Oleh Hamidulloh Ibda
Direktur Formaci Jateng
Tulisan ini disampaikan dalam
Diskusi Forum Kampus Mahasiswa Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang (Rabu, 9/1/2013).
Tema diskusi “Transformasi nilai-nilai
pendidikan Islam, sebagai upaya mencetak generasi khaira ummah."
Apakah
pendidikan Islam mampu mencetak generasi
khaira ummah? Padahal, di dalam pendidikan Islam ada nilai-nilai yang bisa
menjadi “landasan” untuk mencetak generasi
khaira ummah. Namun, secara faktual, saat ini banyak sekali perilaku
menyimpang terjadi pada pelajar, baik dari kalangan pelajar SD hingga
mahasiswa.
Nilai
merupakan suatu makna terkandung dari setiap perilaku. Muhammad Noor (1986:
133) menjelaskan nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas suatu objek
yang menyangkut suatu jenis minat. Nilai
juga dikatakan sebagai segala sesuatu menarik bagi manusia. Jadi. dapat
disimpulkan bahwa nilai adalah segala sesuatu ketentuan yang telah disepaki
manusia menyangkut kualitas suatu objek.
Dalam
Bahasa Arab, ada beberapa istilah yang berkaitan dengan konsep pendidikan.
Sebagaimana yang dipaparkan Haitami Salim dan Erwin Mahrus (2009:4-9), bahwa
kata ta’lim berasal dari kata ‘allama yang diambil dari bahasa Arab,
lebih sepadan diartikan sebagai pengajaran.
Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab 1
pasal 1 ayat 1 dikemukakan bahwa “Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik dapat aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah suatu usaha yang diwujudkan secara sadar dan terencana untuk
mendewasakan orang lain agar memiliki potensi yang berkualitas dan bermanfaat
bagi diri, masyarakat bangsa dan negara serta memberikan arah hidup yang lebih
baik.
Esensi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan pembentukan kepribadian muslim. Lebih
lanjut Moh. Haitami Salim dan Erwin Mahrus (2009:13) mengemukakan bahwa
pendidikan Islam adalah “upaya sadar
untuk mengubah tingkah laku individu dan kehidupannya ke arah yang lebih baik
dan berarti”.
Pendidikan Islam juga dikatakan sebagai suatu yang bisa menjaga,
memperbaiki, dan menumbuhkan, membina manusia kepada kehidupan lebih baik dan
mengangkat derajat. Dapat disimpulkan, bahwa
pendidikan Islam adalah “sebuah upaya terencana dalam membentuk kepribadian
manusia muslim untuk mengubah tingkah lakunya ke arah yang lebih baik”.
Tujuan
pendidikan Islam adalah menjadi orang yang bertakwa. Untuk menggapai tujuan
tersebut, maka pendidikan harus selalu memaknai tujuan penciptaan manusia. Akan
tetapi, pada pelaksanaannya model atau sistem pendidikan dipengaruhi oleh tipe
masyarakat. Sehingga dalam suatu masyarakat, pendidikan berperan sebagai
subsistem dari sistem keseluruhan.
Nilai-nilai Pendidikan
Islam
Rama Yulis (1994:7) menyimpulkan nilai-nilai yang terkandung di
dalam pendidikan yaitu;
1. Nilai Aqidah (keyakinan) berhubungan secara vertikal dengan
Allah SWT (Hablun Min Allah).
2.
Nilai Syari’ah
(pengalaman) implementasi dari aqidah hubungan horizontal dengan manusia (Hablun Min an-Naas).
3. Nilai Akhlaq (etika vertika horizontal) yang merupakan aplikasi
dari aqidah dan muamalah.
Generasi
Khairal Ummah
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli
kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran
[3]: 110).
Ayat
di atas mengungkapkan bahwa umat Islam adalah umat terbaik di antara umat-umat
lainnya. Sebelum membahas konsep khairuummah ini, akan sedikit kami
jabarkan pengertian tentang ummah. Quraish Shihab, dalam buku Wawasan
al-Quran (1998), menyatakan kata ummah terambil dari kata amma -
yaummu yang berarti “menuju, mampu, dan meneladani”. Dari kata yang sama
lahir kata um yang berarti ibu dan imm yang berarti pemimpin,
karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota
masyarakat.
Lebih
jauh Quraish Shihab menuturkan bahwa ummah mengandung arti gerak
dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup (way of
life). Jika kata ummah dan Islam digabung, maka ia berarti himpunan
manusia yang tidak disatukan oleh tanah air (nasionalisme) atau keturunan
(suku), melainkan disatukan oleh keyakinan, yaitu agama Islam.
Sejatinya,
makna umat Islam ini tidak hanya dimaknai sebagai sesuatu yang statis, yakni
kesatuan agama saja, tapi juga dinamis. Dalam arti, menjadikan Islam sebagai
cara hidup, cara meraih tujuan hidup.
Intelektual
asal Iran, Ali Syariati menjelaskan kata ummah dari kata nation
(bangsa) atau qabilah (suku). Ia mendefinisikan ummah sebagai
himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah,
bahu-membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama.
Khairu
ummah bisa menjadi prestasi gemilang bagi
umat Islam sebagaimana tergambar dalam ayat Allah diatas, apabila karakteristik
khairu ummah terpenuhi. Setidaknya ada tiga karakteristik yang harus
dipenuhi yaitu amar maruf, nahi mungkar dan beriman kepada Allah.
Amar
Maruf
Pertama, senantiasa menyuruh kepada yang maruf. Maruf ialah
nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari Alquran dan sunnah. Maruf, tolok
ukurnya adalah syariah. Baik dan buruk, benar dan salah, harus merujuk kepada
nilai-nilai Ilahi. Menyuruh kepada yang maruf, menegakkan nilai-nilai Ilahi
dalam kehidupan, itulah salah satu karakteristik khairu ummah.
Anjuran
berbuat baik tidak hanya untuk sesama Muslim, tapi juga non-Muslim. Meskipun
berbeda agama, tidak ada larangan dalam Islam menyuruh non-Muslim berbuat baik.
Begitu juga anjuran untuk mencegah kemungkaran. Siapa pun, baik Muslim atau
non-Muslim, jika ia melakukan kezaliman, baik terhadap diri sendiri maupun
masyarakat, harus dicegah sesuai dengan kemampuan. Inilah syarat pertama yang
harus terpenuhi jika umat Islam ingin tampil sebagai umat terbaik.
Nahi
Mungkar
Kedua,
selalu berupaya mencegah kemungkaran. Mungkar, sesuatu yang asing, bertentangan
dan ditolak oleh syariah. Segala sikap, perilaku dan nilai yang tidak selaras
dengan nilai-nilai Islam. Nahi mungkar dan amar maruf, adalah dua hal yang
senafas, karena tidaklah mungkin menyeru kepada kebaikan tanpa diiringi dengan
usaha mencegah kemungkaran.
Amar
maruf dan nahi mungkar, adalah pagar yang melindungi bangunan Islam, demikian
syaikh Said Hawwa menggambarkan posisinya dalam bangunan keutuhan Islam. Jika
umat Islam sudah beramar maruf dan bernahi mungkar dengan benar serta
nilai-nilai Islam memancar dalam tingkah laku dan perbuatan mereka karena
menjadikan Islam sebagai konsep hidup, maka insya Allah umat Islam akan menjadi
khaira ummah.
Beriman
Kepada Allah SWT
Dan
semua itu, dibingkai dan dilandasi dengan keimanan kepada Allah. Ini menjadi
karakteristik ketiga khaira ummah. Landasan inilah yang mengikat
aktifitas amar maruf nahi mungkar. Tanpa iman, seruan kepada kebaikan
adalah hampa dan tanpa nilai. Bila pun memiliki nilai, sangatlah rendah dan
dangkal, karena seruan itu berlandaskan pada nilai-nilai duniawi dan materi.
Begitu pula apabila nahi mungkar tidak diikat oleh keimanan, ia bisa menjadi
ajang balas dendam, pelampiasan kebencian dan kedengkian. Menghapus kedzaliman
harus dengan keadilan. Kedzaliman tidak bisa lenyap dengan kedzaliman.
Umat
Islam akan tampil sebagai umat terbaik, jika keimanan kepada Allah tidak hanya
terjelma dalam bentuk ritual semata, tapi juga menjadi konsep hidup, baik
hubungan individual maupun sosial mulai dari lingkup keluarga sampai
masyarakat, baik lokal, regional maupun internasional. Konsep yang diajarkan
Islam dalam hidup bersama adalah berbuat baik terhadap orang lain, bukan
menyakiti. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, (TQS. Al-Qashash [28]: 77).
Itulah
karakteristik khaira ummah. Apabila kita melihat ketidaksesuaian realita
umat dengan kondisi ideal tersebut, saatnya kita bertanya, sudahkah ketiga
kondisi itu menjadi karakter diri, keluarga dan masyarakat kita? Saatnya kita
memperbaiki diri dan menyeru sesama.
Terlepas
dari itu, apakah saat ini pelajar sudah menjadi generasi khaira ummah?
Mari
kita diskusikan.
Rujukan
Alquran dan terjemahnya
Alquran dan terjemahnya
Rama Yulis.
1994. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Kalam Mulia.
S. Nasution. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif.
Bandung: Tarsito.
Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Tim Penyusun Kamus. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment