Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday 27 April 2017

Budaya Viral Generasi Milenial



Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Koran Wawasan, Senin 17 April 2017

Ada gejala latah teknologi dan informasi bagi masyarakat terutama kalangan muda di era milenial ini. Generasi millenium abad 2000 lebih suka informasi yang baru, bombastis, seksi, hoax, viral dan menggemparkan. Padahal tidak semua yang viral itu benar, baik dan mencerahkan, bahkan sebaliknya. Generasi abad 2000 yang akrab disebut millennial, milennial atau milenial ini karakternya instan dan mudah bosan.

Apa saja yang ada di dalam pikiran rakyat saat ini dikontruksi media massa, terutama media online. Pola kerja “wartawan” dan “ilmuan” sudah tidak dipakai. Mereka lebih suka dengan hal-hal panas dan “viral”. Sayangnya, budaya tersebut dibarengi karakter “mudah bosan”. Jadi budayanya satu paket, “mudah kagum” juga “mudah bosan”. Tidak hanya dengan dunia hiburan, namun urusan pendidikan, seni, sosial, budaya dan keagamaan juga sama.

Melek information technology (IT) sangat positif jika dimanfaatkan untuk kegiatan positif. Sebab, penguasa abad 2000 ini adalah yang menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), tidak sekadar Iman dan Takwa (Imtak). Kenyataannya, justru tiap hari kita “dijajah teknologi” karena dari bangun sampai tidur lagi, kita bergantung pada produk teknologi. Wajar saja, budaya itu berpengaruh besar terhadap cara berpikir dan pola hidup masyarakat.

Budaya Viral
Viral merupakan idiom baru yang muncul dari kebiasaan masyarakat dalam berinternet. Dalam kodifikasi bahasa, istilah ini hampir sepadan dengan “virtual” yang berarti sesuatu yang seolah-olah nyata. Ia nyata tapi maya, maya tapi seolah-olah nyata. Istilah ini berkembang di dunia teknologi informasi dan mempengaruhi budaya konsumsi informasi, terutama di media online dan media sosial (medsos).

Badri (2017) menjelaskan sebuah berita bisa dikatakan “viral” ketika sudah mencari 25000 pembaca. Sementara secara budaya, karakter viral itu suka hal-hal baru, namun sangat lucu jika hanya permukaan dan dangkal. Mereka dalam filsafat ilmu disebut “sedikit tahu di banyak hal” bukan “banyak tahu di sedikit hal”. Jika sedikit tahu di banyak hal, mereka paham semua hal tapi tidak mendalam. Tapi jika banyak tahu di sedikit hal, mereka jadi pakar karena yang diketahui mendalam.

Generasi milenial, berbicara apa saja paham, namun tidak mendalam karena pahamnya hanya berdasarkan berita viral. Dalam prosesnya juga tidak kafah, karena kebanyakan membaca berita hanya “judulnya saja” tidak tuntas dan tabayun.

Dalam memperoleh kebenaran, metode wartawan dan ilmuwan juga tidak mereka terapkan. Wartawan mendasarkan kebenaran pada wawancara, klarifikasi dan tabayun. Sementara ilmuwan melalui proses filsafat ilmu, mulai dari ontologi, epistemologi dan aksiologi. Itu juga harus ilmiah, melalui penelitian metodologis, sistematis, empiris dan logis. Namun mengapa generasi milenial tidak menerapkan hal itu? Padahal mereka generasi modern, berpendidikan, melek IT, tapi kenyataan berbanding arah.

Di dunia jurnalistik, generasi milenial hampir sama dengan “netizen” atau internet citizen (wartawan maya) yang fungsinya sepadan dengan jurnalis warga (citizen journalism). Istilah ini juga muncul karena generasi milenial ikut langsung dalam kerja wartawan, baik mencari, memproses, dan memberitakan sesuatu meskipun tidak bekerja di media massa.

Berkiblat pada Search Engine (mesin pencari) seperti Google, Yahoo, Bing, Aol, dan medsos seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path dan lainnya, membuat generasi milenial semakin tumpul pengetahuannya. Mereka lebih nyaman mencari info dari internet daripada membaca buku atau koran cetak. Lihat saja saat membuka Google, mereka tidak tuntas membaca satu laman/tab, melainkan harus membuka laman baru / new tab. Jumlahnya pun tidak cukup satu, namun bisa tiga, bahkan empat dan lima.

Karakter seperti inilah yang menjadi generasi saat ini “sedikit tahu di banyak hal” tapi tidak mendalam. Mereka tercerabut dari isu-isu daerah, kearifan lokal, namun lihai berbicara isu nasional bahkan internasional. Paham dengan isu baru namun hanya “numpang lewat” dan tidak mendasar ketika melihat sesuatu viral.

Secara psikis, saya menyebut ini dampak buruk teknologi yang mencerabut “kearifan lokal”. Sebab, mereka tidak paham sekali gagasan, pengetahuan, budaya dan kearifan lokal. Mental mereka inlander dan berkiblat pada sesuatu modern, berbasis cyber dan menganggap “katrok” sesuatu yang lokal.

Gejala medsos yang berisi sesuatu instan, viral, panas juga melahirkan generasi yang “pemalas”, mudah menyerah, mudah bosan, mudah terpengaruh, sakit-sakitan, tidak percaya diri dan lainnya. Tidak hanya itu, efek sosial juga semakin memprihatinkan. Viralitas medsos, membuat silaturahmi makin terputus. Maka adagium “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat” menjadi tesis kebenaran fungsi medsos.

Melek Literasi
Tidak hanya para pelajar dan mahasiswa, kebanyakan para intelektual, budayawan, seniman juga mulai bergeser budayanya. Hampir semua masyarakat Indonesia bergantung pada gadget namun buta literasi. Entah itu bermedsos, sampai urusan membeli tiket, membayar listrik, memesan ojek/taksi, transfer uang dan sebagainya.

Adagium “dunia dalam genggaman” sudah dirasakan. Namun ingat, kita seharusnya “memperbudak teknologi”, bukan kita yang “diperbudak teknologi”. Sebab, semua produk teknologi hanya alat, bukan tujuan hidup. Ia hanya benda mati yang kadang justru “memperlakukan” kita seperti orang yang tidak punya perasaan, hati dan pikiran.

Teknologi di era milenial memang memudahkan. Namun karena kita “latah”, teknologi tersebut menjadi “brutal” menjajah kita. Ada beberapa hal yang perlu diubah budaya tersebut. Pertama, memanfaatkan teknologi haruslah berdasarkan akal sehat, bukan kepentingan dan nafsu yang berlebihan. Sebab, sehari bermedsos pun betah tanpa makan dan minum. Ini gejala menarik yang salah kaprah.

Kedua, di dunia pendidikan, sosial, budaya, politik, akan semakin maju jika memanfaatkan teknologi untuk kebaikan. Adanya Cyber City, Cyber University, Cyber Politics, Cyber Crime, Cyber Birocration dan lainnya menjadi bukti bahwa kita makhluk teknologi. Ketiga, menggunakan teknologi sama seperti menghadapi manusia, maka harus beretika.

Keempat, budaya viral sangat cocok untuk update informasi, namun harus disikapi dengan arif dan cerdas mengupas. Biasanya, viralitas hanya karena penggiringan isu, sedangkan isu itu belum tentu jelas kebenarannya. Kelima, dalam meningkatkan kualitas diri, generasi milenial setidaknya menjadi “pembaca cerdas” dan “pembaca kritis”. Mereka bisa menerapkan pola kerja wartawan dan ilmuwan. Tidak mentah-mentah mengonsumsi berita vital tapi harus melalui tabayun dan penelitian agar tidak tertipu oleh isu.

Orang yang paling selamat adalah yang tahu spirit zaman (zeitgeist) dan kecenderungan sosial. Oleh karena itu, melek IT itu wajib, namun “buta literasi” sangat dilarang. Sekali lagi, sangat dilarang!

Foto:


 
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Budaya Viral Generasi Milenial Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda