Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Friday 21 September 2012

Hukuman Mati bagi Koruptor


          Baru-baru ini, hasil Musyawarah Nasional atau Munas Nahdlatul Ulama (NU) di Cirebon, Jawa Barat menjadi sorotan berbagai kalangan. Salah satu hasil wacana itu adalah hukuman mati bagi koruptor. Memang, wacana hukuman mati untuk “tikus berdasi” itu bukan hal baru, melainkan wacana lama. 

Bangsa Indonesia memang sudah sangat kesal dengan ulah koruptor. Jumlah ruang tahanan atau penjara yang terus ditambah, tidak menjadikan para koruptor gentar. Bangsa ini seolah sudah kehabisan kata-kata untuk mencegah dan mengatasi pidana yang sangat menyakitkan rakyat. Ayat-ayat suci pun seolah sudah tak mempan lagi membuat sadar para (calon) koruptor. Kini, ayat suci pun “dikorupsi.” Terbukti dengan adanya dugaan korupsi pengadaan Al Quran di Kementerian Agama.
Korupsi di Indonesia hampir tak pernah dilakukan satu orang. Selalu saja terdengar lebih dari satu tersangka untuk sebuah kasus. Modus korupsi sepertinya itu-itu saja; seseorang dari luar kementerian kemudian besekongkol dengan orang dalam untuk mempermudah proses korupsi dan pembungkaman. Ada juga yang melibatkan penegak hukum dengan cara memberi sogokan juga kepada penegak hukum agar kasus korupsinya “tidak muncul.”
Melihat penghukuman atas korupsi selama ini, vonis bagi koruptor sangat jauh dari hukuman mati. Buka saja arsip vonis untuk barisan koruptor. Vonis yang lumayan tinggi dijatuhkan bagi para penegak hukum yang ikut korupsi.
Vonis untuk koruptor di luar para penegak hukum, kebanyakan di bawah lima tahun. Hanya Gayus Tambunan yang akumualsi vonisnya mencapai 28 tahun karena didakwa terlibat aneka kasus korupsi. Kasus Gayus sangat menghebohkan, karena bepengaruh dalam banyak sendi kehidupan berbangsa, terutama dalam ketaatan pembayaran pajak. Gayus adalah pegawai pajak golongan IIIA namun sangat kaya. Selebihnya, para koruptor mendapat vonis “bersahabat.” Kasus yang tak kalah menghebohkan dibanding Gayus ini, berakhir antiklimaks. Muhamad Nazaruddin hanya divonis 4 tahun 10 bulan. Nunun Nurbaeti juga divonis relatif enteng, 4 tahun 10 bulan.
Para hakim tentu sudah menggunakan pertimbangan matang dan dasar hukum kuat untuk memvonis para koruptor. Kita harus menghormati keputusan para hakim. Kalau kita mau memberi catatan atas vonis bagi koruptor, gunakanlah dasar undang-undang.  UU di Indonesia, ternyata memungkinkan seseorang dihukum mati karena kasus korupsi. Sejarah mencatat, pada tahun 2006, pembobol Bank BNI Ahmad Sidik Mauladi Iskandar Dinata atau lebih dikenal dengan Dicky Iskandar Dinata, sempat dituntut hukuman mati sebelum akhirnya hakim PN Jakarta Selatan memvonis Dicky dengan hukuman seumur hidup.
Hukuman Mati
UU Pemberantasan Korupsi memang memberi kewenangan penuh kepada jaksa dan hakim untuk menuntut dan memonis koruptor dengan hukuman mati. Namun dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, Cuma sekali itu saja tuntutan mati diajukan jaksa, ya terhadap Dicky itu. Jaksa menyandarkan diri pada Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, tak perlu mengubah UU untuk menghukum mati koruptor. Tinggal profesionalitas para penyidik (pollisi, kejaksaan, KPK), para jaksa, dan hakim saja yang kita harapkan. Kalau alat bukti kuat, kasus korupsinya menghancurkan sendi-sendi berbangsa, maka hukum mati saja.
Indonesia perlu meniru hukuman mati bagi koruptor seperti cara bangsa China mengatasi korupsi. Ketika dilantik menjadi Perdana Menteri 1998, Zhu Rongji berkata, “Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, satunya untuk saya jika saya korupsi.” Setiap tahun, ada saja orang dihukum mati karena korupsi. Pepatah China “bunuhlah satu ekor ayam untuk menakut-nakuti seribu kera” memang efektif. Pepatah yang lembut, karena mengibaratkan koruptor dengan ayam, bukan binatang lainnya.
Saatnya Merealisasikan
Wacana hukuman mati oleh PBNU memang mendapatkan dukungan dari Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Meski begitu, wacana tersebut tidak masuk dalam draf rekomendasi munas. Sebagai bentuk efek jera dan langkah pengurangan kasus korupsi secara signifikan, maka sudah saatnya hukuman mati diterapkan untuk koruptor.
Wacana itu bermaksud untuk memberikan semangat bagi lembaga penegak hukum. Pemerintah harus segera menyikapi rekomendasi NU tersebut. Namun, sampai hari ini nampaknya belum ada pembahasan lebih lanjut untuk mengimplementasikan rekomendasi Munas NU itu.
Setidaknya, hukuman setimpal, sanksi sosial, dan pemiskinan, jika sungguh-sungguh direalisasikan akan menambah efek jera koruptor. Semua itu lebih bermakna bilamana penegak hukum juga “tegas” agar terkesan lebih menakutkan. Nah, hukuman mati menjadi jurus jitu untuk menghentikan korupsi di negeri ini. Jika tak ada upaya untuk tegas memberantas korupsi, negeri ini pasti terus terpuruk. Maka, sudah saatnya Indonesia menerapkan hukuman mati untuk koruptor. Jika tidak sekarang, lalu kapan? Itu menjadi keniscayaan. Wallahu a’lam.
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, edisi Kamis 20 September 2012

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Hukuman Mati bagi Koruptor Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda