Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday 27 December 2012

Benarkah Hukuman Mati Koruptor Melanggar HAM?



Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di RadarBangka, 19 Desember 2012
Apakah hukuman mati untuk koruptor melanggar hak asasi manusia/HAM? Hal ini tentu masih menjadi kontroversi di Indonesia. Sebagai negara yang mengakui keberadaaan pidana mati, Indonesia juga negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Itulah sebabnya. pidana mati menjadi polemik dan belum selesai hingga kini. Sebagai contoh terakhir adalah adanya perbedaan pandangan hakim Pengadilan Negeri Kalianda yang memberi vonis mati terdakwa narkotika, kemudian vonis itu dianulir Pengadilan Tinggi (PT) dengan memberikan pidana seumur hidup.


Jika diperhatikan alasan PT yang menganulir pidana mati itu karena pidana mati dinilai melanggar HAM, tentunya bisa diperdebatkan dalam koridor hukum pidana. Pernyataan dalam UUD 1945 dan UU HAM bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup”, identik dengan Pasal 6 (1) ICCPR yang menyatakan, “Every human being has the right to life”. Namun, dalam Pasal 6 (1) ICCPR,  pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat tegas, bahwa “No one shall be arbitrarily deprived of his life”. Jadi. walaupun Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan bahwa “Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup”, tetapi tak berarti hak hidupnya itu tak dapat dirampas. Yang tak boleh adalah “Perampasan hak hidupnya secara sewenang-wenang”. Bahkan, dalam Pasal 6 (2) dinyatakan, pidana mati tetap dimungkinkan untuk “The most serious crimes”.

Pernyataan itu dapat dilihat sebagai pandangan yang menerangkan bahwa pidana mati bukan merupakan hal melanggar hak hidup manusia, sepanjang memang diberlakukan untuk hal-hal yang pantas diberikan pidana mati serta dipayungi aturan hukum jelas. Hal ini dapat dijadikan penjelasan bahwasan di Indonesia pidana mati seharusnya bukan melanggar nilai-nilai kemausiaan, karena Indonesia juga memandang beberapa tindak pidana sebagai serious crime, seperti terorisme, korupsi, dan juga narkotika.

Hukuman Mati

Serious crime merupakan syarat utama untuk dapat dijatuhkannya hukuman mati, khususnya bagi koruptor. Kemudian syarat tak boleh adanya perampasan hak hidupnya secara sewenang-wenang, di Indonesia juga sudah payungi keberadaan UU yang mengakomodasi pidana mati sebagai pilihan, seperti di dalam UU Terorisme, UU Korupsi, dan UU Narkotika. Artinya, dengan adanya aturan hukum itu, pidana mati untuk kasus-kasus serious crime tersebut bukan termasuk perampasan hak hidup secara sewenang-wenang.

Barda Nawawi Arief (2010) menyatakan Pancasila mengandung nilai keseimbangan antara sila satu dan sila lainnya. Namun, apabila Pancasila dilihat secara parsial (menitikberatkan pada salah satu sila), ada pendapat menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan Pancasila dan ada pula yang menyatakan tak bertentangan.

Jadi, pendapat yang menolak dan menerima pidana mati, sama-sama mendasarkan pada Pancasila. “Hak untuk hidup” (Pasal 28A, Pasal 28 I UUD 1945 dan Pasal 9 Ayat (1), Pasal 4 UU HAM) dan “hak untuk bebas dari penghilangan nyawa” (Pasal 33 UU HAM) tak dapat dihadapkan secara diametral (sama sekali bertentangan) dengan “pidana mati”.

Hal ini sama dengan “hak kebebasan pribadi” (Pasal 4 UU HAM) atau “hak atas kemerdekaan” (Pembukaan UUD 1945) yang juga tak dapat dihadapkan secara diametral dengan “pidana penjara”. Apabila dihadapkan secara diametral, berarti pidana “penjara” pun bertentangan dengan UUD 1945 dan UU HAM karena pidana penjara pada hakikatnya adalah “perampasan kemerdekaan/kebebasan”.

Logika ini menguatkan bahwa tak ada yang salah dengan pidana mati dan penerapannya, sepanjang dilaksanakan sesuai ketentuan. Konstruksi pemikiran diametral itu pun tak sesuai dengan dokumen/resolusi Majelis Umum PBB mengenai makna “Torture” (penyiksaan). Pasal 1 (1) Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, General Assembly Resolution 39/46, 1987 menyatakan bahwa sanksi pidana (yang pada hakikatnya juga merupakan bentuk penderitaan/penyiksaan) tak termasuk pengertian “torture”. Jadi, tak dapat disamakannya pidana mati dengan pelanggaran HAM, identik dengan tak dapat disamakannya “sanksi hukum (pidana)” dengan “torture” (“pain and suffering”) seperti dinyatakan dalam kalimat terakhir dari Pasal 1 (1) Konvensi, yaitu It does not include pain or suffering arising only from, inherent in or incidental to lawful sanctions.   

Selanjutnya, tentang pidana mati bahkan diatur pula dalam berbagai dokumen internasional mengenai “pedoman pelaksanaan pidana mati”. Dalam Resolusi Commission on Human Rights (Komisi HAM PBB) 1999/61 juga masih ada penegasan, bahwa pidana mati jangan dijatuhkan kecuali untuk the most serious crimes (dengan pembatasan/rambu-rambu).
Hal ini juga memberi ruang bahwa pidana mati tak ada persoalan hukum bila diberlakukan ketika sesuai ketentuan. Perlu dicatat, Indonesia tetap mengakui keberadaan pidana mati, bahkan di dalam Rancangan KUHP baru juga tetap dicantumkan, yang menunjukkan bahwa kita masih membutuhkan pidana mati sebagai salah satu alternatif pidana yang dapat diberikan. Maka, secara jelas hukuman mati tak melanggar HAM. Lalu, kapan pemerintah menerapkan hukuman mati untuk koruptor? Wallahu a’lam.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Benarkah Hukuman Mati Koruptor Melanggar HAM? Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda