Tak lama ini, muncul euforia mengenai mobil listrik di jagad
publik kita. Bahkan, Menteri Negara BUMN sendiri mempromosikan mobil listrik
Tucuxi dan sempat mengalami kecelakaan beberapa waktu yang lalu. Pemerintah
sendiri menargetkan, produksi mobil listrik secara massal mencapai 10 ribu unit
pada 2014.
Wacana dan fenomena mobil listrik ini sebenarnya mengemuka tak
lama setelah isu kenaikan harga BBM yang sedianya diberlakukan pada awal April
2012 yang lalu. Saat itu juga muncul gagasan untuk memasyarakatkan penggunaan
bahan bakar gas (BBG). Pemunculan mobil listrik ini seakan menjadi jawaban di
tengah beban subsidi dan konsumsi BBM yang semakin meningkat. Apalagi, isu
mengenai pemanasan global akibat emisi karbon yang kian massif, seakan
mengamini perlunya kehadiran mobil listrik di jagad transportasi kita.
Pertanyaan selanjutnya, seberapa siapkah dan bagaimana seharusnya kita
menyikapi wacana mobil listrik ini?
Mobil listrik ini sebenarnya bukan barang baru. Mobil bertenaga
listrik sendiri mulai dikembangkan sejak pertengahan abad ke-19. Tidak jelas
benar siapa sebenarnya yang memulai teknologi mobil listrik itu. Beberapa
sumber menyebutkan, pada 1828, seorang warga Hongaria, Anyos Jedlik,
mengembangkan tipe awal motor listrik yang kemudian digunakan untuk
menggerakkan motor.
Manfaat Sosial
Memang ada sejumlah kemanfaatan kemasyarakatan (societal benefits)
penggunaan mobil listrik jika dibandingkan dengan mobil berbahan bakar minyak
(Conrad , 2011). Pertama, penggunaan energi listrik yang berasal dari penggerak
tenaga listrik domestik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Kedua, berkurangnya polusi udara. Ketiga, mengurangi tingkat
kebisingan. Keempat, penggunaan infrastruktur ke listrikan secara intensif akan
meng optimalkan nilai guna yang dapat di per oleh dari infrastruktur
kelistrikan tersebut. Kelima, potensi untuk mengurangi biaya integrasi listrik
yang terbarukan.
Namun di sisi lain, sejumlah potensi biaya sosial yang muncul
dari penggunaan mobil bertenaga listrik ketika biaya per unit (unit cost)-nya
semakin murah, antara lain, pertama, meningkatnya kemacetan lalu-lintas.
Penggunaan mobil listrik tentu akan semakin menambah kepadatan lalu lintas,
apalagi di tengah era budaya bermobil (car culture) yang masih masif
ini. Kedua, polusi. Hal ini terjadi ketika perebutan pengggunaan sumber
daya listrik antara mobil dan alat-alat lainnya. Tenaga listrik yang sedianya
bisa digunakan untuk menggerakan peralatan lain yang dapat mengurangi polusi
udara, terpakai oleh mobil listrik.
Ketiga, meningkatnya kecelakaan lalu-lintas. Tidak seperti
halnya mobil konvensional, mobil listrik relatif tidak bising sehingga
berpotensi menimbulkan kecelakaan. Keempat, potensi meningkatnya biaya
infrastruktur kelistrikan jika teknologi smart charging belum berkembang
dengan baik (Conrad, 2011).
Jika kita melihat populasi kendaraan bermotor dan kondisi lalu
lintas di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, negeri ini sudah sangat
massif dikungkung oleh car culture yang sangat akut. Berdasarkan data
BPS (2010), ada sekitar 76, 9 juta kendaraan bermotor. Di antara jumlah
tersebut mobil penumpang berjumlah sekitar 8,8 juta unit dan kendaraan bermotor
roda dua mendominasi dengan jumlah sekitar 61 juta unit. Sementara, untuk bus
hanya berjumlah sekitar 2, 25 juta unit.
Tepatkah?
Dengan kondisi demikian, tampaknya wacana mobil listrik belum
tepat diterapkan di Indonesia. Lebih jauh, Conrad (2011) menyebutkan, jika
mobil listrik ingin dipasarkan secara massal maka teknologi mobil ini harus
mampu mengakomodasi juga kepada para pemilik kendaraan yang hanya menggunakan
mobilnya sesekali saja, termasuk para pengguna mobil listrik yang
menggunakannya secara intensif. Sebab, selama teknologi baterai listriknya
masih mahal dan baterai belum mampu menyimpan energi listrik secara awet,
apalagi dalam kondisi BBM yang masih sangat murah, maka mobil listrik akan
kurang ekonomis dibandingkan dengan kendaraan bermotor konvensional.
Belum lagi, jika kita melihat infastruktur kelistrikan yang
belum sepenuhnya mapan. Jika mobil listrik ini menggunakan energi listrik
yang berasal dari pembangkit listrik yang masih menggunakan bahan bakar minyak
maka argumentasi bahwa mobil listrik akan sepenuhnya ramah lingkungan belum
kuat. Yang terjadi di sini hanyalah pengalihan dari BBM yang digunakan oleh
mobil pada pembangkit tenaga listrik.
Apabila memang pemerintah hendak mengembangkan penggunaan energi
listrik dalam ranah transportasi, seyogianya harus ada urutan logika yang
konsisten. Mulai dari strategi dan teknologi di hulu dalam menggerakkan energi
listrik yang harusnya sudah bisa ramah lingkungan dan berkelanjutan sampai pada
sisi hilir, tempat seharusnya transportasi publik yang nyaman dan reliable
digerakkan oleh tenaga listrik yang harusnya diutamakan untuk
dikembangkan.
Contoh bagus yang bisa diambil pelajaran adalah komitmen
pemerintah kota San Francisco, yakni moda transportasi yang umumnya dikenal
dengan nama MUNI, yaitu bus dan trem digerakkan dengan tenaga listrik dan
bahkan biodiesel.
Jika pemerintah bisa mendorong pengembangan mobil bertenaga
listrik untuk moda transportasi umum, LIPI dan BPPT telah mengembangkan bus
bertenaga listrik yang seyogianya bisa didorong untuk bisa diproduksi massal seraya
mempersiapkan juga infrastruktur pendukung kelistrikannya. Jalan-jalan
raya sudah rapat dipenuhi kendaraan yang tak terkontrol pertumbuhannya selama
ini. Dengan kondisi tersebut, mengembangkan mobil listrik yang digunakan untuk
kendaraan pribadi saat ini bukanlah solusi cerdas.
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Rabu 16/1/2013
0 komentar:
Post a Comment