Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Radar Bangka, 28/12/2012
Menuju Pemilu 2014, suhu
politik akan semakin memanas dan kompetisi akan semakin keras. Dalam hal ini
seharusnya seluruh politisi tetap tenang, teguh, berhati dingin. Berjuang
dengan gigih untuk mencapai tujuan, namun tetap dilakukan dengan politik yang
bersih, cerdas, dan santun. Sebagai kader atau pun politisi, tentu elok jika
memahami politik dalam artian sesungguhnya. Bahwa politik itu pengabdian kepada
rakyat. Rakyat menjadi kiblat pengabdian politik.
Eddy Kristiyanto
(2008) pernah menyatakan, politik perlu dipahami bukan dalam artian sempit
(stricto sensu), melainkan dalam arti luas, (largo sensu) yakni arti utama dan
sesungguhnya dari politik. Sebenarnya “jiwa” politik dan memoria itu paling
jelas terbaca bukan pada tataran wacana (discourse), bukan tingkat verbal dan
kognitif, melainkan lebih-lebih pada kemungkinan yang diciptakan oleh
masing-masing pribadi dalam kebersamaan untuk menjadi semakin manusiawi
(human), seraya hidup dalam suatu lingkungan yang ramah (hospitable) terhadap
sesama, di mana keadilan, bela rasa penuh cinta (compassion), dan pemeliharaan
hidup diutamakan.
Karena itu,
pembicaraan tentang politik dan memoria menyangkut harkat hidup kita semua
sebagai manusia. Inilah salah satu makna terdalam manusia di hadapan Hyang
Widi. Kiranya, Ia tidak pertama-tama melihat agama, ras, golongan etnis,
tingkatan sosial apa yang melatarbelakangi kita, melainkan “apa nilai manusia“
di hadapan-Nya. Semua hal kemudian menjadi sangat relatif jika diperhadapkan
pada Sang Absolut Sejati (Sakramen Politik, 2008).
Kita sepakat, muara
politik adalah pengabdian kepada bangsa dan Negara dalam arti sesungguhnya.
Namun, dalam proses politik mencapai tujuan, politik harus tetap dilakukan
dengan bersih, cerdas, dan santun. Para kader dan keluarga besar partai di
negeri ini harus menunjukkan dan memberikan contoh dalam etika politik dan
aturan main demokrasi yang baik. Kepada semua pejabat pemerintahan yang berasal
dari parpol mana pun, apakah menteri, gubernur, bupati, dan walikota juga harus
mengutamakan tugas untuk rakyat, negara dan bangsa kemudian tugas untuk partai
politik.
“Tata Krama” Politik
Mengapa “tata karma”
dan etika politik menjadi penting? Tentu ada alasan di balik itu. Tahun 2014,
Indonesia akan diramaikan dengan dua agenda politik nasional, yaitu Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden. Pada Pemilu Legislatif, banyak parpol bakal
meramaikan pesta demokrasi akbar terebut. Pertarungan antarparpol dalam dua
hajatan politik besar itu guna mencari dukungan masyarakat akan semakin keras.
Bukan tidak mungkin, bisa terjadi persaingan yang tidak sehat guna mencari
dukungan dan simpati.
Karena itu, masalah
etika dan moral politik harus dijalankan semua politisi. Sehingga menjadi
pedoman bagi para kader, terutama calon legislatif (caleg) yang akan bertarung
menjadi anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Mengapa etika politik
begitu penting? Menurut Ruslani (2006), ada tiga alasan. Pertama, betapa pun
kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan
legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada
norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah
letak celah, di mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas.
Kedua, etika politik
berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan
mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi
indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada
korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita
duka bagi etika politik.
Ketiga, pertarungan
kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan
kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian
semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu pada etika politik.
Pernyataan “perubahan harus konstitusional” menunjukkan bahwa etika politik
tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tujuan Baik
Tujuan tata krama
politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain,
dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi
yang adil. Definisi etika politik ini membantu menganalisis korelasi antara
tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam
perspektif ini, pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan. Pertama,
upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain. Kedua, upaya memperluas lingkup
kebebasan. Ketiga, membangun institusi-institusi yang adil.
Hemat penulis, dalam
konteks Pemilu 2014, sudah saatnya semua politisi berpolitik dengan baik dan
santun. Dengan demikian, kita mampu menyukseskan hajatan politik besar itu
kemudian menghasilkan pemimpin yang menempatkan rakyat kiblat pengabdiannya.
Bukan pemimpin yang berhura-hura dengan miliaran rupiah hasil korupsi.
Bukan pula pemimpin
yang mengiming-imingi para petani sederhana dan bersahaja, misalnya, untuk
tinggal di apartemen mewah lengkap dengan perabotnya sebagai buntut
perselingkuhan politik dengan investor. Atau pemimpin yang berambisi gede
menjual tanah ulayat masyarakatnya kepada calon investor tanpa sepengetahuan
pemilik. Karena itu, politik santun menjadi penting. Jika tidak sekarang
dijalankan, lalu kapan lagi? Karena berpolitik bersih dan santun menjadi
keniscayaan. Wallahu a’lam
0 komentar:
Post a Comment