Oleh Hamidulloh Ibda
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Sisem demokrasi Indonesia sejak era Reformasi 1998 belum berjalan ideal. Demokrasi negeri ini masih menyuburkan kolonialisme. Warisan kolonial masih melekat di jiwa manusia dan alam politik Indonesia, terutama pada level pejabat dan wakil rakyat. Akibatnya, kemunduran bahkan kehancuran demokrasi makin tampak. Meskipun demokrasi hanya sebagai alat dan metode, jika dirohi manusia kolonial, buah demokrasi tersebut menjadi kolonial.
Demokrasi kolonial melahirkan mental kolonial buruk. Warisan kolonial terbagi atas unsur material dan imaterial termasuk budaya, karakter, agama, kurikulum, tradisi, politik, dan sistem demokrasi di Indonesia (Beyond Colonialism, 2014: 37). Kebodohan, kemiskinan, kebergantungan, kesenjangan, semuanya muncul karena kolonialisme. Dengan demikian, masa lalu kolonialisme adalah racun yang menjadi embrio sakit lahir dan batin pada masyarakat Indonesia.
Resep penyembuhannya harus dibuat dengan cara menolaknya dan menerapkan demokrasi kearifan lokal. Perlu revolusi mental pejabat dan hibridasi politik Indonesia. Ini menjadi penting karena kolonialisme adalah perbudakaan yang hanya memperbudak rakyat di negeri sendiri.
Akibat sirkulasi negara pascakolonial, perbudakan selalu melahirkan kemiskinan mental, karakter, sistem, dan tata nilai. Kita tentu bisa lihat, para wakil rakyat saat ini miskin mental dan karakter. Mereka tidak memberi contoh yang baik pada rakyat. Mereka selalu menyuguhkan citra buruk.
Salah satu ciri demokrasi kolonial adalah menyuburkan mental inlander, miopik, dan individualis. George Mc Turnan Kahin (2013) menyatakan warisan kolonial yang tumbuh subur di Indonesia adalah otoriter, praktik ekonomi-politik individual, menguatnya feodalisme keningratan, kehilangan orientasi, lalim, melawan rakyat, serta KKN.
Hal itu lahir dari pejabat dan wakil rakyat yang kolonial pula. Padahal Indonesia memiliki sistem demokrasi Pancasila yang hebat dan memanusiakan. Edward Said (1979) menjelaskan kolonialisasi adalah contoh paling nyata kemunduran harga diri bangsa timur. Demokrasi Indonesia merupakan lahan subur berkembangnya mental kolonial, terutama di lingkup wakil rakyat.
Dari keseluruhan proses yang telah dijalani dalam sistem demokrasi Indonesia, baru Pileg dan Pilpres 2014 yang menjadi sorotan besar publik domestik maupun luar negeri. Lebih parah lagi, anggota DPR dan DPD periode 2014-2019 yang baru dilantik mencontohkan karakter kolonial dan memalukan.
Bopeng
Wakil rakyat tak bisa lagi menjadi contoh masyarakat. Wajah parlemen sudah bopeng. Wajah baru parlemen sekarang akan memperparah kebopengan itu. Citra wakil rakyat makin terpuruk. Mereka tak akan mampu mengembalikan kepercayaan publik yang telanjur menyusut. Citra tidak membaik, malah sebaliknya. Semua itu tidak lain karena sistem demokrasi Indonesai masih menyuburkan kolonialisme.
Tantangan utama DPR ke depan harus bekerja keras mengembalikan kepercayaan publik. Namun semua itu dinodai proses pemilihan pimpinan DPR yang ricuh dan kental dengan kepentingan kelompok tertentu. Ironisnya, praktik transaksional masih terjadi di DPR. Hal itu merupakan paket pimpinan DPR yang disikat habis Koalisi Merah Putih (KMP). Dari lima kursi pimpinan, hanya satu kursi yang diduduki oleh politisi di luar KMP dari Fraksi Partai Demokrat.
Jika awal pemilihan pimpinan parlemen transaksional, publik pasti menilai wajah DPR tidak berubah. Keputusan-keputusan yang diambil DPR periode ini akan dikeluarkan berdasarkan faktor untung-rugi kelompok dan partai tertentu. Hal itu merupakan budaya politik kolonial yang harus dihentikan.
Indonesia sebenarnya memiliki kearifan politik dan demokrasi begitu besar. Namun, karena pejabatnya dan wakil rakyatnya bermental kolonial, mereka mengalami kegersangan rohani politik. Negara ini memiliki contoh orang-orang hebat dan berkarakter seperti Soekarno, Moh Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Muhamad Natsir, Wahid Hasyim, dan Ki Hadjar Dewantara. Maka, tidak masuk akal jika pejabat negara ini bermental kolonial.
Logika yang berjalan dalam demokrasi saat ini adalah untung rugi, kalah menang pribadi dan kelompok. Karakter mereka, menurut Yudi Latif (2014) belum bisa menjadi “teladan” bagi masyarakat. Muatan politik balas dendam dalam eskalasi politik 2014-2019 diprediksi makin berkecamuk. Ditambah kondisi DPR yang labil dan tidak menjadi kutub kemajuan legislasi dan demokrasi.
Soekarno pernah berpesan siapa saja yang duduk di kursi pemerintahan harus memiliki karakter bertanggung jawab. Ide pokoknya adalah kesatuan, persatuan serta kesadaran pembentukan identitas bangsa (nations and character building). Identitas bangsa harusnya toleran, demokratis, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat. Ini harus dimiliki pejabat.
Moh Hatta menjelaskan maju dan kemunduran negara ditentukan kekayaan alam, posisi internasional, dan kecakapan rakyatnya. Lalu, mengapa Indonesia masih berkembang? Ada satu syarat lagi, yaitu menolak warisan kolonial (Sritua Arif, 2006: 17). Jika ingin maju, demokrasi dan mental kolonial harus dikubur.
Pemenang dan oposisi, seharusnya sadar bahwa demokrasi dihadirkan untuk mendewasakan politik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. DPR seharusnya diisi orang-orang yang menjunjung tinggi cita-cita ideologi Pancasila dan ajaran trisakti. Sayang isi DPR hanya orang-orang yang mengutamakan kepentingan kelompok.
Praktik politik saat ini sangat tidak demokratis. Padahal syarat perubahan adalah politik yang demokratis. Rizal Ramli (2008) menjelaskan, perubahan untuk perbaikan nasib rakyat dan kejayaan Indonesia harus dilakukan dalam bingkai demokratis. Jadi yang diperlukan bukan pemerintahan kuat ala Orde Baru, tetapi efektif dalam konteks negara demokratis.
Praktik politik dan demokrasi harus berdaulat 100 persen. Secara normatif dan formal, Indonesia mengaku sebagai negara berdaulat, tetapi praktiknya hak-hak rakyat diinjak-injak. Tahun ini harus menjadi awal kebangkitan kedaulatan rakyat.
Agar bisa menjalankan tugas maksimal, asketisme harus dimiliki wakil rakyat. Mereka harus membuang hedonisme, karena bukan karakter Indonesia. Wakil rakyat di semua lingkup harus prokebenaran dan kepentingan rakyat, bukan demi individu dan partai.
Indonesia bisa jaya dengan merevolusi mental kolonial para wakil rakyat. Rakyat, pers, MK, dan KPK harus mendukung pemerintah untuk menghadapi dewan bila bermacam-macam. Semua dukungan itu harus suci dan lurus untuk mengawal pemerintahan Jokowi-JK. Bangsa ini yakin Indonesia bisa bangkit di tangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Tulisan ini dimuat Koran Jakarta, Rabu 8 Oktober 2014
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Sisem demokrasi Indonesia sejak era Reformasi 1998 belum berjalan ideal. Demokrasi negeri ini masih menyuburkan kolonialisme. Warisan kolonial masih melekat di jiwa manusia dan alam politik Indonesia, terutama pada level pejabat dan wakil rakyat. Akibatnya, kemunduran bahkan kehancuran demokrasi makin tampak. Meskipun demokrasi hanya sebagai alat dan metode, jika dirohi manusia kolonial, buah demokrasi tersebut menjadi kolonial.
Demokrasi kolonial melahirkan mental kolonial buruk. Warisan kolonial terbagi atas unsur material dan imaterial termasuk budaya, karakter, agama, kurikulum, tradisi, politik, dan sistem demokrasi di Indonesia (Beyond Colonialism, 2014: 37). Kebodohan, kemiskinan, kebergantungan, kesenjangan, semuanya muncul karena kolonialisme. Dengan demikian, masa lalu kolonialisme adalah racun yang menjadi embrio sakit lahir dan batin pada masyarakat Indonesia.
Resep penyembuhannya harus dibuat dengan cara menolaknya dan menerapkan demokrasi kearifan lokal. Perlu revolusi mental pejabat dan hibridasi politik Indonesia. Ini menjadi penting karena kolonialisme adalah perbudakaan yang hanya memperbudak rakyat di negeri sendiri.
Akibat sirkulasi negara pascakolonial, perbudakan selalu melahirkan kemiskinan mental, karakter, sistem, dan tata nilai. Kita tentu bisa lihat, para wakil rakyat saat ini miskin mental dan karakter. Mereka tidak memberi contoh yang baik pada rakyat. Mereka selalu menyuguhkan citra buruk.
Salah satu ciri demokrasi kolonial adalah menyuburkan mental inlander, miopik, dan individualis. George Mc Turnan Kahin (2013) menyatakan warisan kolonial yang tumbuh subur di Indonesia adalah otoriter, praktik ekonomi-politik individual, menguatnya feodalisme keningratan, kehilangan orientasi, lalim, melawan rakyat, serta KKN.
Hal itu lahir dari pejabat dan wakil rakyat yang kolonial pula. Padahal Indonesia memiliki sistem demokrasi Pancasila yang hebat dan memanusiakan. Edward Said (1979) menjelaskan kolonialisasi adalah contoh paling nyata kemunduran harga diri bangsa timur. Demokrasi Indonesia merupakan lahan subur berkembangnya mental kolonial, terutama di lingkup wakil rakyat.
Dari keseluruhan proses yang telah dijalani dalam sistem demokrasi Indonesia, baru Pileg dan Pilpres 2014 yang menjadi sorotan besar publik domestik maupun luar negeri. Lebih parah lagi, anggota DPR dan DPD periode 2014-2019 yang baru dilantik mencontohkan karakter kolonial dan memalukan.
Bopeng
Wakil rakyat tak bisa lagi menjadi contoh masyarakat. Wajah parlemen sudah bopeng. Wajah baru parlemen sekarang akan memperparah kebopengan itu. Citra wakil rakyat makin terpuruk. Mereka tak akan mampu mengembalikan kepercayaan publik yang telanjur menyusut. Citra tidak membaik, malah sebaliknya. Semua itu tidak lain karena sistem demokrasi Indonesai masih menyuburkan kolonialisme.
Tantangan utama DPR ke depan harus bekerja keras mengembalikan kepercayaan publik. Namun semua itu dinodai proses pemilihan pimpinan DPR yang ricuh dan kental dengan kepentingan kelompok tertentu. Ironisnya, praktik transaksional masih terjadi di DPR. Hal itu merupakan paket pimpinan DPR yang disikat habis Koalisi Merah Putih (KMP). Dari lima kursi pimpinan, hanya satu kursi yang diduduki oleh politisi di luar KMP dari Fraksi Partai Demokrat.
Jika awal pemilihan pimpinan parlemen transaksional, publik pasti menilai wajah DPR tidak berubah. Keputusan-keputusan yang diambil DPR periode ini akan dikeluarkan berdasarkan faktor untung-rugi kelompok dan partai tertentu. Hal itu merupakan budaya politik kolonial yang harus dihentikan.
Indonesia sebenarnya memiliki kearifan politik dan demokrasi begitu besar. Namun, karena pejabatnya dan wakil rakyatnya bermental kolonial, mereka mengalami kegersangan rohani politik. Negara ini memiliki contoh orang-orang hebat dan berkarakter seperti Soekarno, Moh Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Muhamad Natsir, Wahid Hasyim, dan Ki Hadjar Dewantara. Maka, tidak masuk akal jika pejabat negara ini bermental kolonial.
Logika yang berjalan dalam demokrasi saat ini adalah untung rugi, kalah menang pribadi dan kelompok. Karakter mereka, menurut Yudi Latif (2014) belum bisa menjadi “teladan” bagi masyarakat. Muatan politik balas dendam dalam eskalasi politik 2014-2019 diprediksi makin berkecamuk. Ditambah kondisi DPR yang labil dan tidak menjadi kutub kemajuan legislasi dan demokrasi.
Soekarno pernah berpesan siapa saja yang duduk di kursi pemerintahan harus memiliki karakter bertanggung jawab. Ide pokoknya adalah kesatuan, persatuan serta kesadaran pembentukan identitas bangsa (nations and character building). Identitas bangsa harusnya toleran, demokratis, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat. Ini harus dimiliki pejabat.
Moh Hatta menjelaskan maju dan kemunduran negara ditentukan kekayaan alam, posisi internasional, dan kecakapan rakyatnya. Lalu, mengapa Indonesia masih berkembang? Ada satu syarat lagi, yaitu menolak warisan kolonial (Sritua Arif, 2006: 17). Jika ingin maju, demokrasi dan mental kolonial harus dikubur.
Pemenang dan oposisi, seharusnya sadar bahwa demokrasi dihadirkan untuk mendewasakan politik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. DPR seharusnya diisi orang-orang yang menjunjung tinggi cita-cita ideologi Pancasila dan ajaran trisakti. Sayang isi DPR hanya orang-orang yang mengutamakan kepentingan kelompok.
Praktik politik saat ini sangat tidak demokratis. Padahal syarat perubahan adalah politik yang demokratis. Rizal Ramli (2008) menjelaskan, perubahan untuk perbaikan nasib rakyat dan kejayaan Indonesia harus dilakukan dalam bingkai demokratis. Jadi yang diperlukan bukan pemerintahan kuat ala Orde Baru, tetapi efektif dalam konteks negara demokratis.
Praktik politik dan demokrasi harus berdaulat 100 persen. Secara normatif dan formal, Indonesia mengaku sebagai negara berdaulat, tetapi praktiknya hak-hak rakyat diinjak-injak. Tahun ini harus menjadi awal kebangkitan kedaulatan rakyat.
Agar bisa menjalankan tugas maksimal, asketisme harus dimiliki wakil rakyat. Mereka harus membuang hedonisme, karena bukan karakter Indonesia. Wakil rakyat di semua lingkup harus prokebenaran dan kepentingan rakyat, bukan demi individu dan partai.
Indonesia bisa jaya dengan merevolusi mental kolonial para wakil rakyat. Rakyat, pers, MK, dan KPK harus mendukung pemerintah untuk menghadapi dewan bila bermacam-macam. Semua dukungan itu harus suci dan lurus untuk mengawal pemerintahan Jokowi-JK. Bangsa ini yakin Indonesia bisa bangkit di tangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Tulisan ini dimuat Koran Jakarta, Rabu 8 Oktober 2014
0 komentar:
Post a Comment