Baru-baru ini, hasil Musyawarah Nasional atau Munas Nahdlatul Ulama (NU) di Cirebon, Jawa Barat menjadi sorotan berbagai kalangan. Salah satu hasil wacana itu adalah hukuman mati bagi koruptor. Memang, wacana hukuman mati untuk “tikus berdasi” itu bukan hal baru, melainkan wacana lama.
Bangsa
Indonesia memang sudah sangat kesal dengan ulah koruptor. Jumlah ruang tahanan
atau penjara yang terus ditambah, tidak menjadikan para koruptor gentar. Bangsa
ini seolah sudah kehabisan kata-kata untuk mencegah dan mengatasi pidana yang
sangat menyakitkan rakyat. Ayat-ayat suci pun seolah sudah tak mempan lagi
membuat sadar para (calon) koruptor. Kini, ayat suci pun “dikorupsi.” Terbukti
dengan adanya dugaan korupsi pengadaan Al Quran di Kementerian Agama.
Korupsi
di Indonesia hampir tak pernah dilakukan satu orang. Selalu saja terdengar
lebih dari satu tersangka untuk sebuah kasus. Modus korupsi sepertinya itu-itu
saja; seseorang dari luar kementerian kemudian besekongkol dengan orang dalam
untuk mempermudah proses korupsi dan pembungkaman. Ada juga yang melibatkan
penegak hukum dengan cara memberi sogokan juga kepada penegak hukum agar kasus
korupsinya “tidak muncul.”
Melihat
penghukuman atas korupsi selama ini, vonis bagi koruptor sangat jauh dari
hukuman mati. Buka saja arsip vonis untuk barisan koruptor. Vonis yang lumayan
tinggi dijatuhkan bagi para penegak hukum yang ikut korupsi.
Vonis
untuk koruptor di luar para penegak hukum, kebanyakan di bawah lima tahun.
Hanya Gayus Tambunan yang akumualsi vonisnya mencapai 28 tahun karena didakwa
terlibat aneka kasus korupsi. Kasus Gayus sangat menghebohkan, karena
bepengaruh dalam banyak sendi kehidupan berbangsa, terutama dalam ketaatan
pembayaran pajak. Gayus adalah pegawai pajak golongan IIIA namun sangat kaya.
Selebihnya, para koruptor mendapat vonis “bersahabat.” Kasus yang tak kalah
menghebohkan dibanding Gayus ini, berakhir antiklimaks. Muhamad Nazaruddin hanya
divonis 4 tahun 10 bulan. Nunun Nurbaeti juga divonis relatif enteng, 4 tahun
10 bulan.
Para
hakim tentu sudah menggunakan pertimbangan matang dan dasar hukum kuat untuk
memvonis para koruptor. Kita harus menghormati keputusan para hakim. Kalau kita
mau memberi catatan atas vonis bagi koruptor, gunakanlah dasar undang-undang. UU di Indonesia, ternyata memungkinkan
seseorang dihukum mati karena kasus korupsi. Sejarah mencatat, pada tahun 2006,
pembobol Bank BNI Ahmad Sidik Mauladi Iskandar Dinata atau lebih dikenal dengan
Dicky Iskandar Dinata, sempat dituntut hukuman mati sebelum akhirnya hakim PN
Jakarta Selatan memvonis Dicky dengan hukuman seumur hidup.
Hukuman Mati
UU
Pemberantasan Korupsi memang memberi kewenangan penuh kepada jaksa dan hakim
untuk menuntut dan memonis koruptor dengan hukuman mati. Namun dalam sejarah
pemberantasan korupsi di Indonesia, Cuma sekali itu saja tuntutan mati diajukan
jaksa, ya terhadap Dicky itu. Jaksa menyandarkan diri pada Pasal 2 Ayat 2 UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan
demikian, tak perlu mengubah UU untuk menghukum mati koruptor. Tinggal
profesionalitas para penyidik (pollisi, kejaksaan, KPK), para jaksa, dan hakim
saja yang kita harapkan. Kalau alat bukti kuat, kasus korupsinya menghancurkan
sendi-sendi berbangsa, maka hukum mati saja.
Indonesia
perlu meniru hukuman mati bagi koruptor seperti cara bangsa China mengatasi
korupsi. Ketika dilantik menjadi Perdana Menteri 1998, Zhu Rongji berkata, “Beri
saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, satunya untuk saya
jika saya korupsi.” Setiap tahun, ada saja orang dihukum mati karena korupsi.
Pepatah China “bunuhlah satu ekor ayam untuk menakut-nakuti seribu kera” memang
efektif. Pepatah yang lembut, karena mengibaratkan koruptor dengan ayam, bukan
binatang lainnya.
Saatnya Merealisasikan
Wacana
hukuman mati oleh PBNU memang mendapatkan dukungan dari Kejaksaan Agung dan
Kepolisian. Meski begitu, wacana tersebut tidak masuk dalam draf rekomendasi
munas. Sebagai bentuk efek jera dan langkah pengurangan kasus korupsi secara
signifikan, maka sudah saatnya hukuman mati diterapkan untuk koruptor.
Wacana
itu bermaksud untuk memberikan semangat bagi lembaga penegak hukum. Pemerintah
harus segera menyikapi rekomendasi NU tersebut. Namun, sampai hari ini
nampaknya belum ada pembahasan lebih lanjut untuk mengimplementasikan
rekomendasi Munas NU itu.
Setidaknya, hukuman setimpal, sanksi sosial,
dan pemiskinan, jika sungguh-sungguh direalisasikan akan menambah efek jera
koruptor. Semua itu lebih bermakna bilamana penegak hukum juga “tegas” agar
terkesan lebih menakutkan. Nah, hukuman mati menjadi jurus jitu untuk
menghentikan korupsi di negeri ini. Jika tak ada upaya untuk tegas memberantas
korupsi, negeri ini pasti terus terpuruk. Maka, sudah saatnya Indonesia
menerapkan hukuman mati untuk koruptor. Jika tidak sekarang, lalu kapan? Itu
menjadi keniscayaan. Wallahu a’lam.
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, edisi Kamis 20
September 2012
0 komentar:
Post a Comment