Oleh
Hamidulloh Ibda
Dimuat di
Koran Pagi Wawasan, 22 November 2013
Tragedi penyadapan yang dilakukan intelijen
Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono, dan
beberapa pejabat lain menjadi berita “hot” di media massa. Penyadapan tersebut
diungkap harian Inggris, The Guardian, dan harian Australia, The Sydney Morning
Herald, Senin (18/11/2013). Akan tetapi, dalam hal ini terkesan pemerintah Indonesia
tak tegas menghadapi gelombang sadap itu. Terbukti sampai detik ini belum ada hasil
dan formula tegas dari pemerintah Indonesia terhadap Australia.
Dalam perjalanan bangsa, sejak kemerdekaan RI
17 Agustus 1945 belum ada tragedi penyadapan berbalut politik terhadap petinggi
negara. Indonesia sangat dihormati dan tidak ada tragedi yang membuat geram
masyarakat. Namun, kali ini penyadapan tersebut sangat melecehkan Indonesia. Apalagi,
penyadapan ini dilakukan intelijen Australia yang selama ini menjadi negara
sahabat Indonesia.
Ironisnya, berita penyadapan itu sudah
tersebar di media massa lokal, nasional dan internasional. Ini sangat memalukan
dan merendahkan harkat dan martabat Indonesia. Padahal, penyadapan adalah
tindakan tidak patut dilakukan, apalagi korban sadap adalah presiden dan
petinggi negara. Yang perlu kita tegaskan, ada apa di balik penyadapan itu?
Politik Sadap
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009) menyatakan
sadap-menyadap adalah mendengarkan (merekam)
informasi (rahasia/pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan
orangnya. Dalam kaca mata politik, sudah jelas ada “agenda tersembunyi” yang
dikonsep Australia terhadap Indonesia. Penyadapan dapat diartikan
sebagai sesuatu tak lazim, melanggar hukum, melanggar HAM, hak privat seorang
sebagai individu, serta mencederai dan merusak hubungan bilateral negara, dalam
hal ini adalah Indonesia-Australia. Penyadapan pada petinggi negara Indonesia berarti
“penghinaan” di luar batas.
Lalu, apakah Indonesia hanya tetap diam tanpa
kata dan aksi? Siapa yang bertanggung jawab atas penyadapan itu? Seperti diberitakan harian The Age Australia, lembaga intelijen Australia
telah menyadap pembicaraan telepon antara Presiden SBY dan lingkaran dekatnya.
Penyadapan meliputi pembicaraan SBY dengan sejumlah menteri. Intelijen
Australia bahkan berupaya mendengarkan percakapan pribadi melalui telepon
antara SBY dan istri (Kompas, 20/11).
Sebenarnya, ini merupakan bagian dari
penyadapan global yang dilakukan Amerika. Mengapa demikian?
Karena Australia bekerja untuk Amerika, dan Amerika ingin tahu banyak hal tentang
Indonesia. Australia adalah pembantu Amerika untuk wilayah Asia Tenggara.
Amerika senang atas kesediaan Australia menjadi pembantunya, karena Australia mempunyai
alat sadap canggih untuk mengcover Indonesia.
Bahkan, tak hanya Indonesia yang disadap
Australia? Karena sadap menyadap itu biasa dilakukan negara-negara
berkepentingan. Amerika juga menyadap telepon PM Jerman dan negara lain. Itu
akan menjadi masalah jika ketahuan. Wajar pemerintah Indonesia marah karena itu
tidak benar secara etika. Jika untuk kepentingan Amerika, lalu apa kepentingan
Australia? Bahkan, menteri BUMN juga disadap.
Kita
tak tahu politik sadap dan semua kepentingan Australia. Yang pasti, Australia
tahu bahwa Indonesia tak akan menyerang mereka. Tapi, hal ini menyangkut rasa
keingintahuan Indonesia kecenderungannya ke mana, lebih ke persaingan ekonomi
global, Amerika dan China, atau yang lainnya.
Australia juga punya kepentingan mengumpulkan informasi sebanyaknya mengenai
hal itu, sehingga presiden, ibu negara, jubir, para menteri, disadap untuk tahu
Indonesia bergerak ke mana. Jadi, hal inilah yang harus diantisipasi dan dicari
solusinya.
Selain ada misi politik, hal itu jelas-jelas
menghina dan merendahkan Indonesia. Bahkan, Presiden SBY mengaku tak habis
pikir dengan tindakan Australia menyadap Indonesia. Apalagi hubungan Indonesia-Australia
selama ini terjalin baik. Yang jelas, penyadapan sudah ketinggalan zaman.
Karena hanya dilakukan pada masa perang dingin bertahun-tahun lalu. Penyadapan
pun biasanya dilakukan kepada negara-negara yang dianggap
sebagai musuh. Sedangkan Indonesia-Australia tidak berada dalam posisi
bermusuhan. Karena itu, sudah jelas bahwa penyadapan tersebut pasti ada misi
politik tersembunyi.
Butuh Ketegasan
Di sisi lain, secara jelas Perdana Menteri Australia
Tony Abbott enggan meminta maaf kepada Indonesia terkait penyadapan tersebut. Padahal,
mayoritas warga Australia menyetujui Abbott minta maaf kepada Indonesia. Alasan
Abbott menolak meminta maaf karena
setiap pemerintah memang mengumpulkan informasi atau data-data
asing negara lain. Menurutnya, yang penting mereka menggunakan semua sumber
daya mereka sendiri, termasuk informasi untuk membantu teman-teman dan sekutu,
tidak untuk menyakiti Indonesia (Koran Jakarta, 20/11).
Abbott menilai, pemerintah Australia tak mesti
menjelaskan dengan detil apa saja aksi yang dilakukan dalam melindungi
negaranya. Sama halnya dengan negara lain berusaha melindungi diri. Penyadapan
menurut Abbott wajar dilakukan. Ini sangat tidak logis dan sangat melecehkan
persahabatan Indonesia-Australia yang lama dijalin. Seharusnya, Abbott memperbesar
kearifan, diplomasi, dan mempererat tali silaturrahmi, namun mengapa malah
berpendapat demikian? Karena itulah, sudah saatnya Indonesia melakukan
ketegasan untuk menuntaskan polemik ini.
Pemerintah Indonesia harus tegas, dan SBY
harus menjadi pionir terdepan untuk menyelesaikan sengketa penyadapan. Ada
beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, Indonesia harus meminta klarifikasi
resmi kepada Australia terkait dengan benar atau tidaknya aksi penyadapan tersebut.
Mengapa? Bisa saja hal itu hanya “olahan politik” Australia agar kondisi pemerintahan
Indonesia terjadi tsunami politik.
Kedua, pemerintah RI harus melakukan
tindakan tegas dan revolusioner dalam bidang hukum. Pemerintah tak boleh diam, tak
perlu sekadar menarik Duta Besar RI untuk Australia serta meninjau kembali
beberapa agenda kerjasama bilateral,
namun pemerintah Australia perlu diproses secara hukum. Karena hakikatnya,
penyadapan adalah pelanggaran hukum terberat dan melanggar etika bernegara.
Ketiga, SBY harus
menghentikan kerja sama dengan Australia di bidang apa pun. Hal ini dimaksudkan
agar Australia jera tidak melakukan penyadapan di bidang apa pun dan dengan
siapa pun. Apalagi, pemerintah
Australia terkesan “enggan” meminta maaf kepada Indonesia. Karena jika meminta
maaf sama saja mengakui memang benar menyadap. Inilah yang harus disikapi
dengan tegas.
-Penulis adalah Direktur HI Study Centre
Semarang, Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang
0 komentar:
Post a Comment