Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Friday 14 September 2012

Dalam Bayangan Kekerasan


Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat di RADAR BANGKA, Jumat 13 September 2012

Kekerasan berulangkali terjadi dalam segala macam bentuk dan jenisya. Masyarakat yang semula kaget lama-kelamaan menjadi terbiasa. Kenapa demikian? Rakyat awam yang awalnya terganggu ketenteraman batinnya, mulai tenang, memaklumi dan menerima, kemudian melupakannya. Kekerasan menjadi sesuatu yang “lumrah” dan “wajar.” Bahkan, kalau tidak cukup keras, tidak akan terasa, tidak cukup kelihatan dan akhirnya tak ada. Untuk ada harus dilakukan kekerasan. Tata nilai pun bergeser. Padahal, Indonesia memiliki azimat yang bernama Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang harus selalu diamalkan dan dijunjung tinggi.
               
Pada dasarnya, kata “keras” berarti padat, tak gampang ditembus, sulit dipecah, sukar dibelah, atau dalam hubungannya dengan suara lantang. Sebagai lawannya adalah lunak, lembut, atau lirih kalau hubungannya dengan suara. Kekerasan sebagai kata keterangan, adalah terlalu keras atau lewat batas keras yang umum. Sebagai kata benda, kekerasan adalah segala tindakan yang bersifat keras atau terlalu keras. Di dalamnya terasa ada kekejaman, kekejian dan kesewenang-wenangan. Karena terbiasa bergaul, menghadapi kekerasan, banyak orang menjadi ahli. Mereka tahu seluk-beluk, gejala, kecenderungan, efek, ekses, tabiat dan tingkah laku kekerasan. 
Tetapi ternyata walau sudah begitu banyak ahli, itu bukan pertanda kekerasan dapat diupayakan berkurang, Setiap saat masih selalu meletus kekerasan yang tak bisa dibendung. Seakan-akan pengetahuan tentang kekerasan, barisan orang-orang pintar tentang kekerasan, tidak ada gunanya.

Melawan Kekerasan
               
Di masa Perang Dingin antara dua kekuatan raksasa; Uni Sovyet dan Amerika Serikat, kita pernah percaya bahwa kekuatan lawan kekuatan akan menghasilkan perdamaian. Kiat dalam menghadapi terorisme juga menyebutkan, hanya kekerasan melawan yang cocok untuk meredam kekerasan. Tapi kenyataan di depan hidung kita, kemudian berbicara lain. Kekerasan lawan kekerasan seperti yang terjadi di Ambon atau Poso, tidak memadamkan tapi mengobarkan terus kekerasan.
               
Teori tentang kekerasan adalah perangkat lunak yang penting untuk memahami tindak kekerasan. Tapi memaksakan teori kekerasan untuk menjinakkan atau menghentikan kekerasan yang terjadi di berbagai tempat berbeda, sebagai kasus-kasus unik setempat, terlalu gegabah. Karena banyak tindak kekerasan yang menyimpang dari teori. 
               
Kekerasan yang erat hubungannya dengan konteks itu memerlukan pendekatan khusus. Bahkan tak jarang, resep yang di luar fatwa anti kekerasan yang baku. Badai kekerasan di wilayah Indonesia yang begitu luas dengan berbagai perbedaan dan nuansanya, memerlukan perhatian-perhatian khusus. Setiap tindak kekerasan memiliki riwayat lokalnya yang perlu diusut cermat. 
               
Memang ada kekerasan yang merupakan penularan dari wikayah lain. Tapi kunci penawarnya yang utama, ada pada ornamen-ornamen setempat. Bukan ahli yang diperlukan. Ahli hanya menolong kita untuk melihat kekerasan itu secara umun, sistematik, mudah dan gampang dikategorikan, tetapi sulit dipadankan. Yang diperlukan adalah herbal, obat penawar dari tetumbuhan yang hidup di wilayah setempat. Setiap wilayah memiliki kearifan lokal masing-masing dalam menjinakkan atau membasmi kekerasan.
               
Kekerasan, (baca: senjata) hanya bisa meredam, tidak membasmi kekerasan. Memang harus dibuktikan bahwa hanya kelembutan yang akan bisa menghentikan kekerasan. Karena kelembutan ini pun pada dasarnya teori juga. Tapi itu jauh lebih menunjukkan bahwa yang mau dihindarkan dari kekerasan itu adalah masyarakat setempat yang menjalaninya. Kekerasan yang diselesaikan dengan teori umum, hanya mengamankan kekuasaan, bukan penduduk setempat.
               
Kedamaian seperti yang terasakan di Flores adalah kedamaian yang direkat oleh kelembutan. Saudara-saudara kita di Bugis-Makassar juga punya formula damai dari kearifan lokalnya yang sangat realistis dan cerdas. Konflik yang tidak bisa diselesaikan dengan ujung lidah, akan diselesaikan dengan ujung badik. Dan kalau itu juga tidak mempan, akan diselesaikan dengan perkawinan.
               
Derasnya arus terorisme, anarkisme dan vandalisme di negeri ini harus dilawan dan dihentikan secepatnya. Intinya, pemerintah, penegak hukum, masyarakat harus bersinergi melawan dan menghilangkan kekerasan dalam bentuk apa pun. Semua orang tentu mencintai perdamaian dan ketentraman. Maka dari itu, menciptakan perdamaian merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilakukan, bukan sekadar diwacanakan saja.
               
Ini menjadi penting. Pasalnya, kekerasan di Indonesia semakin menakutkan. Jika pemerintah, penegak hukum dan masyarakat tak ada niat serius membasmi kekerasan, maka Negara ini pasti akan menjadi “hutan” tanpa aturan. Iya benar, hukum rimba pasti berlaku. Padahal, Indonesia merupakan Negara hukum yang menjunjung tinggi perdamaian. Jika kekerasan tak segera diselesaikan, baik aksi teror dan kekerasan lainnya, maka Indonesia pasti akan menjadi semrawut laiknya hutan. Itu pasti. Wallau a’lam bisshawab. (**)

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Dalam Bayangan Kekerasan Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda