Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini Dimuat di Koran Radar Bangka, Sabtu 13 Oktober 2012
Aksi kekerasan yang
dilakukan oleh siswa atau mahasiswa tersebut menimbulkan keprihatinan dalam
dunia pendidikan kita saat ini yang masih berorientasi pada kekerasan fisik dan
premanisme. Rentetan peristiwa ini seolah-olah menggambarkan bahwa kekerasan
sudah menjadi budaya atau tradisi turun temurun dalam sistem pendidikan kita.
Padahal prinsip dan sikap sederhana para tokoh pendidikan kita dulu, sudah
menanamkan prinsip ideal dari pendidikan yang sekaligus menjadi pilar dalam
penyelenggaraan pendidikan yang bertujuan menciptakan peserta didik yang
berkarakter. Seharusnya prinsip “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun
Karsa, Tut Wuri Handayani” yang bermakna out put yang berkarakter di depan sebagai
teladan, di tengah sebagai dinamisator, dan di belakang sebagai motivator
melekat dalam sistem pendidikan.
Makna mendasar ketiga
prinsip yang ditanamkan oleh Bapak Pendidikan kita sangat sesuai dengan
kepribadian Bangsa Indonesia yang cinta damai yang secara ironisnya masih
menggunakan tindakan kekerasan untuk menyelesaikan suatu masalah, yang
seharusnya dunia pendidikan diharapkan sebagai wadah untuk membentuk pribadi
atau budaya yang cinta damai, oleh karena itu, tindakan kekerasan atau
premanisme merupakan tindakan yang tidak dapat ditolerir oleh prinsip ideal
pendidikan dan pada saat yang sama bertentangan dengan kepribadian Bangsa
Indonesia.
Tidak Mengenal
Dalam Pembukaan UUD
1945 sudah ditegaskan bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tujuan negara tersebut dijabarkan kembali dalam Pasal 31 UUD
1945 yang menentukan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan. Atas perintah UUD 1945 tersebut, selanjutnya dibentuk UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk melaksanakan amanah UUD
tersebut.
Jika dimaknai tujuan
dan fungsi pendidikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 dan 4 dalam UU Nomor
20 Tahun 2003, maka pada dasarnya sistem pendidikan nasional kita tidak
mengenal budaya kekerasan. Bahkan budaya kekerasan merupakan suatu pelanggaran
terhadap prinsip penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, oleh karena itu
sistem pendidikan yang bersifat premanisme atau kekerasan fisik tidak dapat
diterima dengan alasan apapun juga. Meskipun budaya kekerasan lahir dari
anggapan dasar, bahwa untuk mendisiplinkan prilaku manusia perlu upaya paksa
atau dengan tindakan kekerasan. Akan tetapi perilaku manusia tidak serta merta
dapat dirubah dengan kekerasan, karena pada hakekatnya untuk membentuk karaktek
seseorang harus dilakukan secara terencana.
Sebaliknya pendidikan
dengan kekerasan merupakan tindakan yang membunuh karakter seseorang.
Sebagaimana diasumsikan pada pendidikan militer, tujuan yang diharapkan adalah
pribadi yang tangguh dalam menghadapi segala bentuk ancaman, gangguan, hambatan
dan tantangan, demi tegaknya Negara Hukum Republik Indonesia. Dan tentu saja
sistem pendidikan tersebut, mempunyai prinsip-prinsip sedemikian rupa yang
tidak bertentangan dengan sistem pendidikan nasional kita.
Apabila dikaji lebih
jauh tentang tujuan pendidikan di sekolah-sekolah ilmu pemerintahan dan
pelayaran tersebut, tentu sangat bertentangan sekali dengan prinsip pada pendidikan
yang dimaksud karena diharapkan dari peserta didik menjadi pemimpin yang harus
mempunyai karakter yang kuat dan mandiri. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa pencitraan seseorang merupakan out put dari pendidikannya selama ini.
Jika dia dididik dengan kekerasan, akan menghasilkan pribadi yang keras yang
tidak memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal seorang pemimpin haruslah
seorang yang mempunyai pribadi yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan,
mempunyai karakter yang tangguh, berwibawa, peka terhadap penderitaan rakyat,
dan jujur.
Revitalisasi
Seruan Kepala Negara,
Presiden Soesilo Bambang Yudoyono yang mengingatkan pentingnya pendidikan
karakter saat ini untuk membentuk kembali karakter (character building) bangsa
Indonesia yang sekaligus menjadi sikap nasionalisme bangsa Indonesia, perlu
ditindak lanjuti dalam pembuatan kurikulum.
Pendidikan karakter
itu pada dasarnya merupakan revitalisasi pandangan yang sudah sejak dulu
ditanamkan oleh father founding kita. Ide ajaran itu mungkin dapat digunakan
untuk membangun kembali suatu gagasan sistem pendidikan yang ideal dalam
konteks masyarakat Indonesia yang saat ini sedang berjuang memulihkan kembali
kekacauan dan kerusakan sistem pendidikan masa kini melalui insting yang
dimiliki. Dengan memberi tempat kembali pada pemikiran yang sederhana dari para
tokoh pendidikan kita, dalam menanamkan disiplin dan budi pekerti terbentuk
cara berpikir, cara merasa, cara melihat, cara memahami, cara mendekati dan
cara bertindak yang berdasarkan nilai-nilai moral Pancasila. Dengan demikian,
diharapkan dapat menggali potensi anak didik sehingga terbentuk manusia yang
berkarakter, bertanggung jawab, hormat kepada orang tua, menghargai sesama
manusia dan ciptaan Tuhan yang lain.
Memberikan sanksi
untuk menurunkan tingkat akreditasi sekolah atau perguruan tinggi yang siswa
atau mahasiswanya terlibat tawuran boleh-boleh saja menjadi tindakan preventif
dengan tujuan memberikan efek jera dari Mendiknas, akan tetapi sanksi demikian
tidak serta merta dapat merubah karakter seseorang. Oleh karena itu,
keterlibatan orang tua, dan masyarakat lebih ditingkatkan intensitasnya,
mengingat pendidikan itu merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya
dibebankan kepada pemerintah. Wallahu a’lam. (**)
0 komentar:
Post a Comment