Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Saturday 6 October 2012

Menuntaskan Kasus Korupsi Simulator SIM



Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Rabu 3 Oktober 2012

Diakui atau tidak, polemik KPK dan Polri sangat memprihatinkan. Sekalipun pimpinan KPK menolak pendapat MOU memandulkan taji KPK, secara moral kewajiban kelima KPK mematuhi MOU diyakini “melebihi” kepatuhan KPK terhadap UU pembentukannya sekaligus. Hal tersebut merupakan hambatan psikologis untuk tidak kooperatif terhadap apa yang dicantumkan dalam MOU.
Kasus simulator SIM merupakan bukti kegagalan fungsi koordinasi dan supervisi KPK terhadap kepolisian.Kegagalan ini terpulang kepada sikap kelima pimpinan KPK yang berasaskan kolektif kolegial dan sejatinya seharusnya memperhatikan bunyi asasasas yang tercantum dalam UU RI Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN.
Ada tiga hambatan serius KPK dalam menyelesaikan kasus simulator SIM. Pertama, keberadaan MOU. Kedua,kesepakatan penanganan barang bukti yang rentan terhadap ketidaksepakatan cara menanganinya. Ketiga, tidak diperpanjangnya masa tugas kedua puluh penyidik Polri di KPK. Dalam konteks kemelut ini tentu menjadi perhatian kita nasib Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Bareskrim dalam kasus tersebut ke Kejaksaan Agung. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda bagaimana Kejaksaan Agung menyikapi SPDP tersebut. Kegamangan Kejaksaan Agung dapat dipahami karena SPDP ini bak “buah simalakama”; dilanjutkan terasa menyentuh hubungan baik dengan KPK selama ini seperti penanganan kasus mantan Gubernur Sumut, SA; yang dapat diselesaikan melalui MOU.
Jika tidak disikapi segera SPDP Bareskrim, menyentuh sesama instansi penegak hukum yang bernaung di bawah KUHAP sejak lama. Selain itu, kasus simulator sejak awal telah juga memunculkan pendapat anggota Komisi III DPR RI sebagai partner kerja ketiga institusi penegak hukum tersebut. Pandangan itu terbentuk dengan alasan melalui fungsi pengawasan tentu Komisi III DPR RI berhak untuk mengetahui penyebab munculnya “konflik kelembagaan” antara KPK dan Polri dalam kasus ini.
Daya tarik kasus simulator bagi anggota Komisi III DPR RI dalam menjalankan fungsi pengawasan tentu tidak terlepas dari tanggung jawab moral mereka, karena permohonan peningkatan anggaran Polri termasuk untuk pengadaan simulator SIM melalui persetujuan Banggar DPR RI. Semakin lamban penyelesaian kasus simulator SIM oleh KPK dan Polri maka semakin kuat tarikan pengaruh politik dalam kasus ini; tidak berbeda dengan kasus korupsi lainnya.
Jika kita teliti status MOU tanggal 29 Maret 2012 sampai saat ini masih tetap berlaku sah dan mengikat para pihak penandatangannya, maka tidak keliru jika dikatakan bahwa kemelut kasus ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab Kejaksaan Agung sebagai salah satu pihak dalam “tripartite” MOU.Selain tanggung jawab hukum (sesuai dengan KUHAP) juga memiliki tanggung jawab moral sebagai sesama lembaga penegak hukum dalam keadaan sulit yang tengah dihadapi kedua pihak lainnya. Atas dasar pertimbangan tersebut saya usulkan agar kasus simulator SIM dilimpahkan kepada kejaksaan seluruhnya sejak penyidikan sampai penuntutan.
Karena itu, dengan cara ini tidak ada pihak yang merasa dikesampingkan dan dilemahkan. Bahkan dengan cara ini KPK dapat fokus pada kasus megakorupsi seperti Century dan kasus Hambalang yang telah diduga menimbulkan kerugian triliunan rupiah daripada hanya mengejar satu target saja, yaitu seorang jenderal polisi dengan nilai yang tidak signifikan dibandingkan dengan kedua kasus di atas.
Pelimpahan perkara ini pun dimungkinkan selain karena praktik pernah dilakukan KPK dalam kasus korupsi lain baik kepada kepolisian maupun kepada kejaksaan, juga mengikuti MOU hal ini dibenarkan. Kejaksaan Agung dapat berkoordinasi dengan KPK dan Polri jika perlu atas persetujuan KPK dan Polri dapat ikut menyelesaikan masalah kasus simulator SIM antara lain melakukan “pengambilalihan” dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Cara ini melepaskan KPK dan Polri agar tidak tersandera baik secara hukum maupun secara psikologis oleh kasus simulator SIM yang belum dapat diprediksi percepatan penyelesaianya oleh kedua institusi tersebut.
Peran Pemerintah
Penarikan 20 penyidik Polri dari KPK di tengah kekisruhan penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator SIM, sangatlah tidak kondusif untuk menguatkan perang melawan korupsi. Dengan latar belakang apa pun, kesan penggembosan lembaga antirasuah itu tidak dapat dielakkan. Sikap verbal kepolisian terhadap KPK sekali lagi menunjukkan iklim progresif pemberantasan korupsi belum tercipta sebagai kultur.
Untuk kali kesekian pula, KPK mengalami pembonsaian secara sistematis. Dari hubungannya dengan lembaga-lembaga penegak hukum lain, opini publik oleh para tokoh di dalam pemerintahan yang merasa terusik kepentingannya, hingga sikap-sikap parlemen atau sejumlah anggota DPR yang cenderung tidak berpihak kepada integritas KPK. Bahkan pintu masuk pembuatan perundang-undangan menjadi bagian dari upaya untuk mengerdilkan kewenangan KPK.
Kasus simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi polisi menjadi rebutan antara KPK dan Polri. Opini publik mendorong Polri untuk legawa menyerahkannya kepada lembaga superbody tersebut, namun Mabes bersikeras. Padahal jika ditangani Polri sendiri, dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan. Penanganan sepenuhnya oleh KPK akan menunjukkan dukungan kepada perang melawan korupsi, dan itu tentu memperkuat citra komitmen kepolisian.
Agaknya inilah momen unjuk posisi tawar. Seolah-olah keberadaan KPK “mengganggu” kewenangan kepolisian atau kejaksaan. Di tengah realitas kedaruratan kejahatan korupsi saat ini, jelas dibutuhkan terobosan besar untuk membangun atmosfer baru, yakni dengan memperkuat kepemimpinan dalam perang melawan kejahatan luar biasa tersebut. Sikap extraordinary itu adalah kemauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk benar-benar berada di depan.
Ketegasan sikap Presiden diyakini akan membimbing dukungan kepada KPK. Sedangkan dari sisi KPK sendiri, bargaining position yang diajukan lembaga lain itu, mesti mendorong ke arah ketersediaan penyidik-penyidik independen, sehingga tak terjebak pada ketergantungan. Di luar aspek teknis itu, kita yakin Presiden akan mendapat dukungan kuat dari rakyat jika mau mendorong, lalu mengawal kepolisian dan kejaksaan untuk bersinergi dengan KPK.
Sikap-sikap normatif yang terasa mengambang dari Presiden dalam sejumlah isu yang seharusnya mendorong penguatan kiprah KPK, bagaimanapun membuka celah bagi pembentukan opini publik. Seakan-akan atas nama hukum atau justifikasi prosedur, maka kita jadi kehilangan keberanian untuk bersikap progresif. Padahal terbukti sikap konservatif dalam penegakan hukum masalah korupsi hanya akan memperkuat lingkaran koruptor dan tidak menciptakan kedahsyatan efek jera.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Menuntaskan Kasus Korupsi Simulator SIM Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda