Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Monday 3 September 2012

Mengevaluasi Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor


Tulisan ini dimuat di Koran Wawasan, edisi Selasa-4-September 2012
Baru-baru ini, Mahkamah Agung (MA) memecat dua hakim ad hoc Pengadilan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang penerima suap. Karena itu, MA harus segara mengevaluasi sejumlah Pengadilan Tipikor di sejumlah daerah terkait vonis bebas pelaku korupsi di Pengadilan Tipikor. Hakim Pengadilan Tipikor Semarang memang bermasalah. Untuk itu, pemerintah harus segera menuntaskan kasus ini.
Memang ada beberapa masalah dengan Pengadilan Tipikor di daerah seperti Bandung dan Semarang. Namun, untuk meninjau ulang harus melalui kesepakatan dengan institusi lain dan UU harus diubah. Karena itu, MA harus segara memberikan pembinaan kepada para hakim Tipikor di daerah. Mereka harus mengumpulkan hakim dan memberikan pencerahan terkait kode etik hakim. Jika ada hakim terbukti bersalah, maka harus ditindak tegas.
Desakan mengevaluasi pengadilan Tipikor di daerah telah disuarakan Komisi Yudisial (KY) dan beberapa pakar hukum. Banyak kalangan hukum menilai pendirian Pengadilan Tipikor daerah terlalu terburu-buru dan mengakibatkan pengadilan itu bisa mengurangi kemerdekaan kekuasaan yudikatif yang selama ini berada di tangan MA. Akibat kebijakan yang dilaksanakan dalam waktu singkat, rekrutmen hakim yang menitikberatkan pada aspek moralitas dan integritas tak lagi menjadi tujuan utama.
Pemecatan
MA telah menonaktifkan dua hakim ad hoc Pengadilan Tipikor, Kartini Marpaung dan Heru Kisbandono, yang ditangkap KPK saat menerima suap Rp150 juta pada Jumat (17/8). SK (Surat Keputusan) pemberhentian sementara dua hakim ad hoc sudah ditandatangani ketua MA. Jika mereka terbukti bersalah maka akan dipecat.
Penonaktifan Kartini Marpaung berdasarkan SK No.099/KMA/SK/VIII/2012, sementara Heru dinonaktifkan sesuai SK No.098/KMA/SK/VIIi/2012. Kedua SK tersebut telah ditandatangani pada Kamis 23 Agustus 2012. Kartini Marpaung dan Heru Krisbandono adalah hakim ad hoc Tipikor Semarang yang ditangkap KPK di halaman Pengadilan Tipikor Semarang bersama pengusaha Sri Dartuti dengan sejumlah uang senilai lebih Rp100 juta. Kartini diduga menerima uang suap yang diberikan Sri melalui Heru. Uang tersebut diduga terkait putusan untuk perkara korupsi yang melibatkan Ketua DPRD Grobogan, Jawa Tengah, Muhammad Yaeni.
Menuntaskan
Seharunya, dalam hal ini Komisi Yudisial (KY) menelusuri rekam jejak hakim ad hoc Pengadilan Tipikor sesuai permintaan MA. Dengan penelusuran yang baik terkait rekam jejak hakim ad hoc diharapkan bisa mendapatkan sosok yang baik secara moral dengan menjunjung tinggi profesi hakim yang adil dan bersih.
Sebelumnya, KY telah menerima surat dari MA untuk meminta bantuan penelusuran rekam jejak dalam seleksi hakim ad hoc pengadilan Tipikor. Tapi saat itu KY menyatakan tak sanggup karena waktu yang diberikan cukup singkat hanya 19 hari, sejak tanggal 6-24 Agustus 2012. Kinerja Pengadilan Tipikor di daerah perlu di kaji karena keberadaannya telah menumbuhkan perilaku korupsi di daerah oleh Hakim yang menyidangkan perkara korupsi. Keberadaannya perlu dikaji lagi, karena telah menumbuhkan prilaku hakim korupsi.
Di sisi lain, KPK sudah menahan tersangka hakim Pengadilan Tipikor Semarang usai menjalani pemeriksaan 1 x 24 jam. Lokasi penahanan ada yang di Rutan KPK, Rutan Polda Metro Jaya dan Rutan Pondok Bambu. KPK resmi menetapkan dua hakim ad hoc Tipikor, Kartini J Marpaung dan Heru Kusbandono sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyuapan terkait penanganan kasus yang sementara disidang di Pengadilan Tipikor Semarang dengan terdakwa salah seorang pejabat setempat. Kartini Marpaung dijerat diduga pasal 5 ayat 2 atau pasal 6 ayat 2, atau pasal 11, atau pasal 12 a, atau b c. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tipikor Jo pasal 55 ke 1 KUHP. Heru pun dijerat dengan pasal yang yang dengan rekan sejawatnya, namun ditambahkan Pasal 5 ayat 1a atau b, Pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU Tipikor.
Pada intinya, selain pemecetan, pemerintah harus segara mengevaluasi dan menindak tegas siapa saja yang bersalah, baik hakim, maupun pejabat yang melakukan “kongkalikong” dengan hakim itu sendiri. Ini menjadi PR bersama karena banyak kegagalan pengadilan Tipikor di daerah. Pemerintah harus segera menuntaskan kasus ini. Pasalnya, dua hakim ad hoc yang tertangkap ini ternyata memang memiliki rekam jejak kelam kerap membebaskan terdakwa korupsi. Keduanya disinyalir telah membebaskan setidaknya lima terdakwa korupsi.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dua hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi, Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono, yang tertangkap KPK. Sebelum mereka menjadi hakim memang sudah memiliki catatan hitam. Maka dari itu, jangan sampai kasus yang memalukan ini terulang. Pemerintah dan ICW harus mendesak MA segera memecat keduanya dan mengoreksi keputusan yang dibuat Hakim Kartini di Semarang. Jika tidak, maka ia akan membawa virus korup kepada hakim lainnya. Wallahu a’lam bisshawab.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Mengevaluasi Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda