Tulisan
ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Sabtu 17 Nov 2012
Tanggal 1 Suro atau 1
Muharam memiliki makna yang luar biasa bagi masyarakat Jawa, bahkan sebagian
masyarakat luar Jawa. Demikian juga di Kota Semarang, Jawa Tengah, warga
memperingati malam pergantian tahun baru Islam itu dengan sejumlah kegiatan
ritual. Di sudut-sudut kampung di Semarang, diadakan kegiatan seperti melek-melek atau tirakatan yang dilaksanakan malam hingga pagi hari, jamasan pusaka
seperti keris dan tombak, juga kegiatan berendam di air yang dikenal dengan
padusan kumkum.
Sebagian masyarakat
memercayai pada malam 1 Suro, muncul kekuatan gaib atau kekuatan yang tidak
tampak oleh mata telanjang. Dalam kegiatan melek-melek
atau tirakatan, misalnya, di setiap
ujung gang, masyarakat berkumpul untuk menggelar doa agar terhindar dari
malapetaka atau gangguan jahat.
Tradisi
Turun-menurun
Tradisi lainnya yang
dilakukan oleh warga Semarang adalah ritual padusan
kumkum atau berendam di Kali Garang, tepatnya di Tugu Suharto, Sampangan,
Semarang. Ritual kungkum di Tugu Suharto tersebut telah dilakukan sejak dulu
dan menjadi tradisi tahunan dalam menyambut tahun baru Islam.
Warga percaya bahwa
ritual kungkum di sungai akan mendatangkan berkah dan rezeki yang banyak.
Bahkan sebagian warga percaya jika memiliki penyakit kulit, setelah mandi di
kali atau sungai tersebut, akan sembuh. Pengunjung yang datang untuk melakukan
ritual tahunan itu tidak hanya masyarakat sekitar, tetapi juga datang dari
berbagai kota, seperti Solo, Yogyakarta, Demak, dan Kendal, serta sejumlah kota
lainnya.
Menurut cerita, Tugu
Suharto di Kali Garang, Sampangan, tersebut, konon, merupakan tempat
persembunyian mantan Presiden Soeharto saat menghindari kejaran tentara
Belanda. Pada saat itu, dia melakukan kungkum di dalam sungai yang merupakan
pertemuan antara Kali Kreo dan Kali Gunungpati.
Untuk mengingat tempat
persembunyian presiden kedua itu, didirikan sebuah tugu di tengah Kali Garang
yang dinamakan Tugu Suharto pada 1965. Masyarakat Jawa meyakini bahwa siapa
saja yang melakukan kegiatan kungkum
atau berendam di Sungai Tugu Soeharto pada malam 1 Suro akan mendapat kesucian
dan kekuatan batin untuk menjalani kehidupan dan terbebas dari nafsu dunia. Selain
membersihkan badan, warga bermeditasi dan berdoa agar keinginannya tercapai.
Selain itu, sudah
menjadi tradisi masyarakat Yogyakarta Hadiningrat sejak ratusan tahun silam,
bahwa setiap malam 1 Suro (tahun baru Jawa) masyarakat melaksanakan tradisi
kirab mubeng benteng
mengitari Kraton. Kirab agun adalah malam hening
cipta, atau mesu
budi, bertujuan untuk maneges
keselamatan lahir dan batin kepada Sang Hyang Jagad Nata. Acara mesu budi dimulai tepat pukul
00.00 wib berangkat dari alun-alun utara Kraton dengan dipandu oleh para abdi dalem kraton yang
mengusung pusaka Tumbak Kyai Slamet dan pusaka pendampingnya.
Kirab agung ditempuh
dengan berjalan tanpa alas kaki mengitari benteng Kraton sembari tapa mbisu alias diam seribu
bahasa (tidak berbicara apapun). Kirab agung adalah bentuk meditasi atau semedi
sambil berjalan. Eneng ening
sinambi mlampah. Ngalap
berkah tumurune wahyu dyatmika. Keselamatan bukan hanya untuk diri
sendiri, juga untuk keselamatan bumi seisinya meliputi binatang, tumbuhan, dan
mahluk halus.
Melestarikan
Beberapa tahun lalu,
acara ini sempat meredup diakibatkan oleh adanya upaya penggusuran tradisi
secara sistematis antara lain dengan cara menempelkan stigma negatif pada acara
tersebut. Namun, sejak gempa besar di Jogja pada 27 Mei 2006 lalu,
masyarakat seolah seperti terbangun kesadarannya, bahwa selama ini telah
melupakan nilai-nilai luhur warisan para pendahulu bangsa.
Tradisi seperti ini
seharusnya dilestarikan, karena menjadi local
wisdom yang nilai spiritualnya sangat tinggi. Sebagaimana prinsip dalam
pandangan hidup Jawa, Kirab Agung memiliki nilai universal, tidak sektarian dan
primordial. Hal ini sebagai refleksi akan pemahaman “spiritual Javaisme” yang
anti sektarianisme dan primordialisme, karena bagi pemahaman Javaisme, kedua
mazab pikir tersebut justru mencerminkan level kesadaran seseorang masih sangat
rendah.
Setelah gempa Jogja 27
Mei 2006 lalu, kini masyarakat Jogjakarta seolah dibangunkan kesadaran
spiritualnya yang kedua kali dengan peristiwa letusan gunung Merapi yang sangat
dahsyat. Masyarakat menjadi lebih menyadari pentingnya keharmonisan dan
keselarasan antara mikrokosmos dengan makrokosmos. Kesadaran spiritual yang
tergugah itu telah memberikan impilkasi dengan melonjaknya jumlah peserta Kirab
Agung secara signifikan.
Terlepas dari ada
tidaknya mitos dan irasionalitas tradisi tersebut, baik di Semarang maupun
Jogjakarta, yang jelas lingkungan
alam di sekitar kita telah mengajarkan kepada manusia supaya hidup lebih arif
dan bijaksana dengan memahami dan menghayati gamabudi atau budi pekerti luhur. Yang
terpenting, masyarakat Jawa bisa mengamalkan nilai spiritual malam satu Suro,
dan tak mengotori keimanan umat Islam atau syirik. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment