Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Tuesday 26 November 2013

Politik Sadap Australia




Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat di Koran Pagi Wawasan, 22 November 2013


Tragedi penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono, dan beberapa pejabat lain menjadi berita “hot” di media massa. Penyadapan tersebut diungkap harian Inggris, The Guardian, dan harian Australia, The Sydney Morning Herald, Senin (18/11/2013). Akan tetapi, dalam hal ini terkesan pemerintah Indonesia tak tegas menghadapi gelombang sadap itu. Terbukti sampai detik ini belum ada hasil dan formula tegas dari pemerintah Indonesia terhadap Australia.
Dalam perjalanan bangsa, sejak kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 belum ada tragedi penyadapan berbalut politik terhadap petinggi negara. Indonesia sangat dihormati dan tidak ada tragedi yang membuat geram masyarakat. Namun, kali ini penyadapan tersebut sangat melecehkan Indonesia. Apalagi, penyadapan ini dilakukan intelijen Australia yang selama ini menjadi negara sahabat Indonesia.
Ironisnya, berita penyadapan itu sudah tersebar di media massa lokal, nasional dan internasional. Ini sangat memalukan dan merendahkan harkat dan martabat Indonesia. Padahal, penyadapan adalah tindakan tidak patut dilakukan, apalagi korban sadap adalah presiden dan petinggi negara. Yang perlu kita tegaskan, ada apa di balik penyadapan itu?
Politik Sadap
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009) menyatakan sadap-menyadap adalah mendengarkan (merekam) informasi (rahasia/pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. Dalam kaca mata politik, sudah jelas ada “agenda tersembunyi” yang dikonsep Australia terhadap Indonesia. Penyadapan dapat diartikan sebagai sesuatu tak lazim, melanggar hukum, melanggar HAM, hak privat seorang sebagai individu, serta mencederai dan merusak hubungan bilateral negara, dalam hal ini adalah Indonesia-Australia. Penyadapan pada petinggi negara Indonesia berarti “penghinaan” di luar batas.
Lalu, apakah Indonesia hanya tetap diam tanpa kata dan aksi? Siapa yang bertanggung jawab atas penyadapan itu? Seperti diberitakan harian The Age Australia, lembaga intelijen Australia telah menyadap pembicaraan telepon antara Presiden SBY dan lingkaran dekatnya. Penyadapan meliputi pembicaraan SBY dengan sejumlah menteri. Intelijen Australia bahkan berupaya mendengarkan percakapan pribadi melalui telepon antara SBY dan istri (Kompas, 20/11).
Sebenarnya, ini merupakan bagian dari penyadapan global yang dilakukan Amerika. Mengapa demikian? Karena Australia bekerja untuk Amerika, dan Amerika ingin tahu banyak hal tentang Indonesia. Australia adalah pembantu Amerika untuk wilayah Asia Tenggara. Amerika senang atas kesediaan Australia menjadi pembantunya, karena Australia mempunyai alat sadap canggih untuk mengcover Indonesia.
Bahkan, tak hanya Indonesia yang disadap Australia? Karena sadap menyadap itu biasa dilakukan negara-negara berkepentingan. Amerika juga menyadap telepon PM Jerman dan negara lain. Itu akan menjadi masalah jika ketahuan. Wajar pemerintah Indonesia marah karena itu tidak benar secara etika. Jika untuk kepentingan Amerika, lalu apa kepentingan Australia? Bahkan, menteri BUMN juga disadap.
 Kita tak tahu politik sadap dan semua kepentingan Australia. Yang pasti, Australia tahu bahwa Indonesia tak akan menyerang mereka. Tapi, hal ini menyangkut rasa keingintahuan Indonesia kecenderungannya ke mana, lebih ke persaingan ekonomi global, Amerika dan China, atau yang lainnya. Australia juga punya kepentingan mengumpulkan informasi sebanyaknya mengenai hal itu, sehingga presiden, ibu negara, jubir, para menteri, disadap untuk tahu Indonesia bergerak ke mana. Jadi, hal inilah yang harus diantisipasi dan dicari solusinya.
Selain ada misi politik, hal itu jelas-jelas menghina dan merendahkan Indonesia. Bahkan, Presiden SBY mengaku tak habis pikir dengan tindakan Australia menyadap Indonesia. Apalagi hubungan Indonesia-Australia selama ini terjalin baik.  Yang jelas, penyadapan sudah ketinggalan zaman. Karena hanya dilakukan pada masa perang dingin bertahun-tahun lalu. Penyadapan pun biasanya dilakukan kepada negara-negara yang dianggap sebagai musuh. Sedangkan Indonesia-Australia tidak berada dalam posisi bermusuhan. Karena itu, sudah jelas bahwa penyadapan tersebut pasti ada misi politik tersembunyi.
Butuh Ketegasan
Di sisi lain, secara jelas Perdana Menteri Australia Tony Abbott enggan meminta maaf kepada Indonesia terkait penyadapan tersebut. Padahal, mayoritas warga Australia menyetujui Abbott minta maaf kepada Indonesia. Alasan Abbott menolak meminta maaf karena setiap pemerintah memang mengumpulkan informasi atau data-data asing negara lain. Menurutnya, yang penting mereka menggunakan semua sumber daya mereka sendiri, termasuk informasi untuk membantu teman-teman dan sekutu, tidak untuk menyakiti Indonesia (Koran Jakarta, 20/11).
Abbott menilai, pemerintah Australia tak mesti menjelaskan dengan detil apa saja aksi yang dilakukan dalam melindungi negaranya. Sama halnya dengan negara lain berusaha melindungi diri. Penyadapan menurut Abbott wajar dilakukan. Ini sangat tidak logis dan sangat melecehkan persahabatan Indonesia-Australia yang lama dijalin. Seharusnya, Abbott memperbesar kearifan, diplomasi, dan mempererat tali silaturrahmi, namun mengapa malah berpendapat demikian? Karena itulah, sudah saatnya Indonesia melakukan ketegasan untuk menuntaskan polemik ini.
Pemerintah Indonesia harus tegas, dan SBY harus menjadi pionir terdepan untuk menyelesaikan sengketa penyadapan. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, Indonesia harus meminta klarifikasi resmi kepada Australia terkait dengan benar atau tidaknya aksi penyadapan tersebut. Mengapa? Bisa saja hal itu hanya “olahan politik” Australia agar kondisi pemerintahan Indonesia terjadi tsunami politik.
Kedua, pemerintah RI harus melakukan tindakan tegas dan revolusioner dalam bidang hukum. Pemerintah tak boleh diam, tak perlu sekadar menarik Duta Besar RI untuk Australia serta meninjau kembali beberapa agenda kerjasama bilateral, namun pemerintah Australia perlu diproses secara hukum. Karena hakikatnya, penyadapan adalah pelanggaran hukum terberat dan melanggar etika bernegara.
Ketiga, SBY harus menghentikan kerja sama dengan Australia di bidang apa pun. Hal ini dimaksudkan agar Australia jera tidak melakukan penyadapan di bidang apa pun dan dengan siapa pun. Apalagi, pemerintah Australia terkesan “enggan” meminta maaf kepada Indonesia. Karena jika meminta maaf sama saja mengakui memang benar menyadap. Inilah yang harus disikapi dengan tegas.

-Penulis adalah Direktur HI Study Centre Semarang,  Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Politik Sadap Australia Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda