Oleh
Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Koran Wawasan Kamis 23 Maret
2017
Penulis pernah mengikuti pengajian maiyah bersama
budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) tahun 2015 lalu. Cak Nun menyatakan
hampir semua kampus di negeri ini “ateis”. Menurut dia, kampus mengutamakan
asas ilmiah dan rasionalitas. Dengan fondasi ilmiah itu, akademisi baik dosen
dan mahasiswa sukar menemukan dan membuktikan adanya Tuhan, malaikat, dosa,
pahala, neraka dan surga. Mereka menyebutnya hal itu hanya tasawwur atau “konsepsi”. Mengapa? Sesuatu ilmiah harus memenuhi
syarat ilmu pengetahuan, artinya semua harus logis, sistematis, empiris,
metodologis dan rasional.
Lalu bagaimana konsepsi di atas? Tentu tidak bisa
diteliti. Sesuatu yang tidak bisa diteliti, dibuktikan dengan pancaindra, maka
tidak ilmiah. Pola ilmiah seperti ini menjadikan kebanyakan kampus-kampus di
negeri ini ateis. Masyarakat ilmiah, tidak mengakui adanya konsep-konsep di
atas, padahal ini sangat paradoks dengan objek formal dan material dalam kajian
filsafat ilmu.
Kampus yang biasa disebut “universitas”, secara
filosofi adalah universalitas kehidupan. Ia menyeluruh dan kompatibel
sebagaimana dalam filsafat ilmu, yaitu berkaitan dengan manusia, alam dan juga
Tuhan. Jadi secara filosofis, kampus itu harus mengantarkan masyarakatnya
kepada Tuhan. Tanpa itu, maka mereka akan “tersesat” di dunia materialisme
semu. Puncak belajar juga demikian, hakikatnya bukan mencari kerja, apalagi
sekadar meraup ilmu sebanyaknya dan gelar setingginya.
Agama mengajarkan kejujuran, keikhlasan dan
kesederhanaan, bukan ketidakjujuran, kesombongan dan keserakahan. Lalu,
bagaimana pola pendidikan di negeri ini? Tentu masih bias. Kampus seperti
STAIN, IAIN dan UIN pun sekarang justru ingin menjadi “modern” laiknya kampus
umum. Padahal mereka di bawah Kemenag, seharusnya menjadi contoh kampus
religius bagi kampus umum di bawah Kemenristekdikti.
Ateis
atau Religius?
Diktum ilmiah tidak mengakui sesuatu yang bias,
tidak bisa diteliti, dibuktikan dengan pancaindra, dianalisis dengan metode
ilmiah. Maka diakui atau tidak, ada dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan
karena sulit dipersatukan. Agama yang bersumber dari wahyu mengajarkan sesuatu
abstrak, bertele-tele dan menggunakan pendekatan iman dan hati, sementara ilmu
pengetahuan mengutamakan akal sehat (common
sense). Bahkan, sesuatu itu valid, reliabel atau tidak, juga diikur dan
harus memenuhi standar filsafat ilmu, minimal ontologi, epistemologi dan
aksiologi.
Sifat ateistis tersebut, sangat berbahaya bagi
kelangsungan hidup manusia. Sebab, semakin tinggi ilmu seorang, jika sudah
mencapai status profesor dan doktor, maka akan semakin “angkuh” dan tidak
mengakui konsep-konsep religi dan aspek religiositas. Apalagi, pola pikir
ilmiah dan cara menjalankan kehidupan di jagat akademik ditentukan metode dan
kerja ilmiah. Di luar itu, maka dianggap tidak ilmiah, irasional dan tidak
logis.
Mimbar akademik yang terlalu “menuhankan akal”
akhirnya mencetak generasi unik. Mereka menolak “mitos” dan berkiblat pada “logos”.
Padahal, mitos adalah bagian dari ilmu pengetahuan yang dikonsep dalam
mitologi. Mereka lupa, bahwa falsafah Jawa dan Nusantara sangatlah agung dan
itu sebagai bentuk “teknologi batin” manusia Indonesia sejak dulu.
Sebelum agama masuk pesat di Indonesia, orang-orang
Jawa sudah mengenal adagium “Gusti Ora Sare, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang
Widi, Sang Hyang Tunggal, Manunggaling Kawula Lan Gusti” dan lainnya. Ini
merupakan bentuk kemesraan spiritual antara makhluk dan Tuhan yang Maha
Pencipta. Apapun agamanya, manusia Nusantara sudah mengenal konsep “non ilmiah”
tersebut melalui “keyakinan” kepada sesuatu di balik sesuatu yang nyata.
Buktinya apa? Sebelum Islam, Kristen, Hindu, Buddha
berkembang pesat, masyarakat kita sudah mengenal “agama Nusantara”, entah itu
animisme maupun dinamisme. Ajaran-ajaran itu tidak bersumber pada wahyu Tuhan,
dalam hal ini seperti agama samawi seperti Islam dan Kristen. Pola inilah,
menjadikan budaya beragama di Indonesia sangat unik dan berbeda di Arab,
Romawi, Eropa dan lainnya. Tidak heran jika semua agama di Indonesia tidak bisa
terpisah dengan budaya Nusantara yang belakangan ini disebut bid’ah, syirik dan
tidak sesuai aslinya.
Ilmiah
yang Religius
Kampus haruslah ilmiah dan religius. Sebagaimana
dicontohkan ormas moderat seperti NU yang memegang teguh prinsip tawazun (keseimbangan) yang tidak
terlalu ke kanan dan ke kiri. Apalagi, Indonesia saat ini dihadapkan dengan
gempuran fenomena agama ekstrim dan liberal. Nurcholis Madjid (Cak Nur)
jauh-jauh hari sudah menyeru pada umat Islam untuk menjadi ummatan wasathan atau kelompok moderat yang tengah-tengah. Perguruan
tinggi harusnya juga demikian, tengah-tengah!
Tantangan globalisasi menjadikan Kemenristekdikti,
Kemenag, Kopertis, Kopertais serta kampus mengamini pembukaan jurusan/fakultas
umum. Hal itu dinilai laku dan bisa bersaing di dunia kerja. Akan tetapi,
pekerjaan rumah mereka juga berat, karena harus mencetak generasi yang ilmiah tapi
juga religius. Di sini harus ditekankan, religius atau tidak itu tidak harus
berbau “ritual agama”. Kalau Islam, tidak harus menggunakan bahasa dan atribut
Arab. Sebab, Arab dan Islam jelas berbeda. Silakan diteliti!
Religius atau tidak itu pada substansinya, bukan
pada bungkusnya. Apalagi saat ini yang berlangsung di kampus-kampus masih
sekadar “rasa Islam”, bukan Islam sesungguhnya. Buktinya? Acaranya memang
Islam, namun budaya dan setting teknisnya tidak Islam. Apakah ini yang
dinamakan kampus religius? Meskipun jargon kampus yang “ndakik-ndakik” dan
mampu mencetak generasi religius, namun budaya mereka semuanya berkiblat pada
Barat dan ateis.
Setting sejarah, seharusnya menjadikan pada
akademisi melestarikan budaya asli Nusantara. Tidak heran jika NU memegang
teguh kaidah “Almuhafadatu ‘alal qadimissalih,
wal akhdzu biljadidil ashlah”. Artinya,
sudah saatnya kampus mengusung prinsip menjaga tradisi lama yang baik
dan menerima tradisi baru yang baik. Sebab, ada upaya penjajahan lewat
pendidikan untuk mencabut kearifan lokal Indonesia yang religius dan percaya
pada tradisi leluhur.
Ilmuwan modern harus memegang teguh tradisi dan
kearifan lokal asli Indonesia. Sebab, selama ini ilmuwan Indonesia bermental
“inlander” dan suka berkiblat pada Barat. Penjajahan nyata tersebut masuk ke jagat akademik kita,
seperti contoh penggunaan Bahasa Inggris dan Arab yang diwajibkan untuk
mendapatkan sertifikat TOEFL dan TOAFL sebagai syarat menjadi sarjana, magister
maupun doktor. Lalu, sebenarnya kita ini bangsa merdeka atau jajahan?
Kemenristekdikti, tampaknya sudah peka akan hal itu.
Sebab, Menristekdikti M Nasir meluncurkan Gerakan Kampus Nusantara Mengaji di
Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah baru-baru ini. Lewat Gerakan
Kampus Nusantara Mengaji itu, Kemenristek berharap agar masyarakat kampus
peduli dengan aspek spiritual (Jurnas.com, 13/3/2017).
Sudah seharusnya, kampus mengintegrasikan ilmu-ilmu
umum dan agama sebagai wujud kampus moderat. Selain cerdas intelektual, mereka
juga akan memiliki kecerdasan spiritual dan emosional. Itulah yang dibutuhkan
bangsa Indonesia saat ini karena sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Kampus yang benar-benar kampus pasti mencetak generasi
yang ilmiah dan religius, bukan ilmiah yang ateis. Jika tidak bisa mencetak
generasi ilmiah dan religius, apakah pantas disebut kampus?
Foto:
Allahu yubarik fik :)
ReplyDelete