Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday 27 April 2017

Menanti Produktivitas Guru Besar



Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Duta Masyarakat Selasa 4 April 2017

Akademisi harus selalu produktif dan tidak boleh bermalas-malasan. Meski berat, menuntut ilmu dan meningkatkan kualitas selalu menjadi muara dalam hidup. Begitu pula seorang profesor atau guru besar yang dewasa ini diusik karena peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah. Meskipun sudah profesor, akan tetapi bukan berarti berhenti berkarya, stagnan dan menikmati zona nyaman. Sebab, menjadi profesor adalah “amanah besar” yang tidak semua umat Islam mendapatkan posisi tersebut.

Jika tidak memenuhi syarat, tunjangan profesi dosen yang sudah doktor dan profesor akan dicabut. Sebab, Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 20/2017 tentang “Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor” mengancam dosen guru besar dan lektor kepala. Sebagian profesor menilai Permenristekdikti itu memberatkan.

Permenristekdikti No 20/2017 secara redaksional memang mengancam tunjangan profesor. Peraturan itu mensyaratkan dosen guru besar dan dosen lektor kepala harus memiliki minimal satu jurnal internasional dan tiga jurnal terakreditasi nasional, serta satu buku atau karya cipta dalam kurun tiga tahun. Terobosan tujuannya “menggenjot” dosen produktif menulis.

Asumsi “ancaman pencabutan” tersebut sebenarnya logis karena selama ini belum ada aturan tegas mendorong guru besar produktif menulis di jurnal ilmiah. Sebab, ada ancaman pencabutan tunjangan profesi dosen, apalagi, Kemenristekdikti akan mengevaluasi tahap pertama pada November 2017 mendatang.

Sebagian profesor ada yang menilai penerapan regulasi itu tanpa ada waktu persiapan dan hanya “kebut tayang”. Yang jelas, para kaum akademik tidak mau menjadi “kelinci percobaan”. Namun, mau tidak mau dan bisa tidak bisa, dosen yang sudah mencapai jabatan fungsional lektor kepala dan guru besar wajib memenuhinya. Jika tidak, maka tunjangan mereka dicabut yang besarannya dua kali gaji pokok.

Ancaman atau Dorongan?
Dalam Permenristekdikti tersebut, dosen wajib menulis sedikitnya tiga karya ilmiah yang diterbitkan jurnal nasional terakreditasi/sedikitnya satu karya ilmiah yang diterbitkan jurnal internasional selama kurun waktu tiga tahun. Mereka juga wajib menghasilkan buku/paten, dan karya seni monumental/desain monumental dalam kurun waktu yang sama, terhitung November 2015-November 2017.

Jika terbiasa menulis dan meneliti, Permenristekdikti 20/2017 tidak menjadi ancaman, melainkan dorongan. Tanpa adanya Permenristekdikti itu, jika produktif menulis, mereka pasti menyambutnya dengan gembira. Namun jika tidak produktif, pasti menjadi ancaman. Beban itu semakin berat karena kebanyakan dosen lektor kepala dan guru besar mendapat jabatan struktural tambahan, seperti Rektor, Direktur Pascasarjana, Dekan, Ketua Prodi dan lainnya.

Sejak jenjang sarjana, menulis dan meneliti sudah digelorakan. Selain makalah, mahasiswa juga menulis skripsi, dan tesis serta disertasi untuk magister dan doktor. Masalah inti tidak pada “kemampuan”, namun pada “kemauan” menulis, waktu, dan produktivitas serta jumlah jurnal terakreditasi dan terindeks Scopus.

Regulasi itu harus menjadi pemicu berkarya lebih banyak lagi. Sebab, guru besar menurut Dandan Supratman (2014) adalah kiblat ilmu bagi peneliti dan pendidik. Jika tidak memenuhi Permenristekdikti tersebut, maka akan menurunkan “derajat estetik” seorang guru besar. Apalagi, profesor dan doktor bagi kampus adalah “aset berharga” dan menjadi rujukan ilmiah, perumus ilmu, dan menentukan bargaining position kampus.

Semakin banyak dosen doktor dan profesor, maka suatu kampus semakin bermutu. Hal itu tentu harus diimbangi karya besar yang jelas manfaatnya bagi masyarakat, menawarkan ide baru, brilian, kontemporer dan menjawab tantangan zaman. Sebab, seilmiah apapun karya profesor jika tidak menjawab tantangan zaman, maka hanya menjadi “pepesan kosong”.


Karya Besar
Tidak pantas disebut “guru besar” jika belum melahirkan “karya besar”. Mengapa? Sebab, guru besar tidak sekadar jabatan fungsional belaka, namun memiliki tanggungjawab besar bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni (IPTEKS). Selama ini, orientasi dosen menulis hanya mengejar “cum credit”, jabatan fungsional, sertifikasi dosen (serdos) serta tunjangan.

Diakui atau tidak, sealam ini masih sedikit tulisan guru besar yang menawarkan solusi atas problem sosial dan menyentuh akar rumput. Kebanyakan, mereka hanya menulis sesuai bidang ilmu dan kepakarannya. Hal itu juga hanya untuk “kepentingan kampus” dan belum bisa dinikmati masyarakat kampus saja. Apakah tugas profesor hanya memajukan dunia akademik? Tentu tidak. Pasal 49 Ayat 2 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), menjelaskan profesor memiliki kewajiban menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.

Sesuai UUGD, profesor adalah “pencerah”. Lewat gagasannya, profesor diharapkan melahirkan karya besar yang berisi tawaran solusi nyata dan jangka panjang atas problem bangsa. Dalam penulisan buku-buku, selama ini profesor lebih “mentereng” menjadi sosok yang memberikan “Kata Pengantar, Prakata, Prolog dan Endorsmen” saja. Padahal penulisnya hanya lulusan S2, S1 bahkan SMA dan orang biasa. Hal ini kurang tepat, karena tugas profesor tidak sekadar validasi, namun juga berinovasi sesuai tradisi akademik.

Apakah profesor selama ini tidak produktif menulis? Fakta menunjukkan, dari sekitar ribuan profesor yang ada, sedikit sekali yang rajin menulis dalam jurnal ilmiah. Padahal tugas mereka memenuhi Tri Darma Perguruan Tinggi. Apalagi, jumlah profesor di Indonesia sampai 2015 sekitar 5.097 orang (Forlap Dikti, 2015). Sementara dosen S3, Musliar Kasim (2015) mencatat jumlahnya 75.000 orang.

Jika mereka rajin menulis, dipastikan jumlah profesor tiap tahun bertambah. Dari jumlah itu, jika mereka memiliki karya besar, maka problem bangsa bisa teratasi dan tidak akan muncul Permenristekdikti 20/2017. Sebab, “menjaga tradisi” ilmiah lebih penting setelah menjadi doktor/profesor. Bukan aktif menulis ketika mengejar syarat untuk menjadi doktor/profesor.

Andreas Lako (2017) menjelaskan Permenristekdikit 20/2017 adalah langkah pemerintah mendorong dosen produktif bekerja. Sebab, ada perbedaan paradigma, di mana serdos di era Presiden SBY menggunakan paradigma kesejehteraan. Di era Presiden Jokowi, sertifikasi dan jabatan fungsional berbasis kinerja. Perlu pemahaman mendalam bahwa regulasi baru itu memicu produktivitas menulis.

Dosen lektor kepala dan guru besar harus “gembira” dan menyambut sinyal positif Permenristekdikti 20/2017. Masalahnya bukan karena faktor “kemampuan”, namun lebih pada kemauan, waktu, produktivitas dan konsistensi. Jika benar-benar dosen, tanpa adanya Permenristekdikti pun, mereka pasti produktif menulis. Itu pasti!

Profesor sebagai dosen yang sudah menempati “tahta ilmu”, tidak bisa bersantai-santai karena dituntut memenuhi Permenristekdikti tersebut. Jika mereka berargumen tidak mampu, lalu kepada siapa lagi kaum akademik akan bertumpu?
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Menanti Produktivitas Guru Besar Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda