Oleh
Hamidulloh Ibda
Tulisan
ini dimuat di Tribun Jateng, Rabu 4 April 2017
Bangsa
berkualitas adalah yang budaya bacanya tinggi. Negara Amerika, Kanada, Jepang,
bisa maju karena masyarakatnya rajin membaca dan “memanusiakan buku”. Sementara
di Indonesia, buku, skripsi, tesis, dan disertasi dijual ke tukang rosokan,
koran juga dijual untuk bungkus nasi kucing. Budaya ini sangat “menistakan”
ilmu pengetahuan. Bagaimana bangsa bisa maju jika ilmu pengetahuan dinistakan?
Kualitas
sumber daya manusia (SDM) selain ditopang pendidikan juga ditentukan budaya baca.
Banyak kaum akademik mengalami “stagnasi intelektual” karena merasa pintar dan
tak melestarikan budaya baca. Jika kaum akademik saja bisa stagnan, lalu
bagaimana masyarakat biasa?
Kecerdasan
seorang tak ditentukan pendidikan yang ditempuh, melainkan dari budaya baca.
Maka, sekolah tidak sekolah, masyarakat harus memastikan ia harus “membaca”
agar mendapat ilmu pengetahuan. Sebab, belajar bisa di mana saja dan tak
terikat lembaga formal.
Budaya
modern menjadikan masyarakat tidak “memanusiakan” buku, koran, majalah, kitab
suci bahkan “rambu-rambu” lalu lintas. Lantaran kurang “jeli” dan tak membaca,
maka banyak yang melanggar aturan lalu lintas, padahal sudah ada
rambu-rambunya. Artinya, pesan singkat di jalan raya saja amat penting, apalagi
yang dibaca buku dan koran, pasti mencerahkan.
Peradaban Medsos
Era
digital menggiring masyarakat lebih intens menonton televisi, bermain game, dan media sosial (medsos), baik
itu Fecebook, Twitter, Instagram, dan layanan pesan seperti WhatsApp,
Blackberry Messenger, Line dan lainnya. Pengguna Facebook di Indonesia pada
2015 mencapai 82 juta orang dan sampai Oktober 2016 mencapai 88 juta pengguna. Sementara
pengguna WhatsApp sebanyak 1 miliar pengguna, Messenger sebanyak 1 miliar dan
Instagram sebanyak 500 juta pengguna (Kompas, 20/10/2016).
Data
tersebut menunjukkan bangsa ini dalam “peradaban medsos”. Ironisnya, budaya membaca
di Indonesia rendah. Hasil survei Central Connecticut State University menempatkan
Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara terkait minat baca.
Budaya
baca anak-anak juga rendah karena kalah dengan budaya menonton televisi. USAID
Prioritas pada Maret 2016 merillis rata-rata orang Indonesia melihat televisi
perhari selama 300 menit, padahal di negara maju hanya 60 menit. Hasil
penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015
tentang kemampuan membaca siswa juga menyebutkan kemampuan membaca siswa di
Indonesia berada di urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei.
Dunia
modern disikapi “berlebihan” oleh masyarakat. Padahal, alat-alat modern bisa menyimpan
file-file berupa e-book, e-paper,
e-journal, dan lainnya. Namun, membaca buku, majalah, koran, jurnal lebih
nyaman daripada membaca file di layar ponsel.
Pemerintah
melalui Kemendikbud telah merespon hal itu. Sebab, minimnya kemampuan literasi
pelajar menghambat proses pembelajaran dan peningkatan kualitas pendidikan.
Maka Kemendikbud tak lama ini mengeluarkan peraturan membaca 15 menit di awal
pembelajaran sebagai wahana penumbuhan budi pekerti. Budaya baca menopang
peradaban bangsa, baik di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan sains. Tanpa
ada “kutu buku”, Indonesia dipastikan menjadi terbelakang.
Bulan
April selain dirayakan sebagai “bulan Kartini” juga diperingati sebagai “bulan
buku” karena tanggal 23 April 2017 ini dirayakan Hari Buku Sedunia. Di bulan
April, banyak kegiatan mengampanyekan budaya baca, mulai dari pameran/bazar
buku, donor buku, lomba menulis, baca puisi dan lainnya. Kegiatan ini harus
disambut baik untuk menggampanyekan budaya baca.
Literasi Membaca
Dalam
teori catur tunggal bahasa, membaca hanya bagian dari keterampilan berbahasa. Tarigan
(1990: 1) menjelaskan keterampilan berbahasa (languange skills) meliputi empat aspek, yaitu keterampilan menyimak/mendengarkan
(listening skills), keterampilan berbicara
(speaking skills), keterampilan
membaca (reading skills) dan
keterampilan menulis (writing skills).
Keempat aspek itu menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dan kemampuan membaca
merupakan dasar menguasai berbagai ilmu.
Selama
ini “gerakan literasi” bergelora di mana-mana. Namun, kebanyakan orang menganggap
literasi hanya membaca. Padahal, literasi sangat kompleks, bisa berupa ilmu dan
praktik. Lipton dan Hubble (2016:13) menjelaskan literasi dikategorikan secara
ilmu dan secara praktis/karya literasi. Literasi bermakna lebih luas dari
kemampuan elementer membaca, menulis dan berhitung. Namun, literasi dalam
pengertian modern mencakup kemampuan berbahasa, berhitung, memaknai gambar,
melek komputer dan upaya mendapatkan ilmu pengetahuan.
Di
abad milenium ini, budaya medsos, serangan berita hoax dan fake melahirkan
“generasi milenial” yang mudah kagum dan bosan. Mereka instan, tak mau belajar
“ilmu membaca” dan “karya baca”. Padahal, gempuran modernisasi mengharuskan kita
menjadi “pembelajar literasi”.
Budaya
baca harus dimulai dari kalangan terdidik. Di sekolah/kampus, guru dan dosen
harus mengajak pelajar dan mahasiswa membaca buku, koran, karya sastra, dan
menonton video. Setelah dibaca dan dilihat, mereka diajak diskusi agar tercipta
pemahaman dari objek bacaan.
Lembaga
pendidikan dan pemerintah harus memberikan “edukasi baca” dan kampanye “budaya
literasi”. Membaca menurut Haryadi (2008: 184) dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
model, metode dan teknik membaca. Ketiganya bisa diterapkan untuk mendorong
minat baca, karena membaca butuh kemampuan.
Menjadi
pembaca baik dan kritis harus paham perbedaan model, metode dan teknik membaca.
Masing-masing memiliki perbedaan dasar, karena tujuan, konsep dan caranya beda.
Jika hal itu dipahami, maka membaca berita hoax
seperti apapun, masyarakat tak mudah diadu domba.
Prinsip
“humanisme ekonomi” harus diterapkan. Artinya, masyarakat tak sekadar mementingkan
“memberi makan” ponsel karena harus membeli “kuota internet” tiap minggu. Uang itu
jika dibelikan buku pasti dapat banyak, apalagi saat pameran/bazar karena harganya
lebih murah.
0 komentar:
Post a Comment