Oleh
Hamidulloh Ibda
Ada
gejala latah teknologi dan informasi bagi masyarakat terutama kalangan muda di
era milenial ini. Generasi millenium abad 2000 lebih
suka informasi yang baru, bombastis, seksi, hoax, viral dan menggemparkan.
Padahal tidak semua yang viral itu benar, baik dan mencerahkan, bahkan
sebaliknya. Generasi abad 2000 yang akrab disebut millennial, milennial atau
milenial ini karakternya instan dan mudah bosan.
Apa
saja yang ada di dalam pikiran rakyat saat ini dikontruksi media massa,
terutama media online. Pola kerja
“wartawan” dan “ilmuan” sudah tidak dipakai. Mereka lebih suka dengan hal-hal
panas dan “viral”. Sayangnya, budaya tersebut dibarengi karakter “mudah bosan”.
Jadi budayanya satu paket, “mudah kagum” juga “mudah bosan”. Tidak hanya dengan
dunia hiburan, namun urusan pendidikan, seni, sosial, budaya dan keagamaan juga
sama.
Melek
information technology (IT) sangat
positif jika dimanfaatkan untuk kegiatan positif. Sebab, penguasa abad
2000 ini adalah yang menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), tidak
sekadar Iman dan Takwa (Imtak). Kenyataannya,
justru tiap hari kita “dijajah teknologi” karena dari bangun sampai tidur lagi,
kita bergantung pada produk teknologi. Wajar saja, budaya itu berpengaruh besar
terhadap cara berpikir dan pola hidup masyarakat.
Budaya Viral
Viral
merupakan idiom baru yang muncul dari kebiasaan masyarakat dalam berinternet. Dalam
kodifikasi bahasa, istilah ini hampir sepadan dengan “virtual” yang berarti
sesuatu yang seolah-olah nyata. Ia nyata tapi maya, maya tapi seolah-olah
nyata. Istilah ini berkembang di dunia teknologi informasi dan mempengaruhi
budaya konsumsi informasi, terutama di media online dan media sosial (medsos).
Badri
(2017) menjelaskan sebuah berita bisa dikatakan “viral” ketika sudah mencari
25000 pembaca. Sementara secara budaya, karakter viral itu suka hal-hal baru, namun
sangat lucu jika hanya permukaan dan dangkal. Mereka dalam filsafat ilmu
disebut “sedikit tahu di banyak hal” bukan “banyak tahu di sedikit hal”. Jika
sedikit tahu di banyak hal, mereka paham semua hal tapi tidak mendalam. Tapi
jika banyak tahu di sedikit hal, mereka jadi pakar karena yang diketahui
mendalam.
Generasi
milenial, berbicara apa saja paham, namun tidak mendalam karena pahamnya hanya
berdasarkan berita viral. Dalam prosesnya juga tidak kafah, karena kebanyakan
membaca berita hanya “judulnya saja” tidak tuntas dan tabayun.
Dalam
memperoleh kebenaran, metode wartawan dan ilmuwan juga tidak mereka terapkan.
Wartawan mendasarkan kebenaran pada wawancara, klarifikasi dan tabayun.
Sementara ilmuwan melalui proses filsafat ilmu, mulai dari ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Itu juga harus ilmiah, melalui penelitian
metodologis, sistematis, empiris dan logis. Namun mengapa generasi milenial
tidak menerapkan hal itu? Padahal mereka generasi modern, berpendidikan, melek
IT, tapi kenyataan berbanding arah.
Di
dunia jurnalistik, generasi milenial hampir sama dengan “netizen” atau internet citizen (wartawan maya) yang
fungsinya sepadan dengan jurnalis warga (citizen
journalism). Istilah ini juga muncul karena generasi milenial ikut langsung
dalam kerja wartawan, baik mencari, memproses, dan memberitakan sesuatu
meskipun tidak bekerja di media massa.
Berkiblat
pada Search Engine (mesin pencari)
seperti Google, Yahoo, Bing, Aol, dan
medsos seperti Facebook, Twitter,
Instagram, Path dan lainnya,
membuat generasi milenial semakin tumpul pengetahuannya. Mereka lebih nyaman
mencari info dari internet daripada membaca buku atau koran cetak. Lihat saja
saat membuka Google, mereka tidak tuntas
membaca satu laman/tab, melainkan harus membuka laman baru / new tab. Jumlahnya pun tidak cukup satu,
namun bisa tiga, bahkan empat dan lima.
Karakter
seperti inilah yang menjadi generasi saat ini “sedikit tahu di banyak hal” tapi
tidak mendalam. Mereka tercerabut dari isu-isu daerah, kearifan lokal, namun
lihai berbicara isu nasional bahkan internasional. Paham dengan isu baru namun
hanya “numpang lewat” dan tidak mendasar ketika melihat sesuatu viral.
Secara
psikis, saya menyebut ini dampak buruk teknologi yang mencerabut “kearifan
lokal”. Sebab, mereka tidak paham sekali gagasan, pengetahuan, budaya dan
kearifan lokal. Mental mereka inlander dan berkiblat pada sesuatu modern,
berbasis cyber dan menganggap
“katrok” sesuatu yang lokal.
Gejala
medsos yang berisi sesuatu instan, viral, panas juga melahirkan generasi yang
“pemalas”, mudah menyerah, mudah bosan, mudah terpengaruh, sakit-sakitan, tidak
percaya diri dan lainnya. Tidak hanya itu, efek sosial juga semakin
memprihatinkan. Viralitas medsos, membuat silaturahmi makin terputus. Maka
adagium “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat” menjadi tesis
kebenaran fungsi medsos.
Melek Literasi
Tidak
hanya para pelajar dan mahasiswa, kebanyakan para intelektual, budayawan,
seniman juga mulai bergeser budayanya. Hampir semua masyarakat Indonesia bergantung
pada gadget namun buta literasi.
Entah itu bermedsos,
sampai urusan membeli tiket, membayar listrik, memesan ojek/taksi, transfer
uang dan sebagainya.
Adagium
“dunia dalam genggaman” sudah dirasakan. Namun ingat, kita seharusnya
“memperbudak teknologi”, bukan kita yang “diperbudak teknologi”. Sebab, semua
produk teknologi hanya alat, bukan tujuan hidup. Ia hanya benda mati yang
kadang justru “memperlakukan” kita seperti orang yang tidak punya perasaan,
hati dan pikiran.
Teknologi
di era milenial memang memudahkan. Namun karena kita “latah”, teknologi
tersebut menjadi “brutal” menjajah kita. Ada beberapa hal yang perlu diubah
budaya tersebut. Pertama, memanfaatkan teknologi haruslah berdasarkan akal
sehat, bukan kepentingan dan nafsu yang berlebihan. Sebab, sehari bermedsos pun
betah tanpa makan dan minum. Ini gejala menarik yang salah kaprah.
Kedua,
di dunia pendidikan, sosial, budaya, politik, akan semakin maju jika
memanfaatkan teknologi untuk kebaikan. Adanya Cyber City, Cyber University,
Cyber Politics, Cyber Crime, Cyber Birocration dan lainnya menjadi bukti
bahwa kita makhluk teknologi. Ketiga, menggunakan teknologi sama seperti menghadapi
manusia, maka harus beretika.
Keempat,
budaya viral sangat cocok untuk update
informasi, namun harus disikapi dengan arif dan cerdas mengupas. Biasanya, viralitas hanya karena
penggiringan isu, sedangkan isu itu belum tentu jelas kebenarannya. Kelima,
dalam meningkatkan kualitas diri, generasi milenial setidaknya menjadi “pembaca
cerdas” dan “pembaca kritis”. Mereka bisa menerapkan pola kerja wartawan dan
ilmuwan. Tidak mentah-mentah mengonsumsi berita vital tapi harus melalui
tabayun dan penelitian agar tidak tertipu oleh isu.
Orang
yang paling selamat adalah yang tahu spirit zaman (zeitgeist) dan kecenderungan sosial. Oleh karena itu, melek IT itu
wajib, namun “buta literasi” sangat
dilarang. Sekali lagi, sangat dilarang!
Foto:
0 komentar:
Post a Comment