Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday, 27 April 2017

Kampus Ateis Vs Kampus Religius



Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Koran Wawasan Kamis 23 Maret 2017

Penulis pernah mengikuti pengajian maiyah bersama budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) tahun 2015 lalu. Cak Nun menyatakan hampir semua kampus di negeri ini “ateis”. Menurut dia, kampus mengutamakan asas ilmiah dan rasionalitas. Dengan fondasi ilmiah itu, akademisi baik dosen dan mahasiswa sukar menemukan dan membuktikan adanya Tuhan, malaikat, dosa, pahala, neraka dan surga. Mereka menyebutnya hal itu hanya tasawwur atau “konsepsi”. Mengapa? Sesuatu ilmiah harus memenuhi syarat ilmu pengetahuan, artinya semua harus logis, sistematis, empiris, metodologis dan rasional.

Lalu bagaimana konsepsi di atas? Tentu tidak bisa diteliti. Sesuatu yang tidak bisa diteliti, dibuktikan dengan pancaindra, maka tidak ilmiah. Pola ilmiah seperti ini menjadikan kebanyakan kampus-kampus di negeri ini ateis. Masyarakat ilmiah, tidak mengakui adanya konsep-konsep di atas, padahal ini sangat paradoks dengan objek formal dan material dalam kajian filsafat ilmu.

Kampus yang biasa disebut “universitas”, secara filosofi adalah universalitas kehidupan. Ia menyeluruh dan kompatibel sebagaimana dalam filsafat ilmu, yaitu berkaitan dengan manusia, alam dan juga Tuhan. Jadi secara filosofis, kampus itu harus mengantarkan masyarakatnya kepada Tuhan. Tanpa itu, maka mereka akan “tersesat” di dunia materialisme semu. Puncak belajar juga demikian, hakikatnya bukan mencari kerja, apalagi sekadar meraup ilmu sebanyaknya dan gelar setingginya.

Agama mengajarkan kejujuran, keikhlasan dan kesederhanaan, bukan ketidakjujuran, kesombongan dan keserakahan. Lalu, bagaimana pola pendidikan di negeri ini? Tentu masih bias. Kampus seperti STAIN, IAIN dan UIN pun sekarang justru ingin menjadi “modern” laiknya kampus umum. Padahal mereka di bawah Kemenag, seharusnya menjadi contoh kampus religius bagi kampus umum di bawah Kemenristekdikti.

Ateis atau Religius?
Diktum ilmiah tidak mengakui sesuatu yang bias, tidak bisa diteliti, dibuktikan dengan pancaindra, dianalisis dengan metode ilmiah. Maka diakui atau tidak, ada dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan karena sulit dipersatukan. Agama yang bersumber dari wahyu mengajarkan sesuatu abstrak, bertele-tele dan menggunakan pendekatan iman dan hati, sementara ilmu pengetahuan mengutamakan akal sehat (common sense). Bahkan, sesuatu itu valid, reliabel atau tidak, juga diikur dan harus memenuhi standar filsafat ilmu, minimal ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Sifat ateistis tersebut, sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia. Sebab, semakin tinggi ilmu seorang, jika sudah mencapai status profesor dan doktor, maka akan semakin “angkuh” dan tidak mengakui konsep-konsep religi dan aspek religiositas. Apalagi, pola pikir ilmiah dan cara menjalankan kehidupan di jagat akademik ditentukan metode dan kerja ilmiah. Di luar itu, maka dianggap tidak ilmiah, irasional dan tidak logis.

Mimbar akademik yang terlalu “menuhankan akal” akhirnya mencetak generasi unik. Mereka menolak “mitos” dan berkiblat pada “logos”. Padahal, mitos adalah bagian dari ilmu pengetahuan yang dikonsep dalam mitologi. Mereka lupa, bahwa falsafah Jawa dan Nusantara sangatlah agung dan itu sebagai bentuk “teknologi batin” manusia Indonesia sejak dulu.

Sebelum agama masuk pesat di Indonesia, orang-orang Jawa sudah mengenal adagium “Gusti Ora Sare, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Widi, Sang Hyang Tunggal, Manunggaling Kawula Lan Gusti” dan lainnya. Ini merupakan bentuk kemesraan spiritual antara makhluk dan Tuhan yang Maha Pencipta. Apapun agamanya, manusia Nusantara sudah mengenal konsep “non ilmiah” tersebut melalui “keyakinan” kepada sesuatu di balik sesuatu yang nyata.

Buktinya apa? Sebelum Islam, Kristen, Hindu, Buddha berkembang pesat, masyarakat kita sudah mengenal “agama Nusantara”, entah itu animisme maupun dinamisme. Ajaran-ajaran itu tidak bersumber pada wahyu Tuhan, dalam hal ini seperti agama samawi seperti Islam dan Kristen. Pola inilah, menjadikan budaya beragama di Indonesia sangat unik dan berbeda di Arab, Romawi, Eropa dan lainnya. Tidak heran jika semua agama di Indonesia tidak bisa terpisah dengan budaya Nusantara yang belakangan ini disebut bid’ah, syirik dan tidak sesuai aslinya.

Ilmiah yang Religius
Kampus haruslah ilmiah dan religius. Sebagaimana dicontohkan ormas moderat seperti NU yang memegang teguh prinsip tawazun (keseimbangan) yang tidak terlalu ke kanan dan ke kiri. Apalagi, Indonesia saat ini dihadapkan dengan gempuran fenomena agama ekstrim dan liberal. Nurcholis Madjid (Cak Nur) jauh-jauh hari sudah menyeru pada umat Islam untuk menjadi ummatan wasathan atau kelompok moderat yang tengah-tengah. Perguruan tinggi harusnya juga demikian, tengah-tengah!

Tantangan globalisasi menjadikan Kemenristekdikti, Kemenag, Kopertis, Kopertais serta kampus mengamini pembukaan jurusan/fakultas umum. Hal itu dinilai laku dan bisa bersaing di dunia kerja. Akan tetapi, pekerjaan rumah mereka juga berat, karena harus mencetak generasi yang ilmiah tapi juga religius. Di sini harus ditekankan, religius atau tidak itu tidak harus berbau “ritual agama”. Kalau Islam, tidak harus menggunakan bahasa dan atribut Arab. Sebab, Arab dan Islam jelas berbeda. Silakan diteliti!

Religius atau tidak itu pada substansinya, bukan pada bungkusnya. Apalagi saat ini yang berlangsung di kampus-kampus masih sekadar “rasa Islam”, bukan Islam sesungguhnya. Buktinya? Acaranya memang Islam, namun budaya dan setting teknisnya tidak Islam. Apakah ini yang dinamakan kampus religius? Meskipun jargon kampus yang “ndakik-ndakik” dan mampu mencetak generasi religius, namun budaya mereka semuanya berkiblat pada Barat dan ateis.

Setting sejarah, seharusnya menjadikan pada akademisi melestarikan budaya asli Nusantara. Tidak heran jika NU memegang teguh kaidah “Almuhafadatu ‘alal qadimissalih, wal akhdzu biljadidil ashlah”. Artinya,  sudah saatnya kampus mengusung prinsip menjaga tradisi lama yang baik dan menerima tradisi baru yang baik. Sebab, ada upaya penjajahan lewat pendidikan untuk mencabut kearifan lokal Indonesia yang religius dan percaya pada tradisi leluhur.

Ilmuwan modern harus memegang teguh tradisi dan kearifan lokal asli Indonesia. Sebab, selama ini ilmuwan Indonesia bermental “inlander” dan suka berkiblat pada Barat. Penjajahan  nyata tersebut masuk ke jagat akademik kita, seperti contoh penggunaan Bahasa Inggris dan Arab yang diwajibkan untuk mendapatkan sertifikat TOEFL dan TOAFL sebagai syarat menjadi sarjana, magister maupun doktor. Lalu, sebenarnya kita ini bangsa merdeka atau jajahan?

Kemenristekdikti, tampaknya sudah peka akan hal itu. Sebab, Menristekdikti M Nasir meluncurkan Gerakan Kampus Nusantara Mengaji di Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah baru-baru ini. Lewat Gerakan Kampus Nusantara Mengaji itu, Kemenristek berharap agar masyarakat kampus peduli dengan aspek spiritual (Jurnas.com, 13/3/2017).

Sudah seharusnya, kampus mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan agama sebagai wujud kampus moderat. Selain cerdas intelektual, mereka juga akan memiliki kecerdasan spiritual dan emosional. Itulah yang dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini karena sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Kampus yang benar-benar kampus pasti mencetak generasi yang ilmiah dan religius, bukan ilmiah yang ateis. Jika tidak bisa mencetak generasi ilmiah dan religius, apakah pantas disebut kampus?

Foto:



  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

1 komentar:

Item Reviewed: Kampus Ateis Vs Kampus Religius Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda