Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday 8 November 2012

Mau Dibawa Ke Mana Parpol Islam?


Saat ini, pasar politik kontemporer membuat partai politik berbasis massa dan ideologi Islam berada dalam dilema. Di satu sisi, parpol Islam dituntut agar dapat mengartikulasikan aspek ideologis yang melekat padanya dalam wilayah praktis, yakni realisasi program kerja yang bertumpu pada nilai-nilai Islam. Tentu saja, program kerja itu harus memiliki relevansi dengan nuansa keislaman.

 
Jika parpol Islam tak mampu menghasilkan program kerja yang demikian, maka identitas politik keislaman tak akan terbentuk. Pemilih, khususnya lagi yang beragama Islam yang menilai apakah sebuah parpol Islam sudah benar-benar menjadikan Islam sebagai landasan manuver politiknya. Tanpa ada identitas politik keislaman yang kuat, parpol Islam akan sulit membangun basis massa pendukung dari kalangan Islam. Sementara itu, tentu saja parpol Islam tidak akan “dibeli” oleh pemilih yang beragama non-Islam.
Selain itu, diperlukan pengejawantahan program kerja tersebut agar identitas keislaman tersiarkan kepada pemilih. Tanpa sosialisasi program kerja serta kesesuaian aktualisasinya berdasarkan ideologi, asumsi yang berkembang adalah parpol Islam hanya menjadikan “Islam” sebagai wacana semata. Tidak dianut secara paripurna, dihayati, dan diaktualisasi. Alhasil, parpol Islam yang hanya dapat merangkul pemilih dari satu segmen, yakni mereka yang beragama Islam, akan meredup popularitasnya.
Program Kerja
Dan yang lebih penting, ketika program kerja berbasis nuansa Islam mampu diaktualisasikan dengan baik pada level praktis sehingga melahirkan identitas politik keislaman yang kental, konsekuensinya timbul pula pembedaan antara parpol Islam dengan parpol di luar ideologi Islam, misalnya parpol berideologi nasionalis (kebangsaan), berbasis massa buruh, atau yang lebih penting parpol agama non-Islam.
Ketika pemilih merasa parpol Islam memiliki identitas politik tersendiri, maka asumsi semua parpol sama saja akan menghilang. Pemilih, khususnya yang beragama Islam, akan benar-benar merasakan nuansa identitas politik keislaman yang kuat dari parpol Islam yang ada.
Hanya saja, itulah masalah yang kini dialami semua parpol Islam di Indonesia. Kendati ideologi yang dideklarasikan adalah Islam, serta menjadi parpol berbasis massa Islam, parpol Islam dinilai tidak memiliki ciri khas khusus yang membedakannya dengan parpol di luar ideologi Islam. Realita ini terungkap dari hasil penelitian Lingkaran Suvei Indonesia (LSI) yang menyimpulkan popularitas parpol Islam merosot signifikan. Penyebabnya, antara lain, disebabkan ketidakmampuan parpol Islam menonjolkan identitas politik yang membedakannya dengan parpol berideologi lainnya.
Bahkan, anggapan semua parpol sama saja juga timbul dari perilaku kader dari semua parpol yang buruk. Faktanya, tidak ada jaminan kader parpol Islam tidak akan terlibat korupsi, demikian pula halnya dengan kader parpol nasionalis. Wa Ode Nurhayati terlibat kasus korupsi. Ia berasal dari Partai Amanat Nasional, parpol berasas Islam. Nazaruddin menjadi tersangka korupsi. Ia mantan kader Partai Demokrat, partai berasas nasionalis.
Tidak hanya korupsi, penilaian “semua parpol sama saja” juga tercermin dari bentuk perilaku menyimpang lainnya. Arifinto tertangkap basah tengan menonton video porno ketika Sidang Paripurna. Ia berasal dari Partai Keadilan Sejahtera, partai yang dikenal berbasis massa Islam. Muhammad Max Moein terlibat skandal seks. Ia berasal dari PDIP, partai nasionalis.
Parpol Islam dapat tumbuh dan pernah eksis tentunya tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Identitas politik keislaman yang melekat pada parpol Islam memang hanya dapat menjaring satu segmen pemilih saja. Namun dikarenakan jumlah pemilih Islam yang banyak, seharusnya ini menjadi berkah bagi parpol Islam untuk dapat menjadi mesin politik yang kuat.
Di sisi lain, aktualisasi program kerja yang sesuai dengan nuansa Islam, yang pada fase selanjutnya menciptakan identitas politik keislaman, ternyata tak berpengaruh banyak pada meningkatnya popularitas parpol Islam. Ini disebabkan oleh perilaku pemilih yang tidak lagi mengedepankan faktor agama dalam memilih, tetapi lebih melihat faktor-faktor di luar itu, seperti program kerja dan (kharisma) tokoh pemimpin parpol. Pemilih yang ada di pasar politik Indonesia mulai cenderung moderat, tidak lagi banyak dipengaruhi sentimen agama.
Dilematis
Ini memang dilema. Tetapi setidaknya, ada dua solusi yang dapat ditempuh. Pertama, parpol Islam mengikuti selera atau perilaku pemilih. Dalam artian, parpol Islam mentransformasikan diri menjadi parpol yang moderat, tidak lagi menjadikan faktor agama sebagai satu-satunya ideologi pembentuk identitas politik. Parpol Islam mulai mengadopsi ide-ide di luar Islam untuk menjaring pemilih dari beragam segmen.
Upaya paling awal dari langkah ini adalah dengan menghasilkan dan mengaktualisasikan program kerja yang menyentuh semua segmen pemilih, tak terkecuali pemilih beragama non-Islam. Tentu saja upaya ini harus menjadikan ideologi nasionalisme sebagai yang utama, sementara ideologi Islam sebagai asas sekunder: bisa digunakan, bisa tidak. Solusi ini mengharuskan parpol Islam menanggalkan identitas politik keislaman yang kental: Islam hanya dijadikan simbol atau jargon semata.
Kedua, parpol Islam melakukan penguatan identitas politik keislaman tanpa harus peduli perilaku pemilih yang perlahan bergeser menjadi moderat. Parpol Islam tetap mempertahankan dan semakin menguatkan identitas politiknya kendati di pasar politik yang mayoritas pemilihnya beragama Islam, mereka belum pasti mendapat dukungan yang besar. Namun solusi terakhir inilah yang paling ideal: parpol Islam tidak harus memudarkan identitas politik keislamannya.
Parpol Islam yang hendak bertransformasi menjadi moderat sesungguhnya telah mengabaikan aspek historis keberadaan parpol Islam yang telah berperan luas dalam agenda pembangunan politik di negeri ini. Selain itu, terabaikan pula aspek kultural dan religiusitas masyarakat Indonesia yang selalu melekat nilai-nilai Islami di dalamnya. Hilangnya parpol Islam yang memiliki identitas politik keislaman yang kuat di Indonesia menunjukkan tidak adanya upaya melestarikan ciri khas politik Indonesia yang dibangun sejak dimulainya sejarah kemunculan parpol Islam di Tanah Air.
Jadi, parpol Islam tidak harus mengedepankan kepentingan menjaring pemilih dalam pemilu semata. Tetapi bagaimana menguatkan dan mempertahankan eksistensi parpol Islam dari gempuran kemunculan aneka parpol bercorak nasionalis. Sebab, itulah betuk dari kemuliaan politik.

Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Kamis 8 November 2012


 
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Mau Dibawa Ke Mana Parpol Islam? Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda