Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Wednesday 30 January 2013

Nasdem Harus Belajar dari Sejarah



Partai Nasional Demokrat (Nasdem) gonjang-ganjing. Itulah faktanya. Menjelang dilaksanakan kongres 25-26 Januari mendatang, terjadi konflik pelik di tubuh Nasdem. Berita mundurnya Hary Tanoesoedibjo (HT) dari jabatan ketua dewan pakar diikuti mundurnya sekjen partai, Ahmad Rofiq, wakil sekjen, Saiful Haq, dan ketua dewan pimpinan wilayah (DPW) Jawa Barat, Rustam Effendi, Senin 21 Januari menunjukkan ada problem internal yang cukup akut dialami partai berlatar belakang biru itu.

Mundurnya tokoh-tokoh penting yang telah dikenal luas publik itu dipastikan akan melemahkan akselerasi politik Nasdem yang diketahui sebagai satu-satunya partai non-parlemen yang lolos untuk Pemilu 2014. Citra politik dan kekuatan modal yang besar menjadi salah satu andalan partai yang memakai tagline “gerakan perubahan” itu untuk menjadi partai tiga besar.
Hasil jajak pendapat (polling) Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada Maret 2012 atau sepuluh bulan sebelum partai ini disahkan sebagai peserta Pemilu 2014 menempatkan Nasdem berada di posisi keempat (5,9 persen) di belakang Golkar (17,7 persen), PDIP (13,6 persen), dan Demokrat (13,4 persen).
Tentu hasil survei ini tidak begitu mengagetkan di tengah rontoknya citra partai-partai parlemen yang dianggap berkinerja buruk, terlibat korupsi, dan oligarkis dibandingkan populis. Jelas efek mundurnya HT jauh lebih hebat guncangan dan pengaruhnya dibandingkan mundurnya Sri Sultan Hamengku Buwono X ketika organisasi ini berubah dari ormas menjadi partai politik.
Kurang Ideologis
Sejak awal banyak pihak melihat tujuan hadirnya organisasi Nasdem tidak lain untuk kepentingan politik praksis dibandingkan menjadi kekuatan sipil (civil society) yang mengawal kekuasaan. Organisasi ini dibentuk oleh Surya Paloh (SP) pasca-kekalahannya saat persaingan dalam kongres “Golkar satu triliun” di Riau pada 2009. Naiknya Aburizal Bakrie dirasa SP menjadi tanda tamat riwayat politiknya di partai berlambang beringin itu.
Dengan cepat dan cenderung terburu-buru ia mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Nasional Demokrat. Pemberian nama “Nasional Demokrat” dan bukan “Demokrat Nasional” sebenarnya tidak sesuai dengan kaidah kata benda majemuk dalam bahasa Indonesia (kaidah diterangkan-menerangkan atau DM).
Pemilihan kata “demokrat” dan bukan “demokrasi” juga memperlihatkan partai ini berorientasi pada subjek dan bukan pada nilai atau wacana politik yang mendalam dan filosofis. Pemilihan istilah “Demokrat” pun sebenarnya tidak meniru Partai Demokratnya SBY, tapi Partai Demokratnya Obama di Amerika Serikat. Kritik itu muncul sejak nama ini pertama sekali diperkenalkan ke publik.
Dengan modal politik dan ekonomi yang dimilikinya, SP mengembangkan petualangan politiknya dengan maksud pertama menampung pendukungnya yang anti-Aburizal Bakrie. Secara cepat, organisasi yang mengampanyekan restorasi Indonesia ini menjadi kekuatan politik baru dan dikenal luas.
Itu karena ia menguasai kerajaan media melalui Media Group, sehingga memudahkan untuk mempromosikan dan mendiseminasi gagasan politik dan kerja-kerja politik. Kekuatan Nasdem semakin kuat ketika konglomerat media lain, HT dengan jaringan MNC Group masuk dan menduduki posisi intelektual partai (ketua dewan pakar).
Perpaduan dua konglomerat media ini diyakini akan mudah melakukan penggiringan wacana politik sekaligus pembentukan citra partai secara lebih positif. Edmund Burke menyebutkan kekuatan media massa menjadi pilar keempat demokrasi setelah representasi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Representasi fakta dan opini melalui media massa dapat memengaruhi kebijakan politik dan juga ingatan publik. Maka di era posmodernisme saat ini, berpolitik tanpa menggunakan peran media sama dengan bersikap naif di tengah politik pragmatis.
Dengan tokoh-tokoh muda berasal dari beragam latar belakang seperti pengusaha, mantan-aktivis Golkar dan partai lain, mantan aktivis mahasiswa, pekerja media massa, aktivis LSM, selebritas, dan aktivis perempuan membuat Nasdem menjelma menjadi impresario harmonis di tengah politik yang semakin kompetitif.
Dengan partai yang lebih minimal (10 partai) dibandingkan pemilu-pemilu pasca-reformasi yaitu pemilu 1999 (48 partai), 2004 (24 partai), dan 2009 (38 partai) Partai Nasdem jelas harus bekerja lebih keras membujuk konstituen dengan karakter pemilih yang semakin apatis dan realistis dengan momen elektoral.
Namun, yang menguntungkan adalah meskipun Partai Nasdem kurang ideologis dan aspek identitas politik tidak cukup khas, popularitasnya tetap terjaga karena partai-partai lain juga sama-sama lemah kumparan ideologisnya. Partai dengan warna ideologi dan politik aliran yang eksklusif seperti pada Pemilu 1955, masa Orde Baru, dan 1999, semakin tidak terlihat di dua pemilu terakhir. Partai pun tidak lagi memiliki percakapan tentang platform dan ideologi politik yang mendalam, tapi lebih mengarah pada program-program praksis dan retorika populer, seperti anti-korupsi, pro-rakyat, partai terbuka, pro-perubahan.
Belajar Dari Sejarah
Perpecahan yang terjadi di Partai Nasdem tidak dapat dilepaskan dari figur SP yang terkenal keras hati. Padahal, rekaman sejarah menunjukkan, konflik internal partai karena adanya sosok orang yang terlalu mendominasi akan menyebabkan konsolidasi partai secara internal lemah dan pengaruh eksternal ke publik mengecil.
Keluarnya Sri Sultan HB X dari Nasdem adalah awal kerugian dari segi modal kultural. Namun, terlihat SP tidak menyayangkan keluarnya HB X, dan masih bisa mengelola partainya sehingga tidak terjadi eksodus besar-besaran.  Saat ini konflik internal akan lebih hebat, karena adanya ambisi SP menjadi ketua umum partai menggantikan Patrice Rio Capella. Memang dari segi figur SP jelas jauh lebih berpengaruh dan populer dibandingkan ketua umum partai saat ini. Bahkan, dibandingkan partai-partai medioker lain seperti PKB, PKS, atau Hanura sosok Rio terlihat jauh tidak populer.
Partai Nasdem harus bisa belajar dari sejarah. Kasus PAN misalnya, ketika tokoh-tokoh pendiri seperti Faisal Basri, Goenawan Mohamad, Albert Hasibuan keluar dari partai yang awalnya dideklarasikan inklusif itu, PAN pun hanya ditakdirkan menjadi partai menengah.
Faktor Amien Rais yang terlalu memaksakan PAN menjadi lebih Muhammadiyah menjadi penyebab utama. Demikian juga ketika PKB pecah karena sikap besar kepala Muhaimin Iskandar yang tega menggusur seluruh unsur Gus Dur, PKB pun ambruk popularitasnya pada Pemilu 2009.
Contoh paling nyata juga terlihat pada Demokrat. Elektabilitas partai pemerintah pemenang Pemilu 2009 dipastikan akan menurun drastis pada 2014. Salah satu penyebab karena semakin tersingkir para pendiri di dalam kepengurusan terakhir, dan di saat yang sama masuknya pemain baru yang kental watak avonturirnya seperti Ruhut Sitompul, M Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Andi Mallarangeng. Harus diingat para pendiri lebih lekat napas historis partainya dan lebih bertanggung jawab dibandingkan para pemain baru yang oportunis.
Ini yang harus dipastikan SP untuk terus melakukan konsolidasi Partai Nasdem secara lebih baik pasca-eksodus beberapa pengurus penting itu, agar partai ini tidak layu sebelum berkembang. Mati pucuk di tengah zaman.
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Kamis, 31/1/2013
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Nasdem Harus Belajar dari Sejarah Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda