Prestasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri membongkar jaringan teroris merupakan prestasi besar yang perlu mendapat acungan jempol. Namun, di balik prestasi spektakuler tersebut, kekhawatiran banyak orang tentang potensi serangan balik dan babak baru aksi pembalasan jaringan teroris terhadap simbol-simbol Barat ataupun instalasi publik lainnya sebagai target sasaran konvensional tampaknya tak menghilang.
Dewasa ini, pola serangan mereka mulai mengalami pergeseran, mulai modus operandi dan strategi penyerangan hingga target sasaran yang sebelumnya sarat dengan sentimen primordialisme. Kini itu berubah dengan motif yang lebih taktis dan politis.
Serangan mendadak jaringan teroris terhadap pos polisi Pasar Modern Singosaren, Surakarta, Jawa Tengah, yang menewaskan Brigadir Kepala (Bripka) Dwi Data Subekti (30/8), disusul tewasnya anggota Densus 88 Bripda Suherman dalam operasi penyergapan teroris (31/8) di Surakarta, mengingatkan kita pada aksi penyerangan Mapolsek Hampar Perak Deli Serdang, Sumatra Utara, pada 22 September 2010 dan aksi bom bunuh diri M Syarif dalam Masjid Adz Dzikra Mapolres Cirebon pada 15 April 2011.
Semua itu merupakan sinyal yang sangat kuat bagi kita bahwa Densus sudah mulai dianggap sebagai new enemy oleh jaringan terorisme. Terjadinya silang temu antara fenomena keberlanjutan dan serangan balas dendam jaringan teroris di Indonesia dengan strategi pendekatan Densus tak hanya dipicu ketidaksolidan dan ketidakprofesionalan jajaran Densus, tetapi juga karena kebijakan pola operasi yang diterapkan Densus selama ini cenderung pendekatan represif.
Ketegasan Densus
Pola kebijakan Densus seperti itu menimbulkan dampak serius bagi penegakan hukum. Betapa tidak, operasi Densus selama ini hanya mengacu ke UU No 15 Tahun 2003 sebagai rujukan tunggal mengabaikan prinsip-prinsip hukum dan HAM. Kebijakan Densus yang lebih menonjolkan pendekatan represif menunjukkan pola pemberantasan terorisme di Indonesia tersandera model foam approach dan sama sekali tak menyentuh roots of problem.
Sejumlah tersangka yang menjalani proses pemeriksaan mengalami pelanggaran HAM secara sistematis, mulai sulitnya akses pembelaan dan bertemu anggota keluarga hingga penganiayaan yang dilakukan secara sadis dan brutal oleh Densus. Lebih parah lagi, pada operasi penggerebekan Densus terhadap orang yang diduga pelaku terorisme di beberapa tempat belakangan ini, kebanyakan sasaran langsung dieksekusi mati. Padahal, tuduhan sebagai jaringan teroris kepada mereka sesungguhnya baru merupakan dugaan. Hal itu melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Fenomena tragis seperti yang telah dikemukakan sangat paradoks dengan dogma hukum d dan keadilan bahwa dalam set tiap upaya penegakan hukum, tidak terkecuali Densus, aparat dituntut menegakkan hukum dengan tidak melanggar hukum. Dalam hal ini, orang yang disangka sebagai jaringan teroris barulah berkedudukan di level dugaan. Karena itu, Densus sebagai penyelidik dan penyidik hanya berwenang untuk mencari tersangka berikut dengan barang bukti. Hak asasi orang yang berkedudukan sebagai tersangka harus tetap dihormati sebagai orang yang tidak bersalah sebelum diputus pengadilan (Pasal 18 ayat 1 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Memang dalam doktrin militer, semua sasaran diperlakukan sebagai musuh dengan taruhan mati atau hidup. Namun dalam doktrin keamanan, ketertiban masyarakat (kamtibmas), polisi hanya berupaya melumpuhkan sasaran dengan berbagai cara yang patut, tepat, tetapi tetap bermoral dan humanistis. Lalu mengapa strategi pemberantasan terorisme yang dilakukan Densus cenderung menerapkan doktrin militer? Mengapa taktik melumpuhkan seperti menebarkan gas atau bahan yang memungkinkan sasaran jatuh pingsan atau mengalami kelemahan fisik yang bersifat temporer tidak digunakan? Bukankah dengan taktik pelumpuhan, para tersangka dapat ditangkap dalam keadaan hidup?
Jika dapat menangkap sasaran dalam keadaan hidup, mereka memperoleh keuntungan sangat besar, antara lain tidak perlu repot mengidentifikasi dengan mencocokkan DNA. Pelaku yang masih hidup tentu dapat memberikan keterangan dan informasi yang sangat berharga untuk pengembangan proses investigasi.
Harus diingat bahwa setiap tindakan yang menimbulkan penderitaan fisik dan/atau psikis kepada seseorang, meski dengan pretensi penegakan hukum, merupakan pelanggaran terhadap International Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Konvensi tersebut telah diratifikasi pemerintah Indonesia dengan UU No 5/1998. Selanjutnya, tindakan Densus yang kerap mengeksekusi mati seseorang tanpa putusan pengadilan yang telah mempunyai ketetapan hukum bersifat tetap dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Bagian penjelasan Pasal 104 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebut unsur pelanggaran HAM berat ialah pembunuhan secara sewenang-wenang di luar hukum (arbitrary/extrajudicial killing). Kebijakan Densus dalam pemberantasan terorisme dengan pola represif merupakan prima kausa dibidiknya Polri sebagai musuh kelompok teroris secara terbuka. Akibat kebijakan pimpinan Polri seperti itu, sikap militan dan radikal jaringan teroris yang tadinya baru berada pada tingkat medium kini dapat semakin memuncak bahkan semakin nekat. Itu bukti konkret bahwa selama main trigger-nya masih ada, eksistensi jaring an teroris tidak akan pernah dapat terlum puhkan. Yang terjadi malah kekuatan dan pola serangan secara kualitatif dan kuantitatif akan terus meningkat.
Tulisan ini dimuat di Koran Wawasan, edisi Senin 17 September 2012
0 komentar:
Post a Comment