Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday 3 November 2013

Hukuman Mati untuk Akil



Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat di Koran Pagi Wawasa, 11 Oktober 2013


Memalukan dan memprihatinkan. Hanya dua kata ini yang tepat diungkapkan untuk menanggapi tragedi tertangkapnya Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Melakukan bagi MK dan dunia hukum Indonesia, dan memprihatinkan bagi kondisi politik Indonesia serta tak ada lagi rasa takut untuk melakukan suap ataupun korupsi. Bahkan, ketua MK pun ikut melakukan kejahatan yang merugikan MK dan dirinya sendiri.
Pengumuman penetapan status tersangka itu, dilakukan Ketua KPK Abraham Samad bersamaan waktunya dengan penetapan status tersangka anggota Komisi II DPR RI berasal dari Fraksi Golkar Chairun Nisa. Akil Mochtardan Chairun Nisa ditetapkan sebagai tersangka selaku penerima, diduga melanggar pasal 12 huruf c jo pasal 55 ayat 1 ke-1 atau pasal 6 ayat 2 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal 12 huruf c adalah mengenai hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. Pasal 6 ayat 2 adalah menerima pemberian atau janji sebagaimana dari pemberian sesuatu sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp750 juta (Kompas, 5/10/2013).
Tragedi tersebut semakin membuat masyarakat Indonesia marah dan mengutuk keras pemimpin palsu. Padahal, pemimpin apa saja di negeri harus orisinil, jujur, revolusioner dan bebas korupsi. Kalau terbukti melakukan korupsi, berarti dia adalah “pemimpin abal-abal”. Begitu pula dengan tragedi yang menimpa Akil Mochtar Ketua MK. Dengan jelas, Akil adalah fenomena “pemimpin palsu” yang menduduki jabatan tertinggi di MK. Jika semua pemimpin di negeri ini seperti Akil, maka kiamat pasti tak akan lama terjadi.
Badai Korupsi
Tertangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar, membuat publik marah besar. Padahal, selama ini, selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), MK dianggap lembaga yang bersih dan antikorupsi. Namun, kenyataan berkata lain, karena dengan ditangkapnya Akil Mochtar dalam kasus dugaan suap membuktikan bahwa MK juga melakukan korupsi. Banyak yang berpendapat bahwa dengan ditangkapnya Akil adalah ibarat “badai besar” atau sederhananya disebut “badai konstitusi.”
Tak ada yang tak kaget dengan tertangkapnya Akil. Begitu KPK mengumumkan hasil operasi tangkap tangan, publik marah dan menyimpulkan bahwa semakin lama Indonesia dipenuhi koruptor. Bahkan, ketua MK pun ikut korupsi. Sungguh badai ini bukan sekadar badai, melainkan ini adalah tanda-tanda kiamat bagi Indonesia. Sangat ironis jika pemimpin di negeri ini tak memberi contoh baik kepada rakyatnya. Dan Akil memberikan contoh yang tak pantas ditiru.
Jauh sebelum penangkapan Akil, Ketua Mahkamah Agung (MA) periode 2009-2012 Harifin Tumpa pernah merasakan kekhawatiran terhadap nasib hukum dan MK. Kegundahan itu tertulis jelas dalam bukunya. Kini, ramalannya pun terbukti bahwa Ketua MK tertangkap KPK saat mengadili sengketa Pilkada. Ramalan itu dia tulis dalam buku biografi “Pemukul Palu dari Delta Sungai Walanea”. Dalam Bab “Bara Curiga Komisi Yudisial”, pria kelahiran Soppeng, Sulawesi Selatan (Sulsel) ini mengungkap institusi MA saat diserang oleh berbagai lembaga negara kurun 2006 silam. Yaitu usulan pengocokan ulang hakim agung yang pernah diusulkan oleh KY.
Mahfud MD, saat itu anggota Komisi III DPR, menyatakan bahwa kasus pemilihan kepala daerah di Depok dan Lampung bisa jadi cerminan bahwa betapa tidak konsistennya penegakan hukum di Indonesia. Lantas Harifin mengutip pernyataan Mahfud MD yaitu seluruh hakim agung yang berjumlah 49 orang harus diseleksi dan diuji kembali, karena masyarakat menilai hampir semuanya tidak ada yang bersih dan praktik mafia peradilan merajalela. Entah kebetulan atau tidak, setahun setelah buku itu diluncurkan, KPK menggelandang Ketua MK Akil Mochtar dengan segepok uang miliaran rupiah. Uang itu diduga kuat terkait sengketa pilkada.
Terlepas dari ramalan itu, yang jelas kejahatan Akil harus diadili setegasnya. Bahkan, banyak kalangan berpendapat bahwa Akil pantas dihukum mati. Mengapa hukuman mati? Karena kejahatan yang dilakukan Akil sudah melawati batas etika hukum dan keadilan. Apalagi, dia adalah ketua MK yang seharusnya menjadi contoh baik bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat hukum.
Hukuman Mati
Selama ini hukuman mati untuk koruptor masih menjadi perdebatan. Namun, dengan tragedi Akil Mochtar sang ketua MK yang melakukan kejahatan besar, maka sangat logis dan mengharuskan bahwa hukuman mati untuk koruptor harus segera direalisasikan. Lebih hebat lagi, jika pemerintah berani menerapkan hukuman mati terhadap Akil sebagai penerima hukuman mati pertama kali di Indonesia. Kalau pemerintah tak berani, berarti ketegasan di negeri ini memang “diragukan”.
Sebelumnya, gejala suap di persidangan MK memang tak terasa. Namun, selentingan bahwa hakim MK bisa dimainkan kerap muncul di media.  Apalagi bila menelaah beberapa putusan tentang sengketa pilkada yang dinilai janggal. Dalam proses memang tidak terlalu kelihatan meski kadang ada indikasi aneh dalam beberapa kasus. Dalam kasus ini, yang sangat marah dengan tertangkap tangannya ketua MK adalah para mantan penggawa penjaga konstitusi.
Bahkan, dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi, mantan Ketua MK, Jimly Asshidqie, tampak sangat kecewa. Saking kecewanya, Jimly menyarankan kepada KPK agar menuntut Akil seberat mungkin. Bahkan, bila perlu, tuntutannya adalah hukuman mati. Bagi Jimly, MK adalah benteng tertinggi dari penegakan hukum. Mahkamah adalah penjaga napas dan semangat konstitusi. Bila penjaga konstitusi, yang merupakan ruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah rusak dan korup, keadilan tinggal omong kosong. Atas dasar itulah, ia menyarankan Akil dihukum seberat mungkin (Koran Tempo, 5/10/2013).
Tak jauh berbeda, mantan Ketua MK pengganti Jimly, Mahfud MD, juga mengaku sangat kecewa. Ia bahkan nyaris tak percaya Akil yang selama ini ia anggap bersih ternyata berbuat “lancung”. Dengan tertangkap tangannya Akil, MK bakal mengalami semacam gempa bumi. Lembaga penjaga konstitusi yang selama ini dipercaya publik begitu transparan, ternoda oleh nila setitik. Nila itulah yang bakal merusak citra MK secara keseluruhan.  Mahfud juga sepakat dengan Jimly bila Akil dituntut hukuman seberat mungkin.
Atas tanggapan tokoh hukum dan mantan ketua MK di atas, seharusnya hukuman mati harus segera direalisasikan. Namun, yang pasti, ditangkapnya Akil hanya kian menyempurnakan pandangan publik bahwa semua lembaga negara di negeri ini sudah terjangkit virus korupsi. Dengan kewenangannya yang tak terbatas dan dengan sifat putusannya yang final mengikat, MK adalah satu-satunya lembaga yang tidak bisa diawasi. Mahkamah juga satu-satunya lembaga yang memutuskan perkara untuk dirinya sendiri. Ini membuat MK sebagai satu-satunya lembaga yang paling empuk dan nyaman untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Namun, dengan kondisi yang demikian, sangat logis, rasional dan urgen jika hukuman mati diberikan kepada Akil. Saat ini masyarakat membutuhkan tindakan hukum yang revolusioner untuk mengadili Akil. Maka, alternatif yang paling nyata untuk menegakka hukum dan keadilan adalah menghukum mati Akil. Apakah pemerintah berani? Kita tunggu saja!
-Penulis adalah Pengikrar Kaum Muda Antikorupsi, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Hukuman Mati untuk Akil Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda