Tulisan
ini dimuat di Satelit Post, Selasa 25 April 2017
Hakikat
pendidikan secara konseptual memiliki karakter perempuan, keibuan,
kepengasuhan. Namun selama ini masih sedikit orang yang memahami hal itu karena
pendidikan selama ini masih terbelenggu dalam “regulasi” yang njelimet, teknis, birokratis,
prosedural. Wajar saja output pendidikan melahirkan orang yang cerdas namun
miskin moral. Kaya ilmu namun sporadis dalam bertindak. Mereka hanya cerdas
intelektual, namun miskin spiritual dan emosional.
Mengapa
demikian? Masyarakat sekolah dan kampus masih belum memahami pendidikan secara
radikal, baik secara filosofis, teoretis dan praktis. Mereka bukan lagi
bermental “akademisi” dan “ilmuwan”, melainkan bermental “praktisi” dan
“petugas administrasi. Sistem lah yang mendesain mereka seperti itu. Hal itu
tidak bisa disalahkan karena pendidikan memang kompleks.
Dangkalnya
orang memahami pendidikan hanya yang formal “persekolahan” saja membuat
pembelajaran stagnan. Namun pendidikan yang berada di luar regulasi pendidikan
tidak dianggap sebagai “pendidikan”. Banyak entitas kehidupan yang sebenarnya
menjadi “sekolah” bagi manusia, bisa kebudayaan, kesenian, jurnalistik dan
sebagainya.
Konsep Kartini
Peran
dan pengaruh Kartini dalam pendidikan di Indonesia sangat besar. Apalagi,
Armijn Pane pada 1922 menulis buku yang
disajikan dalam bahasa Melayu berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang
diterbitkan Balai Pustaka. Buku tersebut menjadi ideologi pembebasan kaum
perempuan dari kebodohan dan ketertinggalan pendidikan. Maka sudah seharusnya
pendidikan di Indonesia mengadopsi pola, karakter, budaya, dan juga falsafah
Kartini.
Pendidikan,
baik menggunakan pendekatan pedagogi maupun andragogi, hakikatnya mengajarkan
kesabaran laiknya perempuan atau ibu, seperti halnya Kartini yang saat itu
memberantas buta aksara pada kaum hawa. Secara bahasa, pendidikan diambil dari
Bahasa Arab “tarbiah”, satu akar katanya yaitu “rabbun”. Mengapa rabbun?
Mengapa tidak sifat Allah yang lain, seperti “ilahun, kabirun, akbarun”, dan lainnya?
Rabbun,
secara teks, ia terdiri atas huruf hijaiyah “ra” dan “ba” yang semuanya
sejajar, bahkan ia datar. Berbeda misalnya dengan ilahun yang semuanya berdiri
kecuali “ha”. Ini menandakan, bahwa rabbun ia adalah mengasuh, membimbing.
Tarbiah merupakan manifestasi sifat kepengasuhan Allah kepada makhluknya. Artinya,
Allah menampung semua apa saja yang ada pada manusia, marahnya, dosanya,
kacaunya manusia dan lainnya.
Kerangka
ini menegaskan bahwa pendidikan harus “menampung” semua kacaunya anak didik. Ia
seperti ibu, berkarakter sabar, membimbing, dan juga memiliki kecenderungan
seperti ibu. Dalam kajian gender, perempuan diidentikkan laiknya tanah, ia
seperti “siti”, yang wajib ditanami oleh petani. Jika tanaman bagus, dipupuk,
disiram, maka hasilnya juga bagus. Konsep seperti ini memang jarang dipahami
oleh kalangan pendidik, baik itu guru dan dosen.
Di
perguruan tinggi negeri Islam seperti UIN, IAIN, STAIN, fakultas pendidikan
adalah “fakultas tarbiah” yang sekarang berkonversi sesuai nomenklatur dari
Kemenag menjadi fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan. Hal itu juga selaras
dengan spirit Islam bahwa tarbiyah atau tarbiah sudah sesuai dengan anjuran
Alquran ayat 122 Surat Albaqarah yang menjelaskan tentang konsep tarbiah.
Spirit Kartini
Kartini,
dalam konteks pemberdayaan perempuan sudah diakui dunia. Bahkan, pahlawan
nasional asal Kota Ukir tersebut menjadi tokoh perempuan yang berpengaruh di
dunia. Namun, ia sebenarnya sangat sederhana, egaliter, bahkan namanya cukup
disematkan “Kartini” saja tanpa embel-embel “Raden Ajeng (RA)” di depan
namanya. Maka Pramoedya Ananta Toer pernah menulis buku “Panggil Aku Kartini
Saja”. Hal itu membuktikan kesederhanaan sosok Kartini, meskipun ia berdarah
biru, namun hatinya seluar birunya laut yang semuanya berposisi sama.
Spirit Kartini
adalah “menerangkan yang gelap”. Begitu pula dengan guru, karena pada hakikatnya guru tidak sekadar menjadi teachers (pengajar) atau
(pendidik) educator, tetapi guru harus menjadi manusia berbudaya,
menyenangkan, penuh canda, menguasai konsep pembelajaran, tata letak ruang
kelas, memberikan teladan, menjadi motivator, menjadi idola, selalu menciptakan
kegembiraan bagi siswanya dan sebagainya.
Guru saat ini juga dituntut menjadi manusia ideal, karena guru super adalah dambaan peserta didik. Jangan sampai ada sosok guru yang killer selalu menakutkan bagi
siswanya. Guru ideal adalah sosok yang mampu menjadi panutan dan selalu
memberikan contoh atau keteladanan baik bagi pelajar. Ilmunya seperti mata air yang tak
pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya, karena mengalir bening dan menghilangkan
rasa dahaga bagi siapa saja yang meminumnya.
Banyak yang menyatakan bahwa guru baik adalah
guru yang memiliki selera humor tinggi. Ada pula yang mengatakan bahwa guru
baik adalah bekerja keras dan disiplin tinggi. Namun setidaknya guru harus
memiliki tiga hal, yaitu menguasai bahan belajar, keterampilan pembelajaran dab
evaluasi pembelajaran (Anni, 2007:15). Profil guru sebenarnya
tidak terlalu neko-neko dan ribet. Artinya, asalkan memenuhi kriteria
guru dan menjadi pendidik yang mampu mengubah hutan rimbanya Tuhan menjadi
taman indah yang bisa dinikmati siswa, maka mereka layak disebut guru hebat.
Di sini yang
perlu ditekankan adalah pemaknaan kembali bahwa pendidikan seharusnya
mengajarkan kesederhaan, kesabaran, kelembutan laiknya perempuan. Sebab, sifat
dasar perempuan yang sabar, lembut, halus, menjadi jawaban atas gersangnya
toleransi saat ini. Banyaknya kasus radikalisme, terorisme, juga penistaan, hate space (ujaran kebencian), tidak
lain karena pendidikan kita sudah tercerabut dari karakter “perempuan”.
Padahal,
pendidikan secara konseptual adalah “fakultas keibuan” yang seharusnya mendidik
anak-anak dengan penuh kesabaran, kelembutan, dan kesederhanaan. Di sinilah,
Kartini harus dipahami tidak hanya sebagai Kartini yang menjadi pahlawan
nasional, melainkan harus dipahami sebagai ideologi pendidikan keibuan yang itu
mendarahdaging di lembaga pendidikan, dari jenjang SD sampai perguruan tinggi.
Akhirnya,
selamat Hari Kartini, semoga kita semua termasuk golongan Kartini yang selalu
memiliki kemesraan spiritual, kepekaan batin, kelembutan yang puncaknya
menjadikan kita “memanusiakan manusia” sebagaimana tujuan pendidikan. Jika
tidak bisa menjadi “santrinya Kartini”, minimal kita melakukan spirit Kartini.
Jika tidak bisa, apa mungkin kita bisa menerbitkan terang dari zaman kegelapan
ini?
0 komentar:
Post a Comment