Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat Radar Bangka, 10 September 2012
Seharusnya, partai politik (parpol) di negeri ini perlu dibenahi. Salah satunya yaitu dengan cara penyederhanaan partai politik ikut diadopsi dalam proses perubahan kelima konstitusi. Pasalnya, secara teori, multipartai tidak dapat menumbuhkan pemerintahan presidensiil. Kenapa demikian? karena pemerintahan yang kuat harus didukung parpol penguasa atau mayoritas di parlemen, dan pemerintahan yang kuat akan terwujud di tengah multipartai.
Usulan ini boleh dikatakan terobosan untuk mengakhiri “lobi” lima tahunan antar parpol ketika merumuskan ambang batas parlemen (parliament threshold). Sekaligus memperjelas jenis kelamin sistem pemerintahan yang kita anut; apakah presidensial atau parlementer? Scott Mainwaring (1993) dalam buku Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination menjelaskan bahwa pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis. Tesis ini secara terus menerus menjadi perhatian serius kaitannya dengan demokratisasi yang harus mengakomodasi segenap potensi dan kelompok yang ada dalam suatu negara.
Sistem multipartai dalam pemerintahan presidensial lebih akan menimbulkan berbagai masalah dibandingkan dengan sistem parlementer yang menganut multipartai. Masalah utamanya adalah efektivitas pemerintahan. Teorinya, pemerintahan yang efektif adalah suatu proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik oleh lembaga-lembaga publik yang selaras dengan aspirasi dan keinginan rakyat berdasarkan tata perundangan yang berlaku.
Pemerintahan Efektif
Pentingnya sistem pemerintahan yang efektif paling tidak karena tiga alasan. Pertama, dengan adanya pemerintahan yang efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih responsif. Kedua, pemerintahan yang efektif akan membuat aktivitas pemerintahan lebih bisa didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun masyarakat. Ketiga, pemerintahan yang efektif akan memungkinkan berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang. Semakin minimnya distorsi dan interupsi proses pemerintahan akan membuat pencapaian tujuan bernegara dan berbangsa lebih mudah.
Dalam kaitannya dengan itu, belum lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 3,5 persen tidak berlaku secara nasional. Pembatasan itu hanya boleh dilaksanakan untuk DPR RI. MK juga mewajibkan semua partai politik diverifikasi Komisi Pemilihan Umum tanpa pandang bulu. Demikian inti putusan MK dalam uji materi UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD.
MK dalam pertimbangan putusannya menjelaskan bahwa pembatalan ambang batas 3,5 persen yang semula berlaku nasional akan menjaga kehidupan demokrasi dan keberagaman daerah. Faktanya, beberapa partai hanya kuat di suatu daerah tapi tidak di daerah lainnya.
Putusan MK juga banyak dinilai bijaksana karena representasi daerah tidak selalu sama dengan representasi pusat. Sehingga pemberlakuan PT di daerah akan menjaga eksistensi partai tertentu yang kekuatannya berbasis di daerah meskipun tingkat nasional lemah.
Penyederhanaan parpol juga tidak dapat dilakukan dengan memberlakukan syarat-syarat berlainan kepada masing-masing parpol. Selain itu, pentingnya memperketat verifikasi belum tentu parpol yang kini ada di parlemen memenuhi kualifikasi untuk mengikuti pemilu selanjutnya. Belum tentu partai yang kini lolos ke parlemen bisa ikut Pemilu selanjutnya karena di daerah-daerah telah berlangsung pemekaran.
Menanggapi putusan tersebut, tidak semua partai menerima dan berlapang dada. Partai kecil tentu “diuntungkan‘ dengan ambang batas suara parlemen 3,5 persen tidak diberlakukan di daerah. Namun, alasan partai besar pun masuk akal. Anggota DPRD dari partai yang tidak lolos ambang batas nasional tidak banyak memiliki bergaining politik dalam memperjuangkan aspirasi konstituennya di daerah. Akibatnya, sering terjadi politik transaksional dalam proses pengambilan kebijakan daerah. Lagipula putusan Mahkamah Konstitusi itu kurang mendorong proses penyederhanaan partai politik secara alamiah melalui sistem pemilu proporsional. Ini juga bisa dipahami karena DPR tidak bulat dalam mendukung penyederhanaan partai dengan hanya menaikkan 1 persen ambang batas parlemen dibandingkan sebelumnya (dari 2,5 % ke 3,5%).
Oleh karena itu, masalah ketatanegaraan ini perlu diatur secara mendasar. Usulan ini harus menjadi pertimbangan, agar penyederhanaan partai politik diatur dalam UUD 1945 dengan memasukkannya ke dalam agenda perubahan konstitusi yang kelima.
Penyederhanaan Parpol
Setelah proses transisi yang sudah terjadi sejak Mei 1998, hal yang harus dilakukan adalah proses pelembagaan politik. Semua lembaga politik harus diorientasikan untuk mendukung penguatan pelembagaan demokratisasi. Di antara lembaga-lembaga politik yang paling memiliki peran strategis adalah parpol.
Parpol yang secara kelembagaan berwenang mengajukan nama-nama kandidat yang hendak menduduki jabatan-jabatan penting di lembaga-lembaga demokrasi. Parpol bahkan berhak mengajukan kader-kadernya duduk di lembaga legislatif (DPR), eksekutif (presiden-wakil presiden, kepala daerahwakil kepala daerah), dan yudikatif (sebagian hakim konstitusi).
Karena peranannya yang sangat strategis itu,kehidupan kepartaian harus ditata agar selaras dengan semangat pelembagaan demokratisasi. Penataan yang dimaksud bukan untuk membatasi hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana ketentuan konstitusi, melainkan untuk menerapkan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi parpol agar bisa mengikuti pemilu.
Penerapan syarat-syarat itu antara lain untuk membatasi jumlah parpol. Pada tiga kali pemilu pascareformasi, jumlah parpol yang berhak mengikuti pemilu masih terlalu banyak. Karena banyak parpol yang harus dipilih, selain membingungkan, pilihan rakyat juga menjadi terpencar- pencar ke dalam banyak parpol sehingga tak ada satu pun yang berhasil mendapat dukungan rakyat secara mayoritas mutlak (di atas 50%).
Karena banyak partai yang berhasil mendudukkan anggotanya di DPR, lembaga legislatif menjadi pasar politik yang sangat ramai dengan tingkat multipolaritas yang tinggi. Padahal pemerintahan kita menganut sistem presidensial yang artinya kepala pemerintahan berada di tangan presiden yang meniscayakan presiden mampu meredam, atau setidak-tidaknya mengimbangi kekuatan DPR agar pemerintahan bisa berjalan efektif.
Sejatinya, untuk mengefektifkan jalan pemerintahan, Presiden diberi sejumlah hak prerogatif sebagaimana yang diatur dalam konstitusi.Tetapi setelah dilakukan amendemen konstitusi, ada beberapa hak prerogatif yang hanya bisa ditempuh dengan pertimbangan atau persetujuan DPR. Untuk mengangkat dan memberhentikan menteri yang secara mutlak menjadi kewenangan Presiden pun pada faktanya banyak menteri yang harus diangkat atau diberhentikan dengan persetujuan pimpinan parpol. Karena multipolarisasi kekuatan parpol di DPR, dalam menjalankan pemerintahan Presiden harus berkoalisi dengan sejumlah parpol untuk memenuhi kebutuhan suara mayoritas. Tetapi, meskipun koalisi sudah dibangun, pada praktiknya masih ada parpol anggota koalisi yang tidak patuh dan menghambat laju pemerintahan.
Untuk mengatasi masalah ini, satu-satunya cara yang paling realistis adalah menaikkan PT untuk menyederhanakan (memperkecil) jumlah parpol dan yang lebih penting untuk membuka peluang lahirnya parpol peraih suara mayoritas yang mendukung Presiden. Dengan demikian, Presiden tidak perlu lagi tersandera dalam koalisi. Wallahu a’lam bisshawab. (**)
0 komentar:
Post a Comment