Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday 27 April 2017

Konsep Pendidikan Kartini


Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Satelit Post, Selasa 25 April 2017


Hakikat pendidikan secara konseptual memiliki karakter perempuan, keibuan, kepengasuhan. Namun selama ini masih sedikit orang yang memahami hal itu karena pendidikan selama ini masih terbelenggu dalam “regulasi” yang njelimet, teknis, birokratis, prosedural. Wajar saja output pendidikan melahirkan orang yang cerdas namun miskin moral. Kaya ilmu namun sporadis dalam bertindak. Mereka hanya cerdas intelektual, namun miskin spiritual dan emosional.

Mengapa demikian? Masyarakat sekolah dan kampus masih belum memahami pendidikan secara radikal, baik secara filosofis, teoretis dan praktis. Mereka bukan lagi bermental “akademisi” dan “ilmuwan”, melainkan bermental “praktisi” dan “petugas administrasi. Sistem lah yang mendesain mereka seperti itu. Hal itu tidak bisa disalahkan karena pendidikan memang kompleks.

Dangkalnya orang memahami pendidikan hanya yang formal “persekolahan” saja membuat pembelajaran stagnan. Namun pendidikan yang berada di luar regulasi pendidikan tidak dianggap sebagai “pendidikan”. Banyak entitas kehidupan yang sebenarnya menjadi “sekolah” bagi manusia, bisa kebudayaan, kesenian, jurnalistik dan sebagainya.

Konsep Kartini
Peran dan pengaruh Kartini dalam pendidikan di Indonesia sangat besar. Apalagi, Armijn Pane pada 1922 menulis buku  yang disajikan dalam bahasa Melayu berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang diterbitkan Balai Pustaka. Buku tersebut menjadi ideologi pembebasan kaum perempuan dari kebodohan dan ketertinggalan pendidikan. Maka sudah seharusnya pendidikan di Indonesia mengadopsi pola, karakter, budaya, dan juga falsafah Kartini.

Pendidikan, baik menggunakan pendekatan pedagogi maupun andragogi, hakikatnya mengajarkan kesabaran laiknya perempuan atau ibu, seperti halnya Kartini yang saat itu memberantas buta aksara pada kaum hawa. Secara bahasa, pendidikan diambil dari Bahasa Arab “tarbiah”, satu akar katanya yaitu “rabbun”. Mengapa rabbun? Mengapa tidak sifat Allah yang lain, seperti “ilahun, kabirun, akbarun”, dan lainnya?

Rabbun, secara teks, ia terdiri atas huruf hijaiyah “ra” dan “ba” yang semuanya sejajar, bahkan ia datar. Berbeda misalnya dengan ilahun yang semuanya berdiri kecuali “ha”. Ini menandakan, bahwa rabbun ia adalah mengasuh, membimbing. Tarbiah merupakan manifestasi sifat kepengasuhan Allah kepada makhluknya. Artinya, Allah menampung semua apa saja yang ada pada manusia, marahnya, dosanya, kacaunya manusia dan lainnya.

Kerangka ini menegaskan bahwa pendidikan harus “menampung” semua kacaunya anak didik. Ia seperti ibu, berkarakter sabar, membimbing, dan juga memiliki kecenderungan seperti ibu. Dalam kajian gender, perempuan diidentikkan laiknya tanah, ia seperti “siti”, yang wajib ditanami oleh petani. Jika tanaman bagus, dipupuk, disiram, maka hasilnya juga bagus. Konsep seperti ini memang jarang dipahami oleh kalangan pendidik, baik itu guru dan dosen.

Di perguruan tinggi negeri Islam seperti UIN, IAIN, STAIN, fakultas pendidikan adalah “fakultas tarbiah” yang sekarang berkonversi sesuai nomenklatur dari Kemenag menjadi fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan. Hal itu juga selaras dengan spirit Islam bahwa tarbiyah atau tarbiah sudah sesuai dengan anjuran Alquran ayat 122 Surat Albaqarah yang menjelaskan tentang konsep tarbiah.


Spirit Kartini
Kartini, dalam konteks pemberdayaan perempuan sudah diakui dunia. Bahkan, pahlawan nasional asal Kota Ukir tersebut menjadi tokoh perempuan yang berpengaruh di dunia. Namun, ia sebenarnya sangat sederhana, egaliter, bahkan namanya cukup disematkan “Kartini” saja tanpa embel-embel “Raden Ajeng (RA)” di depan namanya. Maka Pramoedya Ananta Toer pernah menulis buku “Panggil Aku Kartini Saja”. Hal itu membuktikan kesederhanaan sosok Kartini, meskipun ia berdarah biru, namun hatinya seluar birunya laut yang semuanya berposisi sama.

Spirit Kartini adalah “menerangkan yang gelap”. Begitu pula dengan guru, karena pada hakikatnya guru tidak sekadar menjadi teachers (pengajar) atau (pendidik) educator, tetapi guru harus menjadi manusia berbudaya, menyenangkan, penuh canda, menguasai konsep pembelajaran, tata letak ruang kelas, memberikan teladan, menjadi motivator, menjadi idola, selalu menciptakan kegembiraan bagi siswanya dan sebagainya.

Guru saat ini juga dituntut menjadi manusia ideal, karena guru super adalah dambaan peserta didik. Jangan sampai ada sosok guru yang killer selalu menakutkan bagi siswanya. Guru ideal adalah sosok yang mampu menjadi panutan dan selalu memberikan contoh atau keteladanan baik bagi pelajar. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya, karena mengalir bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminumnya.

Banyak yang menyatakan bahwa guru baik adalah guru yang memiliki selera humor tinggi. Ada pula yang mengatakan bahwa guru baik adalah bekerja keras dan disiplin tinggi. Namun setidaknya guru harus memiliki tiga hal, yaitu menguasai bahan belajar, keterampilan pembelajaran dab evaluasi pembelajaran (Anni, 2007:15). Profil guru sebenarnya tidak terlalu neko-neko dan ribet. Artinya, asalkan memenuhi kriteria guru dan menjadi pendidik yang mampu mengubah hutan rimbanya Tuhan menjadi taman indah yang bisa dinikmati siswa, maka mereka layak disebut guru hebat.

Di sini yang perlu ditekankan adalah pemaknaan kembali bahwa pendidikan seharusnya mengajarkan kesederhaan, kesabaran, kelembutan laiknya perempuan. Sebab, sifat dasar perempuan yang sabar, lembut, halus, menjadi jawaban atas gersangnya toleransi saat ini. Banyaknya kasus radikalisme, terorisme, juga penistaan, hate space (ujaran kebencian), tidak lain karena pendidikan kita sudah tercerabut dari karakter “perempuan”.

Padahal, pendidikan secara konseptual adalah “fakultas keibuan” yang seharusnya mendidik anak-anak dengan penuh kesabaran, kelembutan, dan kesederhanaan. Di sinilah, Kartini harus dipahami tidak hanya sebagai Kartini yang menjadi pahlawan nasional, melainkan harus dipahami sebagai ideologi pendidikan keibuan yang itu mendarahdaging di lembaga pendidikan, dari jenjang SD sampai perguruan tinggi.

Akhirnya, selamat Hari Kartini, semoga kita semua termasuk golongan Kartini yang selalu memiliki kemesraan spiritual, kepekaan batin, kelembutan yang puncaknya menjadikan kita “memanusiakan manusia” sebagaimana tujuan pendidikan. Jika tidak bisa menjadi “santrinya Kartini”, minimal kita melakukan spirit Kartini. Jika tidak bisa, apa mungkin kita bisa menerbitkan terang dari zaman kegelapan ini?
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Konsep Pendidikan Kartini Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda