Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday 3 April 2014

Cintaku di PPs Unnes



Oleh Hamidulloh Ibda

Kring, kring, kring.....
Berkicau ponselku, pertanda Aku harus bangun salat dan menyiapkan peralatan kuliah. Berbeda dengan hari-hari seperti biasanya. Aku harus bisa menata diri lagi dan bercanda dengan gelombang ilmu.
Ya, saat itu aku akan berangkat matrikulasi. Bertepatan dengan itu, matahari sudah menyemburkan cahayanya yang menggeliatkan harapan.

Semburat merah bang-bang wetan dari timur menyimbolkan manusia harus bangun dari ranjangnya.
Pagi itu aku ke kampus Bendan, awal Aku matrikulasi S2 di PPs Unnes. Alhamdulillah, Aku diterima di PPs Unnes Prodi Dikdas konsentrasi Pendidikan Bahasa Indonesia.
Jika dibandingkan dengan temanku, Aku masih beruntung bisa kuliah, meskipun tidak di kampus ternama di Jawa Tengah.
Aku memandang di pusat mata jiwaku dan ku ludahkan syukurku, Aku masih bisa kuliah di IAIN Walisongo Semarang sejak 2008. Karena bapakku mengutamakan ajaran agama, akhirnya Aku mau tidak mau harus meledakkan keinginan bapakku.
Ah, semua perasaanku sudah ku telanjangkan. Aku menghujan deraskan impian bapakku yang bermimpi agar Aku lebih hebat dan sukses darinya.
Saat itu, garis impian kutegakkan kembali. Aku harus kuliah lagi, bangun pagi lagi dan berpikir dan berdialektika lagi dengan rentetan buku.
Aku juga takjub dengan nikmat ini. Tuhan masih memberiku kesempatan untuk menimba ilmu di kampus PPs Unnes. Ingin ku bawa mimpiku dengan harapan lebih baik dari kemarin. Tak terkira, kuliah S1 saja aku tidak bisa, namun Tuhan memberi lebih, Aku justru bisa kuliah S2.
Ternyata benar kata temanku, Tuhan memberikan yang dibutuhkan, bukan yang diingkan. Di hadapan teman-temanku, Aku paling aneh dan dinilai berpikir aneh, tabu. Di sisi lain, aku juga berlatar belakang beda dengan teman-teman, karena jurusanku PGMI bukan PGSD. Di mata temanku, aku hanya bagai burung tanpa sayap. Aku kecil. Bagai kepingan debu yang hanya terbang ketika ditiup angin.
Ah, tak peduli dengan hal itu. Tujuanku belajar, bukan pamer dan membahas kondisi kemapanan orang tua.
Setelah matrikulasi 3 hari selesai, aku harus siap-siap kuliah aktif selama dua hari sembari menikmati pekerjaan yang sudah lama ku geluti.
Ketika matrikulasi, hari pertama sampai terakhir, ah suasananya biasa saja, bahkan membosankan. Jujur saja, Aku harus menyesuaikan diri di habitat baru, yang katanya kampus konservasi.
Saat matrikulasi, Aku ditanya seorang mahasiswi yang ternyata dia satu rombel denganku. “Mas, Sampeyan dari IAIN Walisongo ya?” tanya dia padaku. Aku pun menjawabnya, “Ya, Mbak, kayaknya hanya Aku yang dari IAIN Walisongo.” Kemudian, aku tidak menyambung percakapan tersebut. Ya, cuek itu merupakan sifatku dari dulu.
Setelah beberapa hari kuliah, saat itu malam hari di mana sunyi menjadi temanku menulis dan facebookan. Sekitar jam 1 pagi, ada akun bernama Dian Marta Wijayanti menambahkan diriku sebagai temanku. Tak lama kemudian, aku pun menerimanya sebagai teman. Oh, setelah ku lihat dengan mata telanjang, ternyata foto di FB tersebut adalah temanku sekelas.
Setelah jadi temanku, muatan hatiku berkata untuk chat dengannya. Kemudian, Aku beranikan mandat dari hatiku untuk memberikan salam dan kemudian meminta nomor ponselnya.
Tak ku sangka, Dia dengan senang memberikan nomor ponselnya. Karena Aku betah berteman dengan malam, akhirnya aku telepon Dia sampai pagi. 3 jam berlalu tak terasa, bahkan sampai subuh baru ku matikan percakapanku dengannya.
Setelah meneleponnya, sejenak ku berpikir, apakah dia memang jodohku? Ah, kan baru kenal. Benakku berkata demikian. Namun setelah lama berhubungan, kita berselancar mengenal lebih dalam, jauh dan luas, aku pun memberanikan diri untuk mengajaknya ke rumahku dan mengenalkannya kepada kedua orang tuaku.
Setelah lama ngobrol ngalor dan ngidul, akhirnya aku menyatakan perasaanku bahwa aku sayang padanya. Kalimat yang ku ucapkan juga tidak pacar, tapi aku menyatakannya untuk menjadi istriku.
Akhirnya, dia pun menerimaku. Setelah itu, Aku kembali ke Semarang dan melanjutkan perjuangan. Seminggu seteleh kejadian itu, Aku diajaknya ke rumah Blora tempat ia lahir. Di sana, Aku bertemu, berbicara ngalor-ngidul dengan bapaknya. Namun karena bapaknya ada acara, beliau pergi dan meninggalkanku. Tak mungkin jika aku menginap. Lalu aku pamit dan merayap pulang. Sesampainya di rumah, aku mendapat SMS nya, “Mas, kalau mau serius denganku, segera pinang Aku”. Demikian pesan darinya.
Aku pun bingung, kaget dan tentunya Aku masih bertanya-tanya, apakah dia jodohku atau bukan? Pertanyaan ini selalu menghantuiku.
Daripada mumet, aku pun menceritakan sari SMS tersebut kepada orang tuaku. Karena bapakku sedikit banyak memahami agama, tentu tahu subtansi SMS itu. “Ya, kalau mau serius ya segera penuhi syarat khitbah agar tidak menjadikan hubungan terlalu lama dan tidak ada ikatan.” Demikian kata bapakku. Cakrawala cintaku pun mulai perlahan melebar dan tampaknya inilah saatnya aku serius kepada perempuan.
Kemudian, Aku minta antar ibukku membeli 2 cincin di toko terdekat. Ya, cincin bermata jeli itu tanda kasih untuknya, he he he itu seperti lagunya Koes Plus.
Setelah membelinya, keluargaku berembuk acara tunangan itu. Kemudian, setelah melakukan lobi asmara, Aku sekeluarga pergi ke Blora melakukan ritual tunangan. Kami disambut mesra keluarganya. Setelah acara selesai, ku pakaikan cincin itu padanya. Mungkin, cintanya padaku semakin lebar dan merasuk di jiwa.
Proses tunangan selesai. Kami kembali ke Semarang dan melanjutkan agenda biasanya. Aku kuliah selalu semangat karena ada dia. Kita diskusi bersama dan kadang sering berdebat bersama. Namun, fakta alam berbicara lain, keinginannya menjadi dosen terenggut ketika ia lolos tes CPNS Kota Semarang pada 24 Desember 2013 ia lolos dari 1300 an peserta. Ya, namanya rezeki sudah ada yang mengatur.
Setelah pengumuman itu, dulu bapakknya yang masih ragu dan canggung dengan pernikahan itu, akhirnya kembali menggeliatkan harapan. Senyum enigmatisnya mulai tampak. Ternyata, beliau ingin segera anaknya menikah. Padahal, awalnya hanya merestui nikah jika sudah wisuda S2.
Setelah lobi dan lobi antara keluargaku dengannya, maka kami tetapkan 7 Juni 2014 sebagai tanggal pernikahan. Ya, hari itu tepat kita akan melakukan sumpah suci pernikahan.
Ah, semua sudah ada yang mengatur. Aku kembali rutin kuliah. Sedangkan dia sibuk ngajar di SDN Sampangan 1 sembari menunggu 7 Juni 2014. Terima kasih, Tuhan. Hamba sudah mendapatkan nikmat yang tidak disangka-sangka. Semoga hidupku, hidup kita berkah dan bahagia selamanya.

Semarang, 1 April 2014
Cerpen ini aku persembahkan untuk yang tercinta, Dian Marta Wijayanti
Sekaligus memenuhi tugas Teori Sastra PPs Unnes 2014
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Cintaku di PPs Unnes Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda