Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday 27 April 2017

Apakah Koruptor Pantas Dimaafkan?



Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Satelit Post, Kamis 13 April 2017

Apakah koruptor dan perampok negara pantas dimaafkan? Dalam konteks sekarang, tentu tidak, meski melihat korupsi harus mempertimbangkan aspek budaya, historis, sosiologis, politik, ekonomi dan juga psikis. Jadi tidak bisa kita dengan sarkasme langsung menghakimi koruptor tanpa melihat aspek-aspek di atas. Lalu, bagaimana dengan perampokan di Indonesia sebelum merdeka?

Dari riset James (1999), selama lima tahun menjajah Jawa, Stamford Raffles berhasil membawa harta rampokan sebesar kurang lebih Rp. 17.666 triliun. Di mana dua pertiganya digunakan menghidupi kerajaan Inggris dan sepertiganya untuk membangun Singapura. Jadi, negara Inggris dan negara Singapura itu jelas-jelas dibangun dari harta rampokan yang perampoknya “harum namanya”. Aneh!

Sementara hasil riset Huningan (2014), harta rampokan VOC selama menjajah Nusantara setara USD 3,2 triliun atau Rp 31.718 triliun. Harta itu dipakai menghidupi negara Belanda dan membangun 15 kota di seluruh dunia dan perlengkapan perang terbaik yang dimiliki sebuah perusahaan di dunia. Tetapi, adakah para perampok (para Gubernur Jenderal) itu dibui dan dinista? Tidak ada. Mereka jadi pahlawan bagi Belanda (Yudhie Haryono, 2016). Pertanyaannya, apakah mereka dicap sebagai perampok atau pahlawan? Lalu bagaimana dengan koruptor di negeri ini?

Sejak skandal kasus korupsi Century, BLBI, dan lainnya, Indonesia disebut sebagai negara gagal (failed state) karena lemah dalam memberantas korupsi. Perampokan BLBI berdasarkan catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) hingga 2015 mencapai Rp 2.000 triliun. Belum lagi kasus korupsi di tiap daerah yang sangat merugikan rakyat.

Mental korup dan karakter serakah masih menyelimuti wajah politisi dan birokrat kita. Dana kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang jumlahnya sekitar Rp 5,6 triliun diduga menjadi “bancaan berjamaah” menjadi bukti bahwa korupsi masih akut di negeri ini.

Kalangan politikus Senayan, anggota kabinet, mantan menteri, hingga sederet nama pengusaha juga disebut-sebut menerima aliran dana tersebut.  Mereka berasal dari berbagai latar belakang parpol. KPK menyebut dari proyek yang disetujui itu ada penggelembungan dana sebesar Rp 2,55 triliun. Penggelembungan dana itulah yang diduga menjadi bancaan di lingkungan elite politik.

Mental Korup
Gejala serakah dan dorongan mendapat uang banyak tanpa bekerja sudah mendarahdaging. Apalagi, sistem perpolitikan kita memang ketat dan seakan-akan, korupsi sudah menjadi sistem dan wajar bila dilakukan berjamaah. Padahal, dalam konteks hukum, korupsi termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dosanya setara dengan kejahatan narkoba dan terorisme.

Darurat korupsi menjadikan Indonesia semakin suram. Sebab, Indonesia banjir kekacuan, kemarau karakter, surplus perampok dan minus pahlawan. Dalam nalar sehat, korupsi telah menjadi kata yang sulit dipahami. Sebaliknya, yang menikmati hasil korupsi dikiranya “kenikmatan”, padahal itu “jahaman”. Ironisnya lagi, banyak kasus korupsi timbul dan tenggelam tanpa adanya follow up sampai sekarang.

Dalam logika ekonomi, dampak korupsi tidak hanya merusak tatanan ekonomi nasional dan menjadikan Indonesia semakin miskin dan tertinggal. Belum lagi mental korup yang diwariskan kepada anak bangsa. Sebab, korupsi yang sudah dianggap wajar, seolah-olah Indonesia berada pada “peradaban korup”. Sehingga, jika ada kasus korupsi, kita menganggap biasa, wajar dan tidak ada kemarahan terhadap penyakit tersebut.

Saking miskinnya bangsa ini terhadap nilai-nilai keluhuran seperti jujur, adil, tegas, sederhana, asketis, maka jika ada orang yang jujur saja, kita sudah menganggap hebat. Bahkan, kita menyebutnya itu sebagai prestasi. Jika ada pemimpin selama satu periode tidak korupsi, maka itu prestasi, padahal, hal itu ya biasa saja. Uniknya lagi, orang yang benar-benar merampok, justru dimaafkan dan diberi remisi.

Memaafkan?
Dalam studi kolonialisme, kejahatan terbesar di dunia bukanlah seberapa banyak harta korupsi yang dikumpulkan, tetapi mewariskan “mental merampok” dan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) bagi generasi berikutnya. Mental korup lebih berbahaya daripada korupsi itu sendiri. Mental korup jika dipelihara akan menjadi embrio generasi berikutnya. Cukup menakutkan dan harus diputus mata rantainya.

Sejak dijajah Belanda dan Jepang, kita memang dijarah dan secara tidak langsung “diajarkan” merampok, mencuri, mengembargo harta benda. Padahal Indonesia adalah negara yang mengutamakan kejujuran. Saat ini kita juga krisis pemimpin dan politisi berjiwa asketik, crank (menyempal) dan profetik, yang ada kebanyakan sebaliknya. Mereka merampok dan mencuri berjamaah. Tanpa peduli lagi nasib rakyat yang semakin tercekik dengan naiknya harga kebutuhan pokok.

Sementara itu KPK juga kian tiada taringnya karena selalu “dilemahkan”. Padahal jika negara ini sehat, KPK harusnya dijaga dan dikuatkan. Supremasi hukum juga demikian, wacana “hukuman mati”, kebiri, dan pemiskinan bagi koruptor ternyata hanya wacana. Apalagi, koruptor tampaknya tidak takut dengan ancaman tersebut. Buktinya, makin hari jumlah koruptor makin bertambah.

Budaya memaafkan memang dipupuk sejak kita duduk di bangku sekolah dasar. Ketika kita sudah besar juga didorong untuk menjadi pribadi yang pemaaf, pemberi dan dilarang tegas menjadi pencuri. Kita diajarkan untuk menjadi pribadi yang rajin memberi daripada meminta-minta.

Islam juga mengajarkan “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. Ini membuktikan betapa pentingnya memberi dan betapa rendahnya menerima. Jika budaya menerima saja secara derajat estetik berada di posisi bawah, lalu bagaimana dengan korupsi? Tidak konyol lagi, melainkan hina.

Dua jurus memberantas korupsi sudah digaungkan di negeri ini, melalui aspek hukum dan pendidikan antikorupsi. Jika aspek pendidikan berjangka pandang efeknya, namun secara hukum, koruptor memang harus ditindak tegas. Sebab, ancaman hukuman berat saja tidak membuat koruptor takut, apalagi ada pemaafan berupa remisi.

Memberantas korupsi memang harus total seratus persen. Apalagi, misi mereka pasti menguasai kebijakan hukum dengan melemahkan KPK. Jika memberantas tikus tidak perlu membakar lumbung padi, namun saat ini tikus sudah menguasai lumbung padi. Jika mencuri ayam hanya dihajar warga, mencuri helm hanya dikeroyok massa, lalu bagaimana dengan mencuri uang negara? Jadi, tugas KPK sangat berat dan jika berat, masihkah ada iba untuk memaafkan koruptor?
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Apakah Koruptor Pantas Dimaafkan? Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda