Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday 20 February 2014

Ironi Kejahatan Intelektual Mahasiswa




Oleh Hamidulloh Ibda
Mahasiswa Program Pascasarjana Unnes,
Direktur Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah


Jika dihimpun, kejahatan intelektual yang dilakukan mahasiswa saat ini sangat kompleks dan memprihatinkan. Padahal, mahasiswa merupakan kaum intelektual yang menjadi contoh pemuda di negeri ini. Mahasiswa diharapkan mampu merubah kondisi bangsa. Namun, bagaimana jika mereka melakukan kejahatan intelektual? Tentu semrawut.

Mahasiswa bukan hanya penerus bangsa, namun mereka menjadi “penentu” nasib bangsa. Jika kondisi pemuda saat ini baik, maka bisa dikatakan masa depan bangsa ini baik, begitu pula sebaliknya.

Kejahatan Intelektual

Secara sederhana, kejahatan intelektual merupakan perbuatan negatif mahasiswa yang merusak kampus. Misalnya, mencontek, berbohong, korupsi, pemalsuan, plagiasi, dan sebagainya. Bahkan, kejahatan itu dilakukan sejak awal masuk kampus hingga menjadi sarjana.

Bayangkan saja, pada saat pendaftaran masuk kampus, banyak sekali dosa besar dilakukan. Mulai dari pemalsuan nilai raport, ujian, sertifikat abal-abal, dan dokumen lainnya.

Setelah memalsukan syarat, ulah jahat mereka juga tak kendor. Bahkan, semakin merajalela. Seperti yang diberitakan di media massa beberapa waktu lalu, banyak mahasiswa “menyewa joki” untuk mengerjakan soal ujian tes masuk kampus. Hal ini terjadi hampir seluruh kampus di negeri ini.

Setelah diterima di kampus, bukannya tobat dan membenahi moral, namun yang terjadi justru sebaliknya. Bayangkan saja, setiap kali ada pendaftaran beasiswa, banyak sekali kejahatan mahasiswa. Ironisnya, hampir semua syarat pendaftaran beasiswa dipalsukan. Mulai dari surat keterangan berprestasi, berorganisasi, piagam-piagam, hampir semuanya abal-abal.

Apalagi, saat ini ada syarat surat keterangan tanda miskin (SKTM). Secara logika, tidak mungkin dalam waktu singkat mahasiswa bisa memiliki SKTM. Bagi yang rumahnya di luar kota/provinsi, mereka malas pulang dan meminta SKTM di kelurahan setempat. Yang terjadi, dengan mudahnya mereka membeli stampel dan memalsukan surat tersebut.

Selain itu, saat mereka menulis makalah atau tugas kuliah juga demikian. Tak segan-segan mereka menjiplak habis karya orang lain. Apalagi, dipermudah dengan teknologi canggih, dan hampir seluruh mahasiswa saat ini memiliki modem. Maka, referensi yang ada hanya jiplakan dari internet, bukan dari sumber buku yang asli.

Saat mengerjakan ujian semester, praktek “contek massal” juga terjadi. Apalagi, saat ini semua mahasiswa punya ponsel canggih. Jadi, ketika mengerjakan soal tes, mereka leluasa membuka “google” untuk mencari jawaban dari soal tes. Apalagi, pihak kampus juga tak ketat mengawasi mereka.

Pada saat menyusun skripsi juga terjadi praktek “pembelian skripsi”. Sungguh ironis. Jika skripsi saja abal-abal, lalu bagaimana dengan kualitas sarjana dari kampus tersebut? Tentu meragukan. Itulah beberapa kejahatan yang saat ini terjadi di kampus.

Pergeseran

Kejahatan di atas merupakan bukti gagalnya pendidikan karakter dan hilangnya budaya jujur di kalangan mahasiswa. Padahal, insan akademis harus berkarakter dan jujur, bukan melakukan kejahatan.

M Abdullah Badri (2012) dalam bukunya berjudul “Kritik Tanpa Solusi” pernah menghimpun dosa besar mahasiswa. Mulai dari tak suka membaca, enggan berdiskusi, malas bersosialisasi dan menulis. Namun, menurut hemat penulis, dosa besar dalam buku itu masih simpel dan sederhana. Pasalnya, saat ini budaya mahasiswa mengalami pergeseran.

Yang terjadi saat ini budaya praktis dan instan. Budaya jujur sudah tergerus arus globalisasi dan hedonisme. Di malam hari, mahasiswa tak menghabiskan waktu untuk diskusi, baca buku, dan belajar. Namun, yang terjadi adalah begadang larut malam di “nasi kucing”, tongkrongan, futsall, pacaran, dan kegiatan kurang bermanfaat lainnya.

Maka, tak ayal ketika mengerjakan tugas kampus, mereka “kelabakan”. Yang sering terjadi adalah sistem kebut semalam (SKS). Dan hampir seluruh tugas itu hasil plagiasi. Sungguh ironis. Padahal, kejujuran bagi mahasiswa merupakan keniscayaan.

Pembenahan

Kejahatan intelektual mahasiswa harus dibenahi. Pertama, perlunya kesadaran dan kejujuran mahasiswa, karena hal itu menjadi “akar permasalahan”. Jika mahasiswa jujur, penulis yakin tak ada plagiasi, penipuan, dan contek massal. Kejujuran itu meliputi jujur kepada diri sendiri, kepada orang tua, dosen, dan kepada Tuhan.

Kedua, perlu keteladanan dari dosen. Pasalnya, selama ini banyak dosen hanya “mengajar” dan menyampaikan materi kuliah saja, mereka belum mampu “mendidik” mahasiswa menjadi manusia bermoral.

Ketiga, perlunya aturan dan tindakan tegas dari kampus. Artinya, kampus harus menindak tegas siapa saja yang terbukti melakukan kejahatan intelektual. Bahkan jika perlu, kampus harus menindak secara hukum, jika kejahatan itu melebihi batas.

Yang jelas, mahasiswa harus sadar akan posisi dan tanggung jawab mereka. Sejak dini, kejujuran harus ditanamkan dalam sanubari. Yang perlu kita pertanyakan, jika masih mahasiswa sudah berbohong, korupsi, mencontek, lalu bagaimana nanti jika menjadi pejabat?

-Tulisan ini dimuat di Koran Barometer, Sabtu 15 Februari 2014.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Ironi Kejahatan Intelektual Mahasiswa Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda