Oleh Hamidulloh Ibda
Mahasiswa Program Pascasarjana Unnes,
Direktur Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa
Tengah
Jika dihimpun, kejahatan intelektual yang dilakukan mahasiswa saat
ini sangat kompleks dan memprihatinkan. Padahal, mahasiswa merupakan kaum
intelektual yang menjadi contoh pemuda di negeri ini. Mahasiswa diharapkan
mampu merubah kondisi bangsa. Namun, bagaimana jika mereka melakukan kejahatan
intelektual? Tentu semrawut.
Mahasiswa bukan hanya penerus bangsa,
namun mereka menjadi “penentu” nasib bangsa. Jika kondisi pemuda saat ini baik,
maka bisa dikatakan masa depan bangsa ini baik, begitu pula sebaliknya.
Kejahatan Intelektual
Secara sederhana, kejahatan intelektual merupakan perbuatan
negatif mahasiswa yang merusak kampus. Misalnya, mencontek, berbohong, korupsi,
pemalsuan, plagiasi, dan sebagainya. Bahkan, kejahatan itu dilakukan sejak awal
masuk kampus hingga menjadi sarjana.
Bayangkan saja, pada saat pendaftaran masuk kampus, banyak sekali
dosa besar dilakukan. Mulai dari pemalsuan nilai raport, ujian, sertifikat
abal-abal, dan dokumen lainnya.
Setelah memalsukan syarat, ulah jahat mereka juga tak kendor.
Bahkan, semakin merajalela. Seperti yang diberitakan di media massa beberapa
waktu lalu, banyak mahasiswa “menyewa joki” untuk mengerjakan soal ujian tes
masuk kampus. Hal ini terjadi hampir seluruh kampus di negeri ini.
Setelah diterima di kampus, bukannya tobat dan membenahi moral,
namun yang terjadi justru sebaliknya. Bayangkan saja, setiap kali ada
pendaftaran beasiswa, banyak sekali kejahatan mahasiswa. Ironisnya, hampir
semua syarat pendaftaran beasiswa dipalsukan. Mulai dari surat keterangan
berprestasi, berorganisasi, piagam-piagam, hampir semuanya abal-abal.
Apalagi, saat ini ada syarat surat keterangan tanda miskin (SKTM).
Secara logika, tidak mungkin dalam waktu singkat mahasiswa bisa memiliki SKTM.
Bagi yang rumahnya di luar kota/provinsi, mereka malas pulang dan meminta SKTM
di kelurahan setempat. Yang terjadi, dengan mudahnya mereka membeli stampel dan
memalsukan surat tersebut.
Selain itu, saat mereka menulis makalah atau tugas kuliah juga
demikian. Tak segan-segan mereka menjiplak habis karya orang lain. Apalagi,
dipermudah dengan teknologi canggih, dan hampir seluruh mahasiswa saat ini
memiliki modem. Maka, referensi yang ada hanya jiplakan dari internet, bukan
dari sumber buku yang asli.
Saat mengerjakan ujian semester, praktek “contek massal” juga
terjadi. Apalagi, saat ini semua mahasiswa punya ponsel canggih. Jadi, ketika mengerjakan
soal tes, mereka leluasa membuka “google” untuk mencari jawaban dari soal tes.
Apalagi, pihak kampus juga tak ketat mengawasi mereka.
Pada saat menyusun skripsi juga terjadi praktek “pembelian skripsi”.
Sungguh ironis. Jika skripsi saja abal-abal, lalu bagaimana dengan kualitas
sarjana dari kampus tersebut? Tentu meragukan. Itulah beberapa kejahatan yang
saat ini terjadi di kampus.
Pergeseran
Kejahatan di atas merupakan bukti gagalnya pendidikan karakter dan
hilangnya budaya jujur di kalangan mahasiswa. Padahal, insan akademis harus
berkarakter dan jujur, bukan melakukan kejahatan.
M Abdullah Badri (2012) dalam bukunya berjudul “Kritik
Tanpa Solusi” pernah menghimpun dosa besar mahasiswa. Mulai dari
tak suka membaca, enggan berdiskusi, malas bersosialisasi dan menulis. Namun,
menurut hemat penulis, dosa besar dalam buku itu masih simpel dan sederhana.
Pasalnya, saat ini budaya mahasiswa mengalami pergeseran.
Yang terjadi saat ini budaya praktis dan instan. Budaya jujur
sudah tergerus arus globalisasi dan hedonisme. Di malam hari, mahasiswa tak
menghabiskan waktu untuk diskusi, baca buku, dan belajar. Namun, yang terjadi
adalah begadang larut malam di “nasi kucing”, tongkrongan, futsall, pacaran, dan
kegiatan kurang bermanfaat lainnya.
Maka, tak ayal ketika mengerjakan tugas kampus, mereka
“kelabakan”. Yang sering terjadi adalah sistem kebut semalam (SKS). Dan hampir
seluruh tugas itu hasil plagiasi. Sungguh ironis. Padahal, kejujuran bagi
mahasiswa merupakan keniscayaan.
Pembenahan
Kejahatan intelektual mahasiswa harus dibenahi. Pertama, perlunya
kesadaran dan kejujuran mahasiswa, karena hal itu menjadi “akar permasalahan”.
Jika mahasiswa jujur, penulis yakin tak ada plagiasi, penipuan, dan contek
massal. Kejujuran itu meliputi jujur kepada diri sendiri, kepada orang tua,
dosen, dan kepada Tuhan.
Kedua, perlu keteladanan dari dosen. Pasalnya, selama ini banyak
dosen hanya “mengajar” dan menyampaikan materi kuliah saja, mereka belum mampu
“mendidik” mahasiswa menjadi manusia bermoral.
Ketiga, perlunya aturan dan tindakan tegas dari kampus. Artinya,
kampus harus menindak tegas siapa saja yang terbukti melakukan kejahatan
intelektual. Bahkan jika perlu, kampus harus menindak secara hukum, jika
kejahatan itu melebihi batas.
Yang jelas, mahasiswa harus sadar akan posisi dan tanggung jawab
mereka. Sejak dini, kejujuran harus ditanamkan dalam sanubari. Yang perlu kita
pertanyakan, jika masih mahasiswa sudah berbohong, korupsi, mencontek, lalu
bagaimana nanti jika menjadi pejabat?
-Tulisan ini dimuat di Koran Barometer, Sabtu 15 Februari
2014.
0 komentar:
Post a Comment