Oleh
Hamidulloh Ibda
Pegiat
Filologi pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang,
Penulis
Buku “Stop Pacaran, Ayo Nikah!”
Sejak
usia SMA sekitar tahun 2005, penulis sering mendengar kata “Valentine” atau Valentine’s
Day. Idiom ini unik dan sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia khususnya
para pemuda, karena setiap tanggal 14 Februari digelar perayaan Valentine. Pada
bulan Februari identik dengan warna pink, boneka, cokelat, pernak-pernik, kado
dan sebagainya. Entah apa tujuan dan substansinya, banyak pemuda memeringati
budaya ini dengan bahagia.
Kebanyakan
para pemuda meluapkan ekspresi kasih sayang dengan kekasihnya pada perayaan
Valentine. Menurut mereka, hari Valentine menjadi simbol dan ekspresi
tersendiri untuk mengungkapkan kasih kepada orang-orang spesial. Memang benar,
saat ini masyarakat sedang didera patologi, anomali dan komplikasi luar biasa
di segala hal, salah satunya adalah budaya Velantine. Dalam bahasa Jawa disebut
“anut grubyuk ora reti rembuk”. Lalu, bagaimana makna, substansi dan
hukum merayakan hari Valentine? Mari kita kaji lebih dalam epistemologinya.
Geneologi
Valentine
Dari
beberapa buku dan artikel di internet, secara sederhana penulis
menyimpulkan Valentine sebagai “hari
kasih sayang” yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari mulai 14 Februari 496
hingga tahun 2014 ini. Sebenarnya budaya ini murni bukan asli Indonesia, namun
karena perkembangan zaman, maka di pelosok desa saat ini banyak pemuda sudah
ikut merayakan Valentine.
Dalam
keterangan lain, Valentine berasal dari kisah seorang anak manusia bernama
Valentine. Ia merupakan seorang pemuka Katolik yang dianggap suci (Santo). Ia
pernah menentang kebijakan rajanya, Claudius II (268 - 270 M) yang mempunyai
kebijakan melarang para prajuritnya untuk menikah. Menurut Raja Claudius II
ini, dengan tidak menikah akan membuat prajurit-prajuritnya tetap tangguh dan
kuat, memiliki semangat perang yang tinggi, agresif dan berpotensi menang. Mereka
dilarang memiliki perasaan cinta karena dikhawatirkan akan membuat mereka lemah
tak berdaya, sehingga akan kalah saat berperang.
Namun
Santo Valentine menentang keras kebijakan ini. Menurutnya, mengungkung perasaan
cinta anak manusia mustahil untuk dilakukan. Dia menyusup dan memengaruhi para
pemuda, kemudian menikahkan mereka. Namun aksinya diketahui Raja, kemudian
dalam beberapa hari ia dipenjara. Dalam penjara ia berkenalan dengan seorang
gadis, mereka saling jatuh cinta. Setelah itu ia pun dibunuh Raja meskipun ia
ditulis sebuah surat cinta kepada gadis itu.
Setelah
kematian Valentine, pada setiap tahun pengikutnya mengenang kematiannya. Mereka
membuat semacam hari bercinta atau hari berkasih sayang. Upacara ini terus
dilakukan, pesta-pesta didesain menarik. Bahkan pasangan yang sudah cerai/putus
bisa kembali lagi, mereka yang masih awam diajari dan menjadi paham makna hari
Valentine, yang diekspresikan sebagai hari cinta itu. Sampai pergantian Raja, Paus Galasius pada
496 Masehi meresmikan 14 Februari 496 sebagai hari Valentine. Maka hari
Valentine ini dirayakan untuk memperingati hari kematian seorang anak manusia
yang mabuk wanita, sehinga mengorbankan nyawanya demi cinta dan kasih sayang.
Geneologi
berikutnya, bangsa Romawi kuno pada 14 Februari membuat upacara perayaan untuk
memperingati Dewi Juno, dalam acara itu dipisahkan antara laki-laki dan
perempuan. Nama gadis ditulis di kertas kemudian dimasukkan ke dalam botol.
Setelah itu datang laki-laki mengambil kertas yang telah bertuliskan nama itu.
Setiap laki-laki akan memperoleh gadis undian itu. Setelah terpilih sebagai pasangan
mereka akan dinikahkan.
Kini
hari Valentine ini menjadi trend, gaya hidup ala Barat. Mereka berpestapora
pada hari itu, sikap hedonisme dan minum-minuman keras serta free sex
mewabah seperti virus yang cepat sekali menyebar. Valentine telah menjadi
bentuk pesta hura-hura dan simbol modernitas. Barat juga mengampanyekan melalui
media-media kecanggihan teknologi kepada seluruh umat manusia di muka bumi.
Mereka
menciptakan pembaruan melalui slogan-slogan, film, karya sastra, drama cinta
untuk mempengaruhi umat manusia, budaya dan agama. Mereka mendapat keuntungan
yang banyak, industri-industri perfilman mereka sangat laku di pasaran,
menciptakan kado-kado special hari Valentine. Banyak perusahaan mendapat laba
atas hari Valentine itu. Valentine telah tersinkretisasi dalam peradaban Barat.
Hari
ini ada jargon, kolot, kuno, primitif, tidak gaul, terhadap orang yang tidak
melakukan dan mengucapkan selamat hari Valentine. Yang melakukannya pun merasa
bangga, dikenal ikut modernisasi, tidak ketinggalan zaman. Padahal setelah kita
kaji sejarahnya hari itu hanya untuk mengenang seorang yang bernasib sial dalam
hidupnya.
Dengan
demikian, merayakan Valentine atau tidak adalah “keputusan pribadi”. Karena
hakikat bercinta itu sepanjang zaman dan tidak terbatas ruang dan waktu. Maka apakah
Anda tetap merayakan Valentine?
Dekonstruksi
Sebenarnya
ada cacat psikologis dalam geneologi Valentine. Karena hal ini dirayakan untuk
mengenang orang yang bunuh diri demi cinta. Banyak orang beriman pada
Valentine, tapi sebenarnya mereka tidak punya cinta dan kasih sayang. Mengapa?
Sejatinya, Valentine bukan sekadar masalah percintaan, sebuah konsep cinta yang
njlimet dan rumit, namun Valentine lebih menyeru pada kita untuk menjadi
manusia yang sesungguhnya. Valentine merupakan ajaran kemanusiaan yang
seharusnya mendarah daging dalam sejarah untuk memotivasi manusia melakukan
kasih sayang kepada siapa saja, termasuk terhadap alam.
Di
sisi lain, Valentine sebenarnya adalah metamorfosis bahasa dalam pikiran
manusia. Inilah yang didefinisikan Muller bahwa agama, budaya dan tradisi
bermula dari sebuah penyakit bahasa (disease of language) dan merupakan
pencitraan manusia terhadap kekuatan alam di sekitarnya yang kemudian didesain
dengan budaya-budaya.
Ya,
karena kita gagal melakukan fitrah manusia sebagai manusia yang memiliki cinta
dan kasih sayang, maka Valentine menjadi laku dan ditradisikan. Padahal, semua
orang mengakui bahwa berkasih sayang bisa dilakukan kapan saja, di mana saja
dan dengan siapa saja. Karena cinta dan mengasihi adalah fitrah manusia. Jika
manusia tidak punya cinta, nampaknya dia “pura-pura menjadi manusia”.
Hakikat
manusia adalah memanusiakan manusia dan melakukan kasih sayang kepada semua
makhluk tanpa membedakan agama, ras, suku dan warna kulit. Jadi tanpa
Valentine, sesungguhnya manusia diseru untuk melakukan kasih sayang.
Budaya
Orang Kesurupan
Valentine
adalah budaya “orang kesurupan”. Dalam hal ini, Ahmad Fauzi (2013)
mendefinisikan orang kesurupan bukanlah dimasuki roh-roh halus, melainkan hal
itu adalah dinamika alam bawah sadar. Ia mengalami unconsciousness atau
kehilangan kesadaran. Maksudnya, alam bawah sadarlah yang menguasai alam
kesadaran manusia. Artinya, orang tanpa tahu epistemologi, filologi dan
antropologi Valentine, namun mereka dengan gagah merayakan Valentine. Ini bukti
bahwa saat ini masyarakat mengalami patologi luar biasa di berbagai bidang.
Akal
sehat dalam hal ini berbeda dengan istilah teknis “akal”. Akal sehat sering
disebut common sense, karena ia dibentuk dari internalisasi terhadap
nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat, sehingga dalam Psikodinamika
Freud, akal sehat dapat disamakan dengan “superego”. Hal ini berbeda dengan
terminologi “akal” yang penulis maksud adalah kesadaran (consciousness).
Maka
sesugguhnya, orang yang merayakan Valentine adalah bukti orang yang kehilangan
akal. Merayakan Valentine berarti mengkhianati hakikat nilai dan akal sehat.
Apalagi, perayaan Valentine ditujukan untuk memeringati hari kematian seorang
anak manusia yang mabuk wanita, sehinga mengorbankan nyawanya demi cinta dan
kasih sayang. Apakah hakikat cinta menyeru kepada perilaku tolol seperti bunuh
diri? Tentu tidak. Jika kita merayakan Valentine, berarti sama saja kita ikut
konyol dan mabuk kesurupan.
Mengapa
Valentine adalah budaya orang kesurupan? Secara logis, mana ada orang waras
yang bunuh diri hanya karena cinta. Hal itu justru membuktikan cinta buta,
padahal cinta itu mampu menunjukkan hitam dan putihnya sesuatu. Ini justru
melukai substansi cinta itu sendiri. Karena cinta itu melahirkan kekuatan,
ketulusan dan menegakkan akal sehat, dan hanya orang tidak berakal atau
kesurupan yang melakukan bunuh diri. Lalu, apakah Anda tetap merayakan Valentine?
Anda punya pilihan!
-Tulisan
ini dimuat Koran Barometer, Senin 10 Februari 2014. Judul asli Dekonstruksi Makna Valentine
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete