep cinta yang njlimet dan rumit, namun Valentine lebih menyeru pada kita untuk menjadi manusia yang sesungguhnya. Valentine merupakan ajaran kemanusiaan yang seharusnya mendarah daging dalam sejarah untuk memotivasi manusia melakukan kasih sayang kepada siapa saja, termasuk terhadap alam.

Di sisi lain, Valentine sebenarnya adalah metamorfosis bahasa dalam pikiran manusia. Inilah yang didefinisikan Muller bahwa agama, budaya dan tradisi bermula dari sebuah penyakit bahasa (disease of language) dan merupakan pencitraan manusia terhadap kekuatan alam di sekitarnya yang kemudian didesain dengan budaya-budaya.

Ya, karena kita gagal melakukan fitrah manusia sebagai manusia yang memiliki cinta dan kasih sayang, maka Valentine menjadi laku dan ditradisikan. Padahal, semua orang mengakui bahwa berkasih sayang bisa dilakukan kapan saja, di mana saja dan dengan siapa saja. Karena cinta dan mengasihi adalah fitrah manusia. Jika manusia tidak punya cinta, nampaknya dia “pura-pura menjadi manusia”.

Hakikat manusia adalah memanusiakan manusia dan melakukan kasih sayang kepada semua makhluk tanpa membedakan agama, ras, suku dan warna kulit. Jadi tanpa Valentine, sesungguhnya manusia diseru untuk melakukan kasih sayang.

Budaya Orang Kesurupan

Valentine adalah budaya “orang kesurupan”. Dalam hal ini, Ahmad Fauzi (2013) mendefinisikan orang kesurupan bukanlah dimasuki roh-roh halus, melainkan hal itu adalah dinamika alam bawah sadar. Ia mengalami unconsciousness atau kehilangan kesadaran. Maksudnya, alam bawah sadarlah yang menguasai alam kesadaran manusia. Artinya, orang tanpa tahu epistemologi, filologi dan antropologi Valentine, namun mereka dengan gagah merayakan Valentine. Ini bukti bahwa saat ini masyarakat mengalami patologi luar biasa di berbagai bidang.

Akal sehat dalam hal ini berbeda dengan istilah teknis “akal”. Akal sehat sering disebut common sense, karena ia dibentuk dari internalisasi terhadap nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat, sehingga dalam Psikodinamika Freud, akal sehat dapat disamakan dengan “superego”. Hal ini berbeda dengan terminologi “akal” yang penulis maksud adalah kesadaran (consciousness).

Maka sesugguhnya, orang yang merayakan Valentine adalah bukti orang yang kehilangan akal. Merayakan Valentine berarti mengkhianati hakikat nilai dan akal sehat. Apalagi, perayaan Valentine ditujukan untuk memeringati hari kematian seorang anak manusia yang mabuk wanita, sehinga mengorbankan nyawanya demi cinta dan kasih sayang. Apakah hakikat cinta menyeru kepada perilaku tolol seperti bunuh diri? Tentu tidak. Jika kita merayakan Valentine, berarti sama saja kita ikut konyol dan mabuk kesurupan.

Mengapa Valentine adalah budaya orang kesurupan? Secara logis, mana ada orang waras yang bunuh diri hanya karena cinta. Hal itu justru membuktikan cinta buta, padahal cinta itu mampu menunjukkan hitam dan putihnya sesuatu. Ini justru melukai substansi cinta itu sendiri. Karena cinta itu melahirkan kekuatan, ketulusan dan menegakkan akal sehat, dan hanya orang tidak berakal atau kesurupan yang melakukan bunuh diri. Lalu, apakah Anda tetap merayakan Valentine? Anda punya pilihan!

-Tulisan ini dimuat Koran Barometer, Senin 10 Februari 2014. Judul asli Dekonstruksi Makna Valentine
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

1 komentar:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Item Reviewed: Dekonstruksi Makna Valentine Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda