Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat Radar Tegal Rabu 22 Maret 2017
Survei yang dilakukan sejak 2003 hingga 2014.
Indonesia hanya unggul dari Bostwana yang puas di posisi 61. Sedangkan Thailand
berada satu tingkat di atas Indonesia, di posisi 59. Kondisi ini membuktikan
budaya baca di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain.
Di sisi lain, budaya membaca di kalangan anak-anak
juga masih rendah. Budaya menonton televisi ternyata mendominasi hampir semua
anak-anak MI dibandingkan budaya membaca. USAID Prioritas pada Maret 2016
merillis rata-rata orang Indonesia melihat televisi dalam sehari selama 300
menit, padahal di negara maju rata-rata hanya 60 menit. Hasil penelitian
internasional, Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015
tentang kemampuan membaca siswa juga menyebutkan bahwa kemampuan membaca siswa
di Indonesia menduduki urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei.
Hasil itu lebih rendah dari Vietnam yang menduduki
urutan ke-12 dari total negara yang disurvei. Oleh karena pentingnya kemampuan
tersebut dikuasai oleh siswa sejak awal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) juga telah mengeluarkan peraturan tentang penumbuhan budi pekerti
salah satunya tentang budaya membaca 15 menit di awal pembelajaran.
Literasi
Membaca
Dalam dunia bahasa, membaca hanya salah satu dari
keterampilan berbahasa. Sebab, keterampilan berbahasa (language arts, languange skills) meliputi empat aspek, yaitu
keterampilan meyimak/mendengarkan (listening
skills), keterampilan berbicara (speaking
skills), keterampilan membaca (reading
skills) dan keterampilan menulis (writing
skills) yang kesemuanya itu biasa disebut “catur tunggal” bahasa (Tarigan,
1990: 1). Keempat aspek kemampuan berbahasa merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang ilmu.
Haryadi (2008: 184) menjelaskan bahwa membaca, dalam
dunia bahasa juga dikelompokkan menjadi tiga hal, yaitu model membaca, metode
membaca dan teknik membaca. Ketiganya bisa diterapkan guru untuk mendorong
minat baca. Sebab, membaca memang membutuhkan kemampuan. Dalam studi bahasa,
untuk menjadi pembaca yang baik dan kritis, kita harus memahami perbedaan
mendasar tentang model membaca, metode dan teknik membaca. Masing-masing
memiliki perbedaan mendasar karena tujuan, konsep dan caranya berbeda.
Oleh karena itu, guru SD/MI sebagai peletak
kecerdasasan intelektual, spiritual dan emosional pertama kali kepada murid,
maka harus menjadi contoh dan paham tentang perbedaan di atas. Guru MI harus
memiliki keterampilan membaca kritis sebagai langkah awal untuk memajukan
pendidikan dasar.
Bagi guru SD/MI yang tidak hobi dan suka membaca,
jika diminta membaca apalagi membaca kritis pasti menjenuhkan bahkan
“menyiksa”. Padahal, sebenarnya aktivitas membaca menyimpan berjuta rahasia.
Mukhsin Akmadi (1990: 75-76) menjelaskan bahwa salah satu manfaat membaca
adalah memperoleh kesenangan. Dalam hidup yang normal, teratur, nyaman, kita
memang mendapatkan kesenangan dari berbagai yang berbeda.
Sudah saatnya guru SD/MI menggelorakan budaya baca.
Hal itu akan semakin mudah dengan adanya “gadget” yang dimiliki semua guru.
Daripada digunakan untuk bermain game dan medsos, lebih baik gadget tersebut
digunakan untuk membaca, baik itu artikel, berita dan juga e-book (buku
digital), e-journal (jurnal digital), e-paper (koran digital), dan berbagai
sumber yang bisa meningkatkan kualitas guru. Jika guru tidak mau membaca, lalu
apakah pantas mereka disebut guru?
0 komentar:
Post a Comment