NAMA: Hamidulloh Ibda
NIM: 21706261003
KELAS: S3 DIKDAS A
Mata Kuliah: Filsafat Pendidikan Sekolah Dasar
Dosen: Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Judul Video: "Rembulan Kekalang" Kethoprak UNY dalam rangka Dies Ke-54
Sebagai salah satu universitas negeri di Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta berkomitmen menggaungkan budaya di ranah akademik. Seperti diketahui, ketoprak merupakan salah satu jenis seni pentas drama tradisional yang diyakini berasal dari Surakarta dan berkembang pesat di Yogyakarta, oleh karena itu kesenian ini sering disebut sebagai Ketoprak Mataram.
Dalam rangka merayakan Dies Natalis Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2018, UNY menggelar pertunjukan ketoprak yang mengangkat lakon “Rembulan Kekalang”. Dalam Bahasa Indonesia, Rembulan Kekalang berarti rembulan yang tertutupi, atau terhalangi. Pertunjukan ketoprak ini disutradarai sekaligus menulis naskahnya oleh beberapa dosen UNY, yaitu Prof. Dr. Suminto A. Sayuti dengan Drs. Sukisno, M. Sn.
Di awal pertunjukan, acara dimulai dengan lagu-lagu nasional dan tradisional. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan-sambutan yang menguatkan tema dan Dies Natalis UNY dengan konsep yang dibungkus dengan pertunjukan ketoprak yaitu dengan lakon Rembulan Kekalang. Uniknya, semua konsep bahasa baik dari pewara maupun yang menyampaikan sambutan dengan Bahasa Jawa yang tentu menjadi representasi pemertahanan budaya daerah.
Lakon “Rembulan Kekalang” ini bercerita mengenai usaha untuk merebut kekuasaan di tanah Mataram dengan jalan yang menyalahi norma dan aturan. Lakon ini mewakili salah satu dari fenomena di masyarakat, yaitu bahwa seseorang bisa jadi akan me-lakukan segala cara meskipun cara tersebut menentang aturan dan nurani demi mencapai ambisi, pangkat, kedudukan, kekuasaan, atau martabat yang diinginkannya.
Awal cerita pertunjukan ini bermula ketika Pangeran Sepuh Purbaya—diperankan oleh Prof. Dr. Marsigit, M. A.—berniat untuk lengser keprabon (turun tahta) dan meminta tanggapan dari Patih Singoranu, Demang Danupati, Tumenggung Pasingsingan, Tumenggung Sindureja, Tumenggung Niti Prakoso, dan permaisuri. Pada saat itu, Patih Singoranu dan permaisuri menanyakan kepada Pangeran Sepuh Purboyo apakah sudah dipikir secara matang dan bijaksana niatan tersebut, sebab rakyat Mataram masih menginginkan Pangeran Sepuh Purboyo menjadi raja Mataram dan tentu ini akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat tanah Mataram. Akan tetapi, tanggapan Patih Singoranu tersebut ditentang oleh Tumenggung Pasingsingan yang berpendapat bahwa seyogyanya sebagai patih haruslah tunduk dan patuh pada kehendak raja. Lebih lanjut, Tumenggung Pasingsingan ini malah berburuk sangka dan menuduh bahwa apa yang dilakukan oleh Patih Singoranu tersebut merupakan akal-akalan dari Patih Singoranu agar dirinya tetap menjadi patih.
Dalam ceritanya, Pangeran Sepuh Purbaya secara resmi menyatakan untuk lengser keprabon dan diangkatlah Sinuhun Amangkurat atau Pangeran Hadi Mataram sebagai raja Mataram yang baru. Dengan diangkatnya Pangeran Hadi Mataram sebagai raja Mataram dan diangkatlah pula Tumenggung Sindureja sebagai patih menggantikan Patih Singoranu. Tumenggung Pasingsingan tidak terima dengan hal ini, karena menurutnya dialah yang pantas dan seharusnya diangkat menjadi patih, bukan malah Tumenggung Sindureja. Akhirnya, Tumenggung Pasingsingan merasa putus asa dan memikirkan berbagai cara agar ambisinya untuk menjadi patih di kerajaan Mataram tersebut dapat terwujud. Lalu, bagaimanakah cara yang ditempuh oleh Tumenggung Pasingsingan untuk merealisasi-kan ambisinya tersebut?
Pada suatu ketika Pangeran Timur—saudara dari Pangeran Hadi Mataram—secara tidak sengaja bertemu dengan Rara Mangli—anak dari Tumenggung Pasingsingan. Karena paras cantik dari Rara Mangli ini, Pangeran Timur jatuh hati dengan Rara Mangli dan berniat untuk memperistrinya. Akan tetapi, Rara Mangli belum bisa memutuskan apakah bersedia menjadi istri dari Pangeran Timur dan ia meminta waktu kepada Pangeran Timur untuk memutuskan hal tersebut. Akhirnya, Pangeran Timur-pun datang menghadap kedua orang tua Rara Mangli dengan niatan untuk meminta izin memperistri Rara Mangli—yang pada saat itu juga Yu Genuk berada di antara mereka. Kedua orang tua Rara Mangli menyerahkan keputusannya kepada Rara Mangli sebab ia sendirilah yang nantinya akan menjalani kehidupan berkeluarga. Rara Mangli bersedia menjadi istri Pangeran Timur, namun dengan satu permintaan, yaitu Pangeran Timur harus naik tahta menjadi raja kerajaan Mataram.
Tentu, apa yang menjadi permintaan Rara Mangli tersebut membuat Pangeran Timur murka, sebab ia tidak mungkin membunuh kakanya sendiri, yaitu Pangeran Hadi Mataram, untuk merebut tahta Mataram. Tumenggung Pasingsingan-pun memanfaat-kan situasi ini untuk memperkeruh suasana—agar ambisinya untuk menjadi patih di kerajaan Mataram dapat tercapai. Ia mengungkapkan bahwa apabila Pangeran Timur tidak bersedia menuruti permintaan anaknya, maka ia tidak akan merestui Rara Mangli untuk diperistri oleh Pangeran Timur. Tumenggung Pasingsingan juga menyebutkan bahwa apabila Pangeran Timur benar-benar mencintai Rara Mangli seharusnya apa yang diminta oleh Rara Mangli tersebut tetap dipenuhi, ibarat sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati.
Demi mewujudkan ambisinya untuk menjadi patih Mataram, Tumenggung Pasingsingan memutuskan untuk menawarkan diri kepada Pangeran Timur bahwa dia sendirilah yang akan membunuh Pangeran Hadi Mataram agar Pangeran Timur bisa menjadi raja Mataram. Keputusan ini menyebabkan Nyi Menggung Pasingsingan tidak habis pikir mengapa suaminya bisa memiliki ambisi sebesar itu dan tentunya Nyi Menggung Pasingsingan menentang keputusan yang dibuat oleh suaminya tersebut karena ia takut jika Tumenggung Pasingsingan sendirilah yang akan mati pada akhirnya. Tumenggung Pasingsingan berdalih bahwa apa yang menjadi keputusan dan apa yang akan ia lakukan tersebut demi keinginan, kebahagiaan, dan kemuliaan sang anak. Yu Genuk yang mengetahui rencana jahat Tumenggung Pasingsingan, memutuskan untuk menyampaikan hal tersebut kepada suaminya, yaitu Tumenggung Niti Prakoso. Tumenggung Niti Prakoso mempercayai apa yang disampaikan oleh Yu Genuk dan ia langsung menemui Pangeran Sepuh Purbaya untuk menyampaikan hal tersebut.
Ketika suatu malam, Tumenggung Pasingsingan menyirep prajurit yang menjaga kerajaan Mataram demi melancarkan aksinya untuk membunuh Pangeran Hadi Mataram. Namun sayangnya, aksi yang dilakukan oleh Tumenggung Pasingsingan tersebut ketahuan oleh Pangeran Sepuh Purbaya dan Tumenggung Niti Prakoso. Meskipun mencoba berkilah, tetap saja Pangeran Sepuh Purbaya tidak mempercayainya, sebab ia sudah memperoleh semua informasi yang sesungguhnya dari Tumenggung Niti Prakoso. Melalui perkelahian yang cukup sengit, akhirnya Tumenggung Pasingsingan berhasil ditangkap dan dihukum mati. Usai kejadian penangkapan Tumenggung Pasingsingan atas usaha untuk melakukan pembunuhan terhadap Pangeran Hadi Mataram, Pangeran Hadi Mataram memanggil Pangeran Timur untuk menghadapnya. Di hadapan Pengeran Hadi Mataram, Pangeran Timur mengakui atas kesalahannya yang telah terperdaya oleh cinta yang akhirnya menggiringnya untuk mengikuti rencana jahat Tumenggung Pasingsingan. Pangeran Hadi Mataram menyadari bahwa kejadian ini tidak akan terjadi jika saja Rara Mangli tidak memiliki permintaan semacam itu. Pada akhirnya Pangeran Hadi Mataram menanyakan kepada Pangeran Timur apakah ia sanggup jika Pangeran Hadi Mataram meminta nyawa Rara Mangli. Pangeran Timur pun menyanggupinya dan langsung menemui Rara Mangli.
Ketika bertemu dengan Rara Mangli, Pangeran Timur mencoba untuk melaksanakan apa yang telah disanggupinya dengan Pangeran Hadi Mataram. Dialog antara keduanya pun terjadi. Pangeran Timur menyalahkan Rara Mangli yang telah menyebabkan kekacauan di tanah Mataram. Namun, Rara Mangli tidak terima jika ia lah satu-satu orang yang bersalah atas kekacauan tersebut dan balik menyalahkan Pangeran Timur—andai saja Pangeran Timur tidak jatuh cinta kepada Rara Mangli atau tidak menuruti apa yang menjadi permintaan Rara Mangli maka kejadiannya tidak akan seperti itu. Lebih lanjut, Rara Mangli juga menyalahkan Pangeran Timur bahwa ia seharusnya tidak hanya mau enaknya saja tanpa mau menanggung resiko yang ada dan malah menyalahkan orang lain atas masalah yang menimpanya. Pangeran Timur akhirnya tidak tega membunuh Rara Mangli.
Di suatu waktu Rara Mangli meratapi masalah dan beban berat yang telah menimpanya. Betapa malangnya Rara Mangli ini yang awalnya mendambakan suatu kebahagiaan, kedudukan, dan pangkat, namun pada akhirnya kesengsaraanlah yang malah ia dapatkan. Tidak sanggup memikul masalah dan beban itu sendiri, akhirnya Rara Mangli mengakhiri hidupnya [Selesai].
Dari kisah yang diceritakan melalui pertunjukan ketoprak “Rembulan Kekalang” ini setidanya ada beberapa hal yang bisa saya ambil hikmahnya dan mungkin nantinya akan bermanfaat bagai saya apabila menjadi seorang pendidik nanti. Pertama, sebaiknya kita tidak boleh berburuk sangka terhadap orang lain. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, tentu saja setiap siswa memiliki ke-mampuannya masing-masing dalam memahami hal yang mereka pelajari. Tidak baik bagi seorang pendidik untuk berburuk sangka kepada siswa yang kemampuan untuk memahaminya sedikit lambat dibanding siswa lain dan lantas mengatakan bahwa siswa tersebut malas untuk belajar atau lebih kejamnya mengatakan bahwa siswa tersebut (maaf) bodoh. Karena pada dasarnya, apa yang kita lihat belum tentu yang menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi.
Kedua, berambisi tinggi itu boleh saja, namun yang harus diingat adalah sudahkah kita berkaca pada diri sendiri dan sudah pantaskah diri kita untuk mencapai ambisi tersebut. Terkadang kita lupa akan kemampuan yang kita miliki lalu berani untuk berambisi tingga dan pada akhirnya kita tidak siap menghadapi kondisi saat ambisi kita tersebut sudah terpenuhi. Ketiga, semua yang ada di dunia ini ada ilmunya. Untuk menjadi pemimpin bukanlah hal sesederhana menjadi orang yang dipimpin. Untuk dapat menjadi pemimpin tentunya diperlukan ilmu yang matang dan kesiapan yang matang pula, sehingga nantinya tidak “terkaget-kaget” apabila dihadapkan dengan suatu masalah. Keempat, bahwa tindak kebajikan pasti akan mengalaskan tindak angkara murka. Oleh karena itu, jangan malu untuk selalu berbuat baik meskipun ditentang oleh banyak orang. Sebab, sebaik-baiknya tindakan adalah tindakan yang didasarkan pada hati nurani, bukan ambisi yang luput.
Dari ketoprak ini, sebenarnya banyak sekali hikmah yang ada di dalamnya. Komitmen UNY dalam melestarikan tradisi di tengah gempuran teknologi perlu didukung. Apalagi, di awal pertunjukan diawali pula dengan beberapa sivitas akademika UNY yang membawakan lagu-lagu khas daerah dan lagu nasional yang membangkitkan spirit nasionalisme dan kebangsaan seperti Indonesia Pusaka, Dondong Opo Salak, dan lainnya. Semoga dengan pertunjukan ketoprak ini menjadikan UNY semakin jaya. Amin.
0 komentar:
Post a Comment