Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Koran Radar Bangka, edisi Sabtu 8 September 2012
Dewasa ini, Indonesia kembali dikejutkan dengan rentetan teror di Solo, Jawa Tengah. Mulai dari berondongan tembakan ke Pos Polisi Gemblengan, pelemparan granat ke Pos Polisi Gladak, hingga tembakan ke Pos Polisi Singosaren yang menewaskan Bripka Dwi Data Subekti. Terakhir, masyarakat dikagetkan lagi dengan insiden baku tembak antara Densus 88 Antiteror dengan kelompok teroris di Jawa Tengah. Maka, kejadian di atas mengharuskan bahwa terorisme harus segera dibasmi.
Terorisme merupakan bahaya laten yang menjadi “penebar ketakutan” masyarakat. Teror di Solo merupakan peringatan serius bangsa ini, terutama para aparat keamanan, untuk meningkatkan kewaspadaan menghadapi jaringan teroris yang terus berkembang.
Intinya, terorisme harus dikutuk dan diberantas.
Pasalnya, aksi teror ini tak bisa lagi dilihat secara sepihak sebagai masalah sosial saja. Dari berbagai fakta yang ada, munculnya terorisme di Indonesia ternyata bukan hanya disebabkan masalah kemiskinan. Namun, faktor ideologis juga berperan sentral bagi timbulnya radikalisme itu. Karena itu, pemerintah dan aparat keamanan harus jeli meneropong munculnya berbagai kelompok ideologis di masyarakat.
Hal ini sangat krusial, karena jika bisa diketahui sejak awal tentu penanganannya juga lebih mudah. Pemerintah harus berani bertindak tegas jika melihat adanya gerakan yang mengancam keamanan masyarakat dan ketertiban umum. Di sinilah pentingnya peran intelijen untuk mengetahui lebih dini setiap gerakan ideologis yang berpotensi mengganggu keamanan negara. Tak dapat disangkal bahwa Indonesia juga merupakan korban terorisme itu sendiri.
Membebaskan negara ini dari aksi teror memang bukan pekerjaan yang mudah. Banyak sekali kepentingan yang bermain dalam area ini. Diperlukan kesungguhan pemerintah yang didukung segenap aparatnya untuk bisa menumpas terorisme sampai ke akar-akarnya. Peran masyarakat tentu juga tak kalah penting untuk ikut menjaga lingkungan masing-masing agar steril dari gerakan radikal yang membahayakan keberlangsungan negara ini.
Tanpa dibantu masyarakat, aparat keamanan yang jumlahnya sangat terbatas tentu akan kesulitan dalam memonitor setiap wilayah negara ini yang begitu luas. Satu hal lagi yang tak kalah penting adalah bagaimana kita harus menjadikan terorisme adalah musuh kita bersama. Kesamaan pemahaman ini penting dibangun untuk menghindari adanya salah pengertian tentang terorisme itu sendiri di masyarakat.
Memberantas
Terorisme tak sekadar dikutuk, namun juga harus diberantas. Rentetan aksi penembakan terhadap polisi di Solo pada 17, 18, dan 30 Agustus lalu, mengharuskan terorisme harus dihentikan. Dengan bentuknya sekarang, terbukti mereka masih ada, juga tak berhenti berkonsolidasi. Bahkan, tak sedikit analisis yang menyatakan, unjuk diri di Solo itu merupakan awal dari aksi teror yang lebih besar, dan boleh dibilang sebagai ”panggilan” terhadap jaringan teroris lainnya.
Mabes Polri menyimpulkan, para pelaku yang masih berusia belasan tahun itu berasal dari kelompok baru. Temuan tersebut menunjukkan banyak hal. Pertama, teroris yang terafiliasi dengan jaringan mana pun terus tumbuh dan berkonsolidasi, membangun sel-sel baru. Kedua, tidak ada waktu yang bisa disimpulkan sebagai ”saat berhenti”, karena setiap saat kelompok-kelompok itu bisa bergerak dengan elemen-elemen kejutnya. Ketiga, pola perekrutan makin mengarah ke kelompok remaja.
Pertanyaan terpenting yang kita ajukan, bagaimana rakyat mendapat jaminan rasa aman dari negara, dalam hal ini aparatus keamanan? Berikutnya, pola-pola kerja sama seperti apa yang harus diintensifkan oleh aparat dengan warga masyarakat? Seperti apakah solusi deradikalisasi yang mesti ditempuh pemerintah dan para tokoh masyarakat di tengah kondisi demikian? Lalu, sejauh mana peran dunia pendidikan dalam memformulasikan pembentukan watak dan karakter bangsa? Ini harus segera dibenahi.
Kegalauan-kegalauan yang terungkap lewat sejumlah pertanyaan tersebut, bagaimana pun mewakili potret realitas mengenai apa yang belum pernah bisa ditemukan jalan keluarnya setiap kali meletup peristiwa teror. Bukankah kita sadar, kelompok teroris tak pernah mati sepanjang merasa masih banyak kepentingan yang mereka perjuangkan, dan pesan lewat tindakan itulah yang mereka pilih. Jalan pikiran itu tak pernah kita pahami, tetapi terbukti dipilih sebagai tindakan.
Terlepas dari semua itu, terorisme harus segera diberantas dan dihentikan. Perlu adanya konsistensi keterpaduan pikiran dan sikap warga masyarakat dalam menghadapi realitas teror yang tak pernah padam itu sangat dibutuhkan. Masyarakat tak boleh lengah. Intelijen aparat keamanan juga harus memberi jaminan rasa aman dengan antisipasi efektif terhadap segala ancaman. Jaminan keamanan tak boleh diremehkan. Karena itu, mari kita bersama-sama memberantas terorisme. Kalau tidak sekarang, lalu kapan lagi? Karena hal itu merupakan keniscayaan. Wallahu a’lam. (**)
0 komentar:
Post a Comment