Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday 18 November 2012

Nilai Spiritual Suro



Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Sabtu 17 Nov 2012

Tanggal 1 Suro atau 1 Muharam memiliki makna yang luar biasa bagi masyarakat Jawa, bahkan sebagian masyarakat luar Jawa. Demikian juga di Kota Semarang, Jawa Tengah, warga memperingati malam pergantian tahun baru Islam itu dengan sejumlah kegiatan ritual. Di sudut-sudut kampung di Semarang, diadakan kegiatan seperti melek-melek atau tirakatan yang dilaksanakan malam hingga pagi hari, jamasan pusaka seperti keris dan tombak, juga kegiatan berendam di air yang dikenal dengan padusan kumkum. 

 
Sebagian masyarakat memercayai pada malam 1 Suro, muncul kekuatan gaib atau kekuatan yang tidak tampak oleh mata telanjang. Dalam kegiatan melek-melek atau tirakatan, misalnya, di setiap ujung gang, masyarakat berkumpul untuk menggelar doa agar terhindar dari malapetaka atau gangguan jahat.
Tradisi Turun-menurun
Tradisi lainnya yang dilakukan oleh warga Semarang adalah ritual padusan kumkum atau berendam di Kali Garang, tepatnya di Tugu Suharto, Sampangan, Semarang. Ritual kungkum di Tugu Suharto tersebut telah dilakukan sejak dulu dan menjadi tradisi tahunan dalam menyambut tahun baru Islam.
Warga percaya bahwa ritual kungkum di sungai akan mendatangkan berkah dan rezeki yang banyak. Bahkan sebagian warga percaya jika memiliki penyakit kulit, setelah mandi di kali atau sungai tersebut, akan sembuh. Pengunjung yang datang untuk melakukan ritual tahunan itu tidak hanya masyarakat sekitar, tetapi juga datang dari berbagai kota, seperti Solo, Yogyakarta, Demak, dan Kendal, serta sejumlah kota lainnya.
Menurut cerita, Tugu Suharto di Kali Garang, Sampangan, tersebut, konon, merupakan tempat persembunyian mantan Presiden Soeharto saat menghindari kejaran tentara Belanda. Pada saat itu, dia melakukan kungkum di dalam sungai yang merupakan pertemuan antara Kali Kreo dan Kali Gunungpati.
Untuk mengingat tempat persembunyian presiden kedua itu, didirikan sebuah tugu di tengah Kali Garang yang dinamakan Tugu Suharto pada 1965. Masyarakat Jawa meyakini bahwa siapa saja yang melakukan kegiatan kungkum atau berendam di Sungai Tugu Soeharto pada malam 1 Suro akan mendapat kesucian dan kekuatan batin untuk menjalani kehidupan dan terbebas dari nafsu dunia. Selain membersihkan badan, warga bermeditasi dan berdoa agar keinginannya tercapai.
Selain itu, sudah menjadi tradisi masyarakat Yogyakarta Hadiningrat sejak ratusan tahun silam, bahwa setiap malam 1 Suro (tahun baru Jawa) masyarakat melaksanakan tradisi kirab mubeng benteng mengitari Kraton. Kirab agun adalah malam hening cipta, atau  mesu budi, bertujuan untuk maneges keselamatan lahir dan batin kepada Sang Hyang Jagad Nata.  Acara mesu budi dimulai tepat pukul 00.00 wib berangkat dari alun-alun utara Kraton dengan dipandu oleh para abdi dalem kraton yang mengusung pusaka Tumbak Kyai Slamet dan pusaka pendampingnya.
Kirab agung ditempuh dengan berjalan tanpa alas kaki mengitari benteng Kraton sembari tapa mbisu alias diam seribu bahasa (tidak berbicara apapun). Kirab agung adalah bentuk meditasi atau semedi sambil berjalan. Eneng ening sinambi mlampah. Ngalap berkah tumurune wahyu dyatmika. Keselamatan bukan hanya untuk diri sendiri, juga untuk keselamatan bumi seisinya meliputi binatang, tumbuhan, dan mahluk halus.
Melestarikan
Beberapa tahun lalu, acara ini sempat meredup diakibatkan oleh adanya upaya penggusuran tradisi secara sistematis antara lain dengan cara menempelkan stigma negatif pada acara tersebut.  Namun, sejak gempa besar di Jogja pada 27 Mei 2006 lalu, masyarakat seolah seperti terbangun kesadarannya, bahwa selama ini telah melupakan nilai-nilai luhur warisan para pendahulu bangsa.
Tradisi seperti ini seharusnya dilestarikan, karena menjadi local wisdom yang nilai spiritualnya sangat tinggi. Sebagaimana prinsip dalam pandangan hidup Jawa, Kirab Agung memiliki nilai universal, tidak sektarian dan primordial. Hal ini sebagai refleksi akan pemahaman “spiritual Javaisme” yang anti sektarianisme dan primordialisme, karena bagi pemahaman Javaisme, kedua mazab pikir tersebut justru mencerminkan level kesadaran seseorang masih sangat rendah.
Setelah gempa Jogja 27 Mei 2006 lalu, kini masyarakat Jogjakarta seolah dibangunkan kesadaran spiritualnya yang kedua kali dengan peristiwa letusan gunung Merapi yang sangat dahsyat. Masyarakat menjadi lebih menyadari pentingnya keharmonisan dan keselarasan antara mikrokosmos dengan makrokosmos. Kesadaran spiritual yang tergugah itu telah memberikan impilkasi dengan melonjaknya jumlah peserta Kirab Agung secara signifikan.
Terlepas dari ada tidaknya mitos dan irasionalitas tradisi tersebut, baik di Semarang maupun Jogjakarta, yang jelas lingkungan alam di sekitar kita telah mengajarkan kepada manusia supaya hidup lebih arif dan bijaksana dengan memahami dan menghayati gamabudi atau budi pekerti luhur. Yang terpenting, masyarakat Jawa bisa mengamalkan nilai spiritual malam satu Suro, dan tak mengotori keimanan umat Islam atau syirik. Wallahu a’lam.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Nilai Spiritual Suro Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda