Oleh
Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Duta Masyarakat Selasa 4 April 2017
Tulisan ini dimuat di Duta Masyarakat Selasa 4 April 2017
Akademisi harus selalu produktif dan tidak boleh
bermalas-malasan. Meski berat, menuntut ilmu dan meningkatkan kualitas selalu
menjadi muara dalam hidup. Begitu pula seorang profesor atau guru besar yang
dewasa ini diusik karena peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah. Meskipun
sudah profesor, akan tetapi bukan berarti berhenti berkarya, stagnan dan
menikmati zona nyaman. Sebab, menjadi profesor adalah “amanah besar” yang tidak
semua umat Islam mendapatkan posisi tersebut.
Jika tidak memenuhi syarat, tunjangan profesi dosen
yang sudah doktor dan profesor akan dicabut. Sebab, Peraturan Menteri Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 20/2017 tentang
“Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor” mengancam
dosen guru besar dan lektor kepala. Sebagian profesor menilai Permenristekdikti
itu memberatkan.
Permenristekdikti No 20/2017 secara redaksional
memang mengancam tunjangan profesor. Peraturan itu mensyaratkan dosen guru
besar dan dosen lektor kepala harus memiliki minimal satu jurnal internasional
dan tiga jurnal terakreditasi nasional, serta satu buku atau karya cipta dalam
kurun tiga tahun. Terobosan tujuannya “menggenjot” dosen produktif menulis.
Asumsi “ancaman pencabutan” tersebut sebenarnya
logis karena selama ini belum ada aturan tegas mendorong guru besar produktif
menulis di jurnal ilmiah. Sebab, ada ancaman pencabutan tunjangan profesi dosen,
apalagi, Kemenristekdikti akan mengevaluasi tahap pertama pada November 2017
mendatang.
Sebagian profesor ada yang menilai penerapan
regulasi itu tanpa ada waktu persiapan dan hanya “kebut tayang”. Yang jelas,
para kaum akademik tidak mau menjadi “kelinci percobaan”. Namun, mau tidak mau
dan bisa tidak bisa, dosen yang sudah mencapai jabatan fungsional lektor kepala
dan guru besar wajib memenuhinya. Jika tidak, maka tunjangan mereka dicabut
yang besarannya dua kali gaji pokok.
Ancaman
atau Dorongan?
Dalam Permenristekdikti tersebut, dosen wajib
menulis sedikitnya tiga karya ilmiah yang diterbitkan jurnal nasional
terakreditasi/sedikitnya satu karya ilmiah yang diterbitkan jurnal
internasional selama kurun waktu tiga tahun. Mereka juga wajib menghasilkan
buku/paten, dan karya seni monumental/desain monumental dalam kurun waktu yang
sama, terhitung November 2015-November 2017.
Jika terbiasa menulis dan meneliti,
Permenristekdikti 20/2017 tidak menjadi ancaman, melainkan dorongan. Tanpa adanya
Permenristekdikti itu, jika produktif menulis, mereka pasti menyambutnya dengan
gembira. Namun jika tidak produktif, pasti menjadi ancaman. Beban itu semakin
berat karena kebanyakan dosen lektor kepala dan guru besar mendapat jabatan
struktural tambahan, seperti Rektor, Direktur Pascasarjana, Dekan, Ketua Prodi
dan lainnya.
Sejak jenjang sarjana, menulis dan meneliti sudah
digelorakan. Selain makalah, mahasiswa juga menulis skripsi, dan tesis serta
disertasi untuk magister dan doktor. Masalah inti tidak pada “kemampuan”, namun
pada “kemauan” menulis, waktu, dan produktivitas serta jumlah jurnal terakreditasi
dan terindeks Scopus.
Regulasi itu harus menjadi pemicu berkarya lebih
banyak lagi. Sebab, guru besar menurut Dandan Supratman (2014) adalah kiblat
ilmu bagi peneliti dan pendidik. Jika tidak memenuhi Permenristekdikti
tersebut, maka akan menurunkan “derajat estetik” seorang guru besar. Apalagi,
profesor dan doktor bagi kampus adalah “aset berharga” dan menjadi rujukan
ilmiah, perumus ilmu, dan menentukan bargaining
position kampus.
Semakin banyak dosen doktor dan profesor, maka suatu
kampus semakin bermutu. Hal itu tentu harus diimbangi karya besar yang jelas manfaatnya
bagi masyarakat, menawarkan ide baru, brilian, kontemporer dan menjawab
tantangan zaman. Sebab, seilmiah apapun karya profesor jika tidak menjawab
tantangan zaman, maka hanya menjadi “pepesan kosong”.
Karya
Besar
Tidak pantas disebut “guru besar” jika belum
melahirkan “karya besar”. Mengapa? Sebab, guru besar tidak sekadar jabatan
fungsional belaka, namun memiliki tanggungjawab besar bagi pengembangan Ilmu
Pengetahuan Teknologi dan Seni (IPTEKS). Selama ini, orientasi dosen menulis
hanya mengejar “cum credit”, jabatan fungsional, sertifikasi dosen (serdos)
serta tunjangan.
Diakui atau tidak, sealam ini masih sedikit tulisan
guru besar yang menawarkan solusi atas problem sosial dan menyentuh akar rumput.
Kebanyakan, mereka hanya menulis sesuai bidang ilmu dan kepakarannya. Hal itu
juga hanya untuk “kepentingan kampus” dan belum bisa dinikmati masyarakat
kampus saja. Apakah tugas profesor hanya memajukan dunia akademik? Tentu tidak.
Pasal 49 Ayat 2 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD),
menjelaskan profesor memiliki kewajiban menulis buku dan karya ilmiah serta
menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.
Sesuai UUGD, profesor adalah “pencerah”. Lewat
gagasannya, profesor diharapkan melahirkan karya besar yang berisi tawaran
solusi nyata dan jangka panjang atas problem bangsa. Dalam penulisan buku-buku,
selama ini profesor lebih “mentereng” menjadi sosok yang memberikan “Kata
Pengantar, Prakata, Prolog dan Endorsmen” saja. Padahal penulisnya hanya
lulusan S2, S1 bahkan SMA dan orang biasa. Hal ini kurang tepat, karena tugas
profesor tidak sekadar validasi, namun juga berinovasi sesuai tradisi akademik.
Apakah profesor selama ini tidak produktif menulis?
Fakta menunjukkan, dari sekitar ribuan profesor yang ada, sedikit sekali yang
rajin menulis dalam jurnal ilmiah. Padahal tugas mereka memenuhi Tri Darma
Perguruan Tinggi. Apalagi, jumlah profesor di Indonesia sampai 2015 sekitar
5.097 orang (Forlap Dikti, 2015). Sementara dosen S3, Musliar Kasim (2015)
mencatat jumlahnya 75.000 orang.
Jika mereka rajin menulis, dipastikan jumlah
profesor tiap tahun bertambah. Dari jumlah itu, jika mereka memiliki karya
besar, maka problem bangsa bisa teratasi dan tidak akan muncul
Permenristekdikti 20/2017. Sebab, “menjaga tradisi” ilmiah lebih penting
setelah menjadi doktor/profesor. Bukan aktif menulis ketika mengejar syarat
untuk menjadi doktor/profesor.
Andreas Lako (2017) menjelaskan Permenristekdikit
20/2017 adalah langkah pemerintah mendorong dosen produktif bekerja. Sebab, ada
perbedaan paradigma, di mana serdos di era Presiden SBY menggunakan paradigma
kesejehteraan. Di era Presiden Jokowi, sertifikasi dan jabatan fungsional
berbasis kinerja. Perlu pemahaman mendalam bahwa regulasi baru itu memicu
produktivitas menulis.
Dosen lektor kepala dan guru besar harus “gembira”
dan menyambut sinyal positif Permenristekdikti 20/2017. Masalahnya bukan karena
faktor “kemampuan”, namun lebih pada kemauan, waktu, produktivitas dan
konsistensi. Jika benar-benar dosen, tanpa adanya Permenristekdikti pun, mereka
pasti produktif menulis. Itu pasti!
Profesor sebagai dosen yang sudah menempati “tahta
ilmu”, tidak bisa bersantai-santai karena dituntut memenuhi Permenristekdikti tersebut.
Jika mereka berargumen tidak mampu, lalu kepada siapa lagi kaum akademik akan
bertumpu?
0 komentar:
Post a Comment