Oleh: Hamidulloh
Ibda
Tulisan ini dimuat di
Koran Metro Siantar, Kamis 20 September 2012
Sejak awal persiapan PON XVIII hingga hari ini
sangat menguras energi panitia dan pemerintah, baik energi lahir maupun batin.
Secara lahiriah, kekayaan masyarakat Riau terkuras. Kita tak tahu berapa total
uang tersedot untuk PON. Sulit menghitungnya. Kisruh tentang berapa total
anggaran pembukaannya saja sampai hari ini masih terjadi. Konon acara pembukaan
mencapai Rp100 miliar. Yang jelas, secara material uang rakyat Riau digunakan
ratusan miliar dan bahkan triliuanan untuk PON.
Berbagai program prioritas pembangunan untuk
rakyat Riau harus ditunda demi PON. Anggaran pembangunan untuk rakyat di
berbagai instansi berkurang demi mendukung PON. Secara batiniah, PON telah
mengguncang jiwa rakyat Riau dengan adanya berbagai kasus korupsi terkait
anggaran PON.
Manifestasi Nilai
Filosofis Olahraga
Namun, apakah hati
orang Riau memang pro-PON? Jangan-jangan demam PON dalam artian yang
sesungguhnya tidak terlalu dirasakan orang Riau. Tetapi justru demam KPK yang
lebih tinggi dari pada demam PON akibat terkuaknya beberapa kasus korupsi dalam
PON. Demam PON menyebabkan demam KPK. Mengerikan.
Pengorbanan lahir dan
batin orang Riau untuk PON tidak boleh sia-sia. PON itu pasti terjadi. Kalau
tak terjadi, Riau “tamat”. Secara moral, PON harus dimaknai agar PON bersifat
transformatif bagi peningkatan nilai-nilai kemanusian dan memberikan
kontribusi positif bagi peradaban. Artinya, orang Riau semakin beradab dengan
adanya PON. Sebaliknya, jangan sampai PON membuat orang Riau semakin biadab. Agar
PON memberikan kontribusi positif bagi peradaban, kita perlu memahami dan
meningkatkan kesadaran kita tentang nilai-nilai kemanusian yang terdapat dalam
olahraga.
Pertama,
harmonisasi lahir dan batin. Nilai universal olahraga yang paling utama adalah
keseimbangan lahir dan batin dalam diri manusia. Olahraga tidak hanya berkaitan
dengan dimensi fisik manusia. Performa fisik dalam olahraga digerakkan oleh
batin yang terdapat diri manusia. Secara kasat mata memang terlihat aktivitas
olahraga dalam bentuk fisik. Kegiatan olahraga sesungguhnya merupakan
manifestasi dari eksistensi manusia seutuhnya yang memiliki jiwa dan raga. Ini
sesuai dengan tujuan penyelenggaraan Olimpiade Kuno, yakni menciptakan manusia
yang sempurna.
Kesadaran pentingnya
olahraga bagi manusia perlu terus ditingkatkan sebab kecenderungan
disharmonisasi lahir dan batin dalam kehidupan manusia semakin merugikan
manusia yang hidup di era digital. Teknologi digital membuat manusia semakin
malas untuk menggerakan organ fisiknya.
Padahal gerak fisik itu sangat penting untuk kesehatan manusia. Teknologi digital telah memanjakan manusia sehingga gerak fisik manusia semakin berkurang. Manusia larut dengan kemudahan-kemudahan yang disediakan teknologi digital. Akibatnya, penyakit yang diakibatkan kurangnya gerak fisik semakin mengancam kesehatan manusia.
Padahal gerak fisik itu sangat penting untuk kesehatan manusia. Teknologi digital telah memanjakan manusia sehingga gerak fisik manusia semakin berkurang. Manusia larut dengan kemudahan-kemudahan yang disediakan teknologi digital. Akibatnya, penyakit yang diakibatkan kurangnya gerak fisik semakin mengancam kesehatan manusia.
Kedua, nilai
persaingan dalam persaudaraan (competitiveness in brotherhoodness). Secara
sosial olahraga mengedepan nilai persahabatan. Meskipun dalam pertandingan
olahraga selalu ada kompetisi, nilai persaudaraan tetap dijunjung tinggi.
Kompetisi tidak menghancurkan nilai persaudaraan sehingga tidak ada alasan
persaingan dalam olahraga menyebabkan permusuhan. Bila ada perkelahian akibat
kekalahan dalam olahraga berarti nilai persaudaraan telah direduksi.
Semangat berkompetisi
dengan sesama manusia sangat positif untuk meningkatkan kapasitas diri. Ini
perlu dikembangkan agar kehidupan manusia lebih dinamis. Adanya “lawan” dalam
pertandingan olahraga merupakan motivasi utama untuk meningkatkan kemampuan.
Bertanding atau berkompetisi tidak membuat manusia bermusuhan meskipun dalam
pertandingan olahraga adanya kondisi “menang-kalah”. Kondisi menang-kalah harus
dimaknai secara benar agar tidak menimbulkan permusuhan.
Kalah-menang hanya
suatu indikator untuk mengukur kemampuan orang yang bertanding. Menang-kalah
tidak dimaknai dalam konteks perang, yakni yang menang menguasai yang kalah.
Hubungannya tidak bersifat hegemonik. Artinya, yang menang tidak menindas yang
kalah. Hubungan menang-kalah bersifat humanistik dan bertujuan untuk saling
meningkatkan kemampuan. Konflik dan permusuhan harus dijauhkan dari olahraga
sebab olahraga bertujuan untuk membangun persaudaraan di antara manusia.
Ketiga, nilai
sportivitas. Nilai sportivitas secara khusus berasal dari istilah sport atau
olahraga. Sportivitas bermakna jujur, disiplin, taat aturan, ksatria dan
pengakuan terhadap kemenanangan atau kekalahan. Sikap sportif sangat ideal
dalam kehidupan manusia. Alangkah indahnya proses politik di Indonesia jika
menjunjung tinggi nilai sportivitas. Carut-marut pemilihan pemimpin di
Indonesia bisa diperbaiki bila rakyat dan calon pemimpin dapat mengaplikasikan
nilai sportivitas. Bila sportivitas dikedapankan maka kekalahan dalam
pertarunga politik tidak menimbulkan konflik. Persaingan dalam politik hanya
sebuah permainan sehingga bila ada yang kalah dan menang dalam permainan itu
harus diterima dengan lapang hati.
Orang yang menang
tidak merendahkan yang kalah dan orang yang kalah mengakui kemampuan yang
menang. Salah satu nilai sportivitas dalam olahraga yang sangat penting dan
urgen diterapkan dalam kehidupan di Indonesia kejujuran. Keempat, nilai
kerjas keras dan ketekunan. Prestasi yang diraih dalam olahraga pasti diraih
dengan kerja keras dan ketekunan. Kemenangan memerlukan masa latihan yang
panjang. Seorang olahragawan membutuhkan waktu yang panjang untuk meningkatkan
kemampuannya menjadi sang juara. Berlatih dengan keras dan tekun merupakan
modal utama dalam olahraga.
Alangkah hebatnya
hidup kita bila kita mampu bekerja keras dan tekun dalam menjalankan peran
kita. Ketekunan seorang pelajar akan membuatnya menjadi pelajar yang cerdas,
kreatif dan berhasil meraih prestasi. Ketekunan seorang karyawan akan
meningkatkan kinerja dan penghasilannya. Ketekunan rakyat, akan memperkuat kapitasnya
dalam masyarakat. Ketekunan seorang pemimpin akan menghasilkan kualitas
kepemimpinan yang tangguh, membumi dan memberikan manfaat bagi
masyarakat. Wallahu a’lam.
(**)
Penulis adalah
Direktur Eksekutif HI Study Centre, Peneliti di Centre for Democracy and Islamic Studies
IAIN Walisongo Semarang
0 komentar:
Post a Comment